logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 8 Mulai Mencari Sosoknya

Angin menerpa wajahku, membuat kulit menegang, tembus dinginnya hingga ke tulang. Aku mengaharap sosok yang akhir-akhir ini membuat hatiku menghangat, yang sekarang hanya bekas kehangatannya yang bisa kurasakan.
Mataku terpaku pada kursi kosong di sebelahku, sembari sesekali menyebar pandangan, siapa tau perempuan yang kuharapkan datang sedang duduk di tempat lain.
Bahkan kakiku sudah mengitari kawasan alun-alun bagian dalam, dan juga bagian luar, tetap saja nihil.
Perempuan yang dulu sering kulihat duduk dikursi yang ada disebelahku, saat aku menghabiskan waktu menjelang malam disini.
Aku selalu menyempatkan kesini demi untuk melihatnya, setiap hari semenjak insiden di Pasar Sore.
Juga hampir setiap pagi kusambangi tukang bubur ayam, tempat pertemuan kedua kami. Lagi-lagi mengharapkan kehadirannya yang tetap hanya menjadi sekedar harapan.
Perempuan itu tidak lagi muncul. Terakhir kami bertemu dua minggu yang lalu saat di pasar sore.
Bukan karena aku ingin jaketku segera dikembalikan, hanya saja hatiku kecewa. Aku saja sudah memasukkan dia kedalam list calon istri yang kubuat, on the way kuperjuangkan, tapi sekarang batang hidungnya saja tidak kelihatan.
Seharusnya waktu itu kutinggalkan saja nomer WhatsAppku, meminta dia untuk menghubungiku jika ingin mengembalikan jaket yang kupinjamkan, bukan malah melarikan diri seperti yang kulakukan.
Aku takut jika itu pertemuan terakhir kami. Rasanya sedih sekali saat harus ditinggalkan bahkan belum sempat berjuang. Bukan sedih karena jaketku tidak kembali.
Terlepas dari aku yang mempercayai dia jodohku, tapi jika Allah malah berkehendak lain, aku sebagai hamba-Nya yang lemah bisa apa?
Pertemuan-pertemuan tanpa sengaja yang kuanggap bukan hanya kebetulan belaka, tapi karena memang takdir Allah yang menginginkan sepasang hamba-Nya bertemu untuk segera menghalalkan ikatan.
Saking yakinnya aku bahkan lupa jika dia masih sendiri atau tidak. Jika sudah bersuami kan malah tidak lucu.
Tapi, teringat akan pembicaraannya dengan temannya waktu itu, yang membahas pernikahan, bisa dijadikan bukti bahwa dia belum bersuami.
Mustahil tidak jika aku berharap pada perempuan yang entah dimana rumahnya. Namanya saja aku tidak tau.
Mengaku jika berniat memperjuangkan, tapi mengajak kenalan saja tidak berani.
Laki-laki mana jika bukan diriku sendiri?
Yang tiap hari kerjaannya nyariin kesalahan orang, nilang orang, tapi nilang hati perempuan idamannya saja tidak berani. Bagaimana mau memperjuangkan jika seperti itu.
Belum, ini aku masih dalam masa penjajakan. Makanya sekarang aku getol mencari perempuan itu.
"Dam....."
Sebuah teriakan mampir ditelingaku, langsung mengarahkan mataku kesosok yang berteriak itu.
Kudapati Ardan sedang melambaikan tangannya kearahku sembari kakinya mengayuh sepeda, menulusuri pinggiran jalan raya.
Aku hanya membalas dengan satu lambaian tangan, aku yakin tidak dia lihat karena sepedanya sudah menjauh.
Mataku masih mengekori sepeda yang membawanya, yang perlahan menghilang ditikungan. Dia tidak sendirian, disebelahnya tadi ada seorang perempuan yang juga bersepeda, dia hanya tersenyum kepadaku saat Ardan melambaikan tangan.
Dan aku tidak sempat membalas karena terlalu fokus dengan Ardan. Jika tidak salah, perempuan itu adiknya Ardan.
Pernah melihatnya beberapa kali saat aku berada di rumah Ardan. Adiknya itu jarang berada di rumah, karena sedang kuliah perawat di luar Trenggalek.
Sore seperti ini, memang waktu tersantai untuk bersepeda. Dulu, aku masih sering bersepeda mengelilingi alun-alun bersama Ardan, atau sendirian jika Ardan yang kuajak beralasan kelelahan.
Sekarang, olahraga setiap pagi saja sudah syukur. Setidaknya, sixpack di perutku masih bisa kupertahankan.
Aku melihat Ardan melajukan sepedanya ke arahku. Kali ini tidak ada lagi perempuan di sampingnya.
"Adik lo mana?"
"Balik, udah KO dia,"
Ardan memarkir sepedanya dipinggiran jalan raya. Melepas helm sepedanya, lalu duduk disebelahku.
"Sedikit banget ceweknya masa. Kan gue kesini niatnya mau lihat mereka."
"Sefrustasi itu lo gegara terpaksa mangkir dari ciwi-ciwi sekolahan?"
"Udah gue ikhlasin sih, lo udah tuwir gak pengen nikah apa? Biar gak main solo lagi?"
Jika mencekik leher orang tidak termasuk salah satu cara pembunuhan, aku lakukan untuk membalas Ardan, walaupun perkataanya sama sekali tidak membuatku kesal.
"Kalo standar calon istri lo yang kaya ukhti-ukhti berpipi kemerahan-merahan belum lo temuin, turunin standar kek gitu. Cari kek yang pipinya kekuning-kuningan,"
Tawa Ardan meledak, aku mendengus kasar. Kefikiran juga untuk mendoakan laki-laki disebelahku ini lajang seumur hidup, tapi kasihan jika Tuhan mengabulkan.
Biar saja dia terus merecokiku seperti itu, terus seperti itu tanpa berniat membantu mencarikan perempuan,  mungkin. Bahkan jika itu terjadi, aku pasti menolak karena perempuan pilihan Ardan akan bertolak belakang dengan seleraku.
"Eh, makan yuk."
Tawaran Ardan menarik juga. Daripada menunggu hari terlalu malam untuk makan, makan di sore hari menjadi pilihan yang tidak ada salahnya.
"Utang dulu tapi, gue gak bawa duit."
"Utang sama penjualnya kan, gak sama gue?"
"Sama lo lah."
Nasi gegok menjadi pilihan kami, disamping karena sudah lama aku tidak makan nasi tradisional itu, hangat nasinya akan menghangatkan lambung kami.
Makanan khas dari Bendungan, salah satu kecamatan di Trenggalek. Nasi putih yang diberi aneka sambal seperti sambal teri, sambal tuna, sambal ayam, lalu dibungkus dengan daun pisang, dan dimasak lagi dengan dikukus. Menguar aroma daun pisang yang khas, menjadi tambahan kenikmatan nasi yang dinamai 'gegok' itu.
Setauku, mengapa dinamai 'gegok', ternyata gegok adalah singkatan dari 'sego godong gedang'.
Yang artinya nasi daun pisang.
"Mas, jadi pulang kan?"
Pesan dari Ibra membuatku terburu-buru menyelesaikan makanku.
Usai menandaskan tiga bungkus nasi dan segelas teh hangat aku membayar makananku dan juga makanan Ardan.
Satu bungkus nasi gegok yang porsinya memang kecil, tidak pernah bisa membuatku kenyang. Ardan saja menghabiskan satu bungkus lebih banyak dariku.
"Gue duluan Dan....mau balik ke Panggul,"
"Eh, tapi udah bayarin punya gue kan?"
"Beres."
Dua hari ke depan, aku libur kerja. Ibra juga libur prakerin, aku yang rindu nasi tiwul ala Umi, berinisiatif untuk pulang habis Maghrib nanti, bersama Ibra tentunya.
Jangan sesekali mengunjungi kecamatan dataran tinggi disini pada malam hari, apalagi jika kalian masih newbie. Jalan curam seperti yang pernah kujelaskan, perlu menjadi pertimbangan bagi kalian yang masih sayang nyawa.
Bukan juga aku tidak sayang nyawa karena melakukannya, beda lagi ceritanya. Aku kan tidak newbie, naik turun jalan berkelok di sana, sudah menjadi kebiasaan yang sering kulakukan. Tapi tetap dengan mengutamakan keselamatan tentunya.
====
"Adam kan?"
Aku yang sedang menunduk menyiangi rumput dihalaman rumah, mendongak.
Sinar matahari langsung membuat mataku menyipit.
"Eh...Luna,"
Meninggalkan sabit begitu saja diatas rerumputan, aku menghampiri Luna yang berdiri di luar pagar.
"Aku gak salim sama kamu ya Lun...tanganku kotor." Ujarku seraya menunjukkan tanganku yang kotor penuh tanah.
Teman semasa SMA ku dulu ini tersenyum.
"Sak maremmu ae Dam..."(sesenangmu saja Dam...)
"Kamu tumben Lun, pulang."
"Iya Dam,  Mas Arya lagi ada proyek disini,"
Mas Arya yang disebutkan Luna itu suaminya. Setelah menikah, temanku itu harus ikut suaminya ke Surabaya, karena pekerjaan suaminya disana. Aku juga jarang melihat dia saat aku sedang berada disini.
Entah dia sering mengunjungi orang tuanya disini, saat aku berada di kota, atau memang tidak sama sekali aku tidak tau.
"Gimana kabarnya?"
"Seperti yang kamu lihat Lun, baik."
Luna mangut-mangut, lalu dia berkata lagi, "Kapan nyebar undangan nikah? Apa jangan-jangan udah nikah terus aku gak kamu undang?"
Alisku bertaut, lalu terbahak.
"Belum Lun...tenang aja aku gak bakal lupa sama orang yang dulu setia ngasih kabar pacaranku ke Umi."
Ibu berdaster ini terbahak. "Ya kan, aku gak rela kalo kamu pacarannya sama dia Dam..."
Kini berganti keningku yang berkernyit. "Jadi, dulu kamu naksir sama aku?"
"Ye,,,kepedean. Ya enggaklah. Kamu dulu bukan most wanted, enggak selera."
Yang dikatakan Luna memang benar. Semasa SMA ku dulu aku bukan anak ganteng nan keren, yang langsung menjadi favorit ciwi-ciwi satu sekolah.
Hanya murid remaja biasa, tapi tetap tampan karena dari orok aku sudah terlahir tampan. Kegantenganku waktu itu, bukan standar kegantengan yang memenuhi syarat untuk menjadi siswa favorit di sekolah.
Ganteng saja tidak cukup, keren juga utama. Sementara aku, sama sekali tidak keren.
Bahkan aku pede mengenakan seragam kusutku, yang jika Umi tau bakal diceramahinya habis-habisan.
"Masa Pak Pol gak ada yang minat? Yang jelas duitnya se Bank BRI gak muat. Apa emang seleramu aja yang tinggi Dam?"
Kekhawatiran temanku karena aku tidak kunjung menikah, sama seperti kekhawatiran Umi.
Apa mungkin, Luna malah percaya sama argumen 'suka sesama jenis'?
"Ya seleraku yang utama harus ceweklah Lun,"
"Ya iyalah Dam aku tau kalo itu."
Kemungkinan yang kubuat, ternyata tidak berlaku untuk Luna, yang sudah lama tinggal di kota se elite Surabaya.
"Belum ada calon beneran kamu?"
Aku menggeleng, seraya menampilkan senyumku. Menunjukkan kepada Luna, bahwa aku baik-baik saja. Lebih-lebih jika malah bisa membuat dia urung mengasihaniku, yang berujung mencarikan perempuan, sama seperti yang Umi lakukan.
Aku tidak mau mengulang perkataan ku kembali, yang dulu kukatakan juga kepada Umi, ke Luna. Terlalu panjang, dan alasan yang lain, aku sudah tidak terlalu ingat.
"Tapi, ada kok. Ini masih kucari identitas nya dulu."
Sambungku sebelum Luna benar-benar bicara tentang kesanggupannya mencarikan calon untukku.
"Lah, kamu kira maling motor, pake cari identitas dulu."
Aku nyengir. Tidak apa-apa Luna melucu, lebih baik daripada merespon  'mau aku cariin cewek enggak?' yang tentunya membuatku dua kali merasa tidak pernah bisa mencari calon istriku sendiri.
"Yaudah deh Dam, aku pulang, takut anakku bangun nyariin emaknya. Kalo butuh bantuan buat deketin setelah dapat identitasnya, jangan lupa calling-calling."
ujarnya sembari jari kelingking dan jempolnya membentuk gestur telepon.
Ibu satu anak itu pulang usai aku merespon 'iya siap, komandan' tentunya juga aku iringi dengan sikap hormat. Tak lupa juga aku menitipkan salam ke Arya, suaminya.
Tambah nyesekkan jika teman- temanku sudah pada punya anak, sementara aku menikah saja belum.
Tapi, Luna merespon dengan cara berbeda ketika tau aku sedang mencari calon istri. Tidak seperti Ardan, dan juga ibuku sendiri.
"Le...Adam...."
Kan, baru saja dibatin sudah muncul. Panjang umur, Umi ku itu.
"Inggih Mi..."
"Nasi tiwulnya sudah Mateng itu lho,"
Aku tersenyum senang, segera mencuci tanganku di kran yang ada ditembok dekat pagar.
Tujuan utamaku pulang, kan ya ini. Nasi tiwul iwak tongkol ples kulupan.
Nasi yang dibuat dari bahan utama ketela pohon, dimakan saat masih hangat dengan ikan tongkol, rebusan daun bayam, dan jangan lupa guyurkan kuah ikan diatasnya.
Yang spesial adalah karena buatan Umi.
Di sekitaran rumahku di kota, ada banyak yang menjual. Apalagi di wilayah yang dekat dengan laut, seperti Watulimo, ada banyak sekali yang jual. Bisa request macam-macam ikan malah. Rasanya dijamin lezat, tapi menurutku masih lezat buatan Umi.
Masakan sederhana yang selalu membuatku rindu kampung halaman.

Bình Luận Sách (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    24d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất