logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

What Makes You Beautiful

What Makes You Beautiful

Crhy2_


Chương 1 Satu

Wahyu memejamkan mata, tangan nya terkepal erat di atas lutut. Dia berusaha fokus walaupun pelatih nya terus berbicara memberikan pengarahan –yang sudah Wahyu hapal di luar kepala- kepada nya. Menghela napas, Wahyu mendongak. “Bisa berhenti?”
Henry, selaku pelatih walau umur nya masih terbilang muda itu berdecak. Dia berbalik, menatap cemas di tribun penonton lalu berbalik lagi menatap Wahyu. “Lo bisa serius nggak sih? Gue datang jauh-jauh dari Jakarta ke Solo cuman buat lo!”
Wahyu mendongak, dia bersandar pada dinding. Melipat tangan nya di dada, Wahyu melihat ke samping, menatap lawan yang akan bertanding dengan nya. “Gue selalu serius kalau soal impian gue. Cuman yang lo omongin itu selalu sama, gue udah dengar itu bertahun tahun yang lalu. Lo pikir gue nggak bosen?”
“Ini demi kemenangan lo.”
“Oke, start jangan sampai terlambat, bahu gue harus rileks, jangan tegang walau pun lo tau gue nggak pernah tegang saat pertandingan, lakukan persis sama seperti yang gue lakukan pas latihan. Udah kan?” Wahyu berdiri, mengangkat tangan ke atas, merenggangkan tubuh saat dia sadar giliran nya akan di mulai.
“Cetak rekor lo. Kalau enggak gue bakalan bilang ke bokap lo kalau lo udah nggak guna jadi atlet.”
“Haish….” Wahyu mendelik. Henry sudah terlalu sering mengancam.
“Jalur ketiga. Muhammad Wahyu Dirgantara.”
Wahyu melepas jaket yang dia pakai, menaruhnya di kursi panjang yang dia duduki lalu berjalan menuju balok start. Tangan nya terangkat, meregangkan tubuh nya sebisa mungkin, memperlihatkan otot bisep dan otot perut nya terlihat. “Babak ke-dua dari renang pria 200 meter kategori renang gaya bebas akan di mulai.”
Suara peluit terdengar, Wahyu memakai kacamata renang, merapatkan ujung jari kaki pada bibir balok lalu membungkuk dengan kedua tangan lurus kebelakang. Wahyu menghela napas, pandangan nya lurus ke depan.
“Ambil posisi.”
Wahyu memejamkan mata, lalu terbuka sedetik kemudian. Dia hanya perlu fokus, mencapai garis finish lalu piala yang selalu dia idam-idam kan akan menjadi milik nya. Bismillah…
Suara tembakan terdengar. Wahyu melompat, meluncur melawan air dan mengayunkan lengan nya ke depan sehingga tubuh nya bergerak lebih maju. Henry yang mengawasi di belakang tersenyum. Bagus, start nya sudah bagus.
Wahyu mengabaikan teriakan dukungan dari tribun penonton, pikiran nya harus fokus menyentuh dinding di hadapan nya lalu berbalik untuk mencapat garis finish.
Sedikit lagi. Wahyu menarik kaki nya mendekati dinding kolam, bersiap untuk berbalik. Kedua tangan nya dia luruskan ke depan bersamaan dengan kaki yang lepas landas, mendorong tubuh nya melewati lawan lain, membuat nya lebih unggul.
Komentator pertandingan semakin menggila saat Wahyu mendekati garis finish. 10 meter. 7 meter. 5 meter. 3 meter. 1 meter lagi. Wahyu menyentuh tembok kolam garis finish, lalu suara peluit terdengar.
Pertandingan selesai. Wahyu mengatur napas, melepas kacamata renang lalu mengamati Henry yang menatap cemas di layar papan skor dengan jaket Wahyu di dekapan nya.
Wahyu terkekeh saat melihat Henry berjingkrak, tertawa lalu berlari menuju Wahyu. Mengulurkan tangan nya, berniat membantu Wahyu keluar dari air.
Wahyu menerima uluran tangan nya. Memakai jaket yang membuat teriakan kecewa perempuan di tribun terdengar menggema.
Henry memukul lengan nya berkali-kali, meluapkan rasa gembira. “Pertama, man! 1 menit 57 detik! Lo bahkan hampir mencetak rekor nasional kategori gaya bebas!”
Wahyu mengangguk, dia berjalan menuju kursi nya. Duduk disana dan meletakkan handuk kecil di kepala nya, menutupi senyuman lebar yang sejak tadi dia tahan. Piala. Dia akan segera mendapatkan piala nya.
***
Wahyu menaiki podium 1, menunduk saat walikota Solo menyematkan medali emas di leher nya. Dia bersalaman pada beliau, menerima buket bunga dan piala tingkat tiga. Senyum nya tidak memudar.
Mata nya menatap berbinar pada piala di tangan nya. Piala tingkat tiga. Kesukaan nya. Impian nya. Bau logam masih menguar, piala nya terlihat berkilau saat terkena pantulan sinar dari air. Indah sekali. Subhanallah.
Wahyu menunggu walikota untuk selesai berpidato. Menyampaikan seberapa bangga nya terhadap pemuda Indonesia yang masih mau berjuang untuk menggapai impian.
“Terimakasih.” Selesai. Wahyu bernapas lega saat walikota menyudahi pidato nya. Wahyu segera turun dari podium. Berjalan cepat menuju Henry untuk menyerahkan piala nya. Berpamitan ingin mandi. Hidung dan telinga nya sudah memerah, jari nya berkerut. Dia kedinginan. Dan dia butuh mandi sekarang.
“Perlu gue temenin?” Wahyu terlonjak kaget saat mendengar suara Henry di belakang nya. Dia sedang buru-buru. Jadi dia tidak tau jika Henry mengikuti nya sampai kamar mandi.
“Nggak! Lo pergi. Ambil tas gue di loker, terus sekalian simpen ini di tas.” Wahyu menyerahkan medali nya. Mengusir Henry lalu berjalan cepat menuju salah satu bilik.
“Gue bukan babu lo! Gue-“
“Pelatih. Iya, sana pergi.”
Wahyu mengatur kehangatan air lalu menghidupkan shower. Kedatangan nya di Solo 1 tahun yang lalu untuk kuliah ternyata tidak sia-sia.
Da bahkan tidak menyangka ada turnamen renang sebesar ini di Solo. Kota besar di Jawa Tengah yang terkenal akan batik khas nya. Apalagi adat dan tutur bahasa sopan orang asli sini membuat nya semakin betah.
Teman kuliah disini juga berperilaku baik pada nya. Tidak membedakan meski dia berasal dari Jakarta, selalu memakai bahasa yang Wahyu mengerti walau pun sesekali mereka mengomel dengan bahasa lokal. Membuat Wahyu bersikeras ingin mempelajari bahasa jawa dan tidak pernah berhasil selama setahun terakhir.
“Lo nggak pingsan kan?” Teriakan Henry terdengar. Henry menggedor pintu kamar mandi.
“Sebentar lagi.” Wahyu balas berteriak. Setelahnya dia mendapat setelan baju santai nya yang tergantung di pintu kamar mandi.
Wahyu mematikan shower. Dia mendengarkan Henry berceloteh di balik pintu. “Bokap lo pasti bangga kalau liat lo kayak gini.”
“Dia selalu bangga sama gue.”
“Dulu perasaan ada yang ditendang keluar rumah karena nekat masuk klub renang.”
Wahyu berdecak, dia mengancingkan celana jins nya. “Itu waktu gue SMP. 7 tahun lalu. Gue pikir juga keterlaluan ngusir anak nya yang masih bocil keluar rumah.”
Wahyu mendengar Henry tertawa. “Cuman seminggu doang. Setelah itu beliau dateng ke rumah gue sambil nangis minta lo buat pulang ke rumah.”
Wahyu memakai hodie nya, membuka pintu sambil tersenyum. “Karena sejati nya nggak ada orang tua yang serius ngusir salah satu anak nya.”
Henry keluar dari kamar mandi terlebih dahulu, berjalan pelan menunggu Wahyu untuk mengikuti nya. Dia menatap tangan nya yang memegang piala milik Wahyu.
Dia bangga, dia yang melatih Wahyu hingga menjadi seperti sekarang. Atlet terkenal saat SMA –walau Wahyu sudah menekuni renang sejak SMP-, sudah puluhan kali mendapatkan medali, pernah memasuki TV saat dia ikut bertanding mewakili nama SMA-nya.
Yang paling membuat nya bangga, Wahyu masih sama seperti dulu. Dia masih bandel –hal yang tidak bisa dia rubah sejak masih kecil-, dia masih suka bercanda dan terkesan tidak serius saat mengikuti pertandingan, dan dia masih tetap rendah hati saat atlet lain menyombongkan medali yang mereka punya.
Suara bersin di samping nya membuat Henry menoleh. Mendapati Wahyu yang menenteng tas di pundak nya dan tangan yang dia masukkan ke saku hodie. Terlihat kedinginan.
Henry tertawa, “Atlet renang mana yang flu cuman karena terlalu lama di air?”
“Lo nggak tau gimana dingin nya air di kolam. Beuh, kalau lo disana semenit aja, lo langsung ngeluh ini itu.” Wahyu beralasan. Tidak sedingin itu. Karena ini sedang musim kemarau. Cuaca nya terlalu panas untuk membuat air di kolam menjadi dingin.
“Lo yakin nggak mau jadi atlet?”
“Gue masih atlet ini, btw.”
“Kenapa enggak masuk universitas khusus sih?” Henry menyayangkan bakat Wahyu. Dia sudah lebih dari siap untuk menjadi atlet mewakili negara. Dia tidak tau kenapa Wahyu membuang kesempatan yang sudah ada di depan mata.
“Gue lebih pengin membantu atlet nanti. Ngasih motivasi dan buat mereka semangat dan nggak nyerah sama impian mereka. Karena itu gue milih jurusan Pendidikan Pelatihan Olahraga.”
“Lo masih bisa ikut ternamen nanti?”
Wahyu menggeleng. “Gue kerja, jadi enggak bisa jadi atlet lagi. Jujur, gue agak bosen sama renang. Air yang selalu gue masuki di setiap pertandingan seakan akan udah nolak gue, berat banget. Gue gerakin tangan gue aja butuh tenaga ekstra.”
Henry menghembuskan napas lelah. Rasa bosan pasti ada. Hanya saja dia tidak tau bagaimana menyampaikan pada Wahyu.
Mereka keluar dari gedung, berjalan menuju parkiran tempat dimana Wahyu memarkirkan mobil nya tadi. “Lo yakin bisa lepasin renang nanti?”
Wahyu menumpukan berat badan nya di mobil nya, menatap Henry yang membuka pintu mobil nya, enggan menatap nya balik. “Enggak, lagian gue masih bisa renang nanti. Jadi atlet bukan segala nya.”
Wahyu membuka pintu belakang mobil, meletakkan tas nya di sana lalu menutup nya kembali. Dia membuka pintu kemudi, hendak memasuki mobil namun dia urungkan saat tak sengaja mata nya menatap ke samping.
Mengawasi gerak-gerik perempuan yang memakai gamis soft pink dengan jilbab besar bewarna senada. Tubuh nya yang pendek mengharuskan mendongak saat dia berbicara dengan teman nya. Jas almamater warna biru muda yang perempuan itu bawa yang tak asing menarik perhatian Wahyu.
Hidung nya kecil, bibir tipis nya melengkung membentuk senyuman, membuat mata nya terlihat seperti bulan sabit. Wahyu bisa melihat bulu mata lentik nya, alis tipis yang tidak dia gambar lagi seperti perempuan kebanyakan.
Subhanallah, indah sekali ciptaan-Mu.
Wahyu menahan napas saat dia dan teman nya berjalan melewati depan mobil nya. Perempuan itu menatap nya, Wahyu tersentak, mundur ke belakang. Mata nya masih setia menatap dia walau otak nya terus meminta untuk menurunkankan pandangan.
Perempuan itu mengangguk sopan, tersenyum pada nya -walau tidak sampai membentuk lengkungan- lalu dia berjalan melewati nya. Wahyu tetap terdiam, dia bahkan tidak mendengar suara Henry yang terus memanggil nama nya sedari tadi.
Suara klakson mobil menyadarkan nya. Wahyu membungkuk, menatap Henry linglung. “Lo kenal dia?”
Henry mengangkat alis nya, “Siapa?”
“Perempuan yang baru aja lewat di depan kita.”
Henry mengangguk, dia mengerti yang Wahyu maksud. “Nameera?”
“Lo kenal?” Henry menyerngit, dia menatap Wahyu aneh. “Lo yakin nggak kenal dia?”
Wahyu menggeleng. Henry menghembuskan napas lelah, dia menjelaskan. “Nameera, baru masuk tahun ini. Kuliah di UNS, jurusan kedokteran. Banyak yang kenal dia karena orang nya yang ramah.”
Wahyu terdiam, dia menatap Henry. “UNS? Universitas Sebelas Maret?”
Henry mengangguk.
“Satu kampus sama gue?!!”
“Ck. Bego!”

Bình Luận Sách (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    3d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất