logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Pak Made

Jalanan malam begitu ramai. Meski tidak melihatnya dengan jelas, aku tahu kondisinya sedang macet. Lututku sudah ngilu tidak karuan sementara parahnya adalah: aku sedang berpura-pura tidur. Menahan bagaimana keras rasa sakit itu berkedut-kedut dilutut seperti seseorang tengah mencoba memotong tulang sapi dengan badik, aku merasa seperti tengah sakit keras. Melirik sekitar, orang-orang asing ini tengah kerepotan karenaku. Belum lagi pemuda yang tiba-tiba menjadi tenang ini masih memangku tubuhku di atas kedua kakinya tanpa memasang ekspresi keberatan sedikitpun.
Aku menggerakkan kepala, merasakan dadanya yang bidang sedang kupakai bersandar. Manusia pasti pernah merasa ‘nggak enak’ dengan kebaikan orang lain yang membuatnya nyaman. Tapi, alih-alih menolak, lebih baik menerima dulu sebelum berkata ‘jadi nggak enak’ sebagai bentuk proteksi atas kerakusan diri. Tapi aku tidak. Aku tidak pernah merasakan itu, sebab aku tidak menerima kebaikan orang lain secara Cuma-Cuma.
“Tempatnya jauh sekali, ya?”
Ia terkejut. Bahunya terlonjak.
“Kenapa?”
Wajahnya begitu dekat tanpa disadari, tepat di atas wajahku. Jika mendongak sedikit, aku bisa melihat bibirnya.
“Bisa, tidak, aku di taruh di sebelah situ?” aku menunjuk ke sebelahnya. Ia menoleh ke arah itu.
“Di sini?” tanyanya memastikan, kemudian ia jadi sedikit bingung. “Tapi kakimu belum boleh ditekuk.”
Benar juga. Ia punya alasan untuk melakukan ini, bukan sepertiku yang egois hanya mementingkan perasaan pribadi. Seharusnya aku tidak berpikir macam-macam. Tapi mungkin berkat permintaanku, ia jadi kepikiran macam-macam. Jari-jarinya terasa bergerak gugup di bawah sana dan nyatanya ia hanya mengatur posisi kami agar sama-sama merasa nyaman.
“Kamu, nggak nyaman?” tiba-tiba dia bertanya dengan nada rendah sekali, tapi aku langsung menjawab, “iya,” tanpa ragu.
“Nggak nyaman karena posisinya?”
“Bukan,” sergahku pelan, kemudian memberitahukannya sebuah fakta memalukan. “Nggak nyaman karena aku ini berat.”
Aku yakin ia terkejut, tapi bahunya bergerak. Bermurah hati menunjukkan sebuah reaksi atas informasi konyol itu sebelum berakhir membuang napas panjang.
“Tapi memang sedikit berat, sih,” liriknya jenaka, memasang tampang pura-pura mengeluhnya sebelum kubalas tidak terima. “Tapi tenang aja. Sudah biasa, kok.”
“Sudah biasa apa?”
“Mengangkat yang berat-berat.”
Lumayan berani juga ia mengataiku begitu. Dia kira aku ini barang?
“Tapi tenang aja. Kamu nggak terlalu berat, kok. Masih lebih berat kulkas yang tiap pagi kuangkat.”
Ekspresinya tentram seperti pecinta kedamaian. Tapi sadar atau tidak sadar, ia sudah membandingkanku dengan sebuah kulkas. Inti sari perkataannya barusan adalah: mau tidak mau, kamu itu sebenarnya kembarannya kulkas. Menyebalkan sekali.
“Rumah kamu di mana?”
“Memangnya kenapa?”
Ia melirikku sambil menatap tak percaya.
“Jadi kamu bisa pulang sendiri, nih?”
“Bisa.”
“Oh, ya sudah.”
Kemudian percakapan berakhir begitu saja. Ia terdiam jadi sekali dan aku tidak mau kalah. Anehnya berselang beberapa detik kemudian, diamnya berubah menjadi sangat biasa. Seperti tidak ada yang terjadi dan tidak ada yang perlu dirasa pergi. Aku menelan saliva. Memandangnya bingung.

“Sudah kubilang kalau aku berat, bisa taruh di sebelah saja kan?”
Napasnya berhembus pelan. Matanya masih berkedip dengan normal. Tanpa alasan, aku jadi tertantang untuk mengetahuinya lebih banyak dari ini. Seperti, membuatnya bicara detik itu juga?
Aku masih menunggu. Ia tanpa sengaja melirikku dengan mimik serupa. Tatapannya yang kosong tengah mencari-cari sesuatu dan tanpa ancang-ancang, “sudah makan?” tanyanya serius. Oh, astaga. Mataku terbelalak. Barusan apa yang ia katakan, sudah makan?

Pemuda ini agaknya berbeda dari jenis manusia yang lain, tapi pura-pura sajalah seperti tidak tahu.
“Hm, belum. Cuma sarapan tadi pagi.”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa belum makan?”
Kok, bertanya seperti itu, sih? Aku jadi bingung. Tanpa diduga hanya karena sebiji pertanyaannya jadi membuatku repot-repot berpikir.
“Yah, karena insiden ini kan?”
“Insiden?”
Aku tak percaya telah mendengarnya. Ekspresi murni tanpa zat kimia itu terasa tak menyehatkan sama sekali. Ia hanya berakting atau berpura-pura akting, sih? Itu sama saja tapi aku bodoh dalam membaca kebenaran.
Sepersekon detik kemudian, aku menunjuk lututku yang masih berkedut-kedut.
“Dislokasi,” ujarku padanya. Kemudian melempar arah telunjuk jauh keluar jendela. “Harus pergi diurut dulu.”
“Oh,” katanya. Selesai.
Aku tercenung. Anggukan pelannya seolah-olah mengatakan bahwa jiwanya baru hadir di sini dan ia sedang bingung dengan kondisi sekitar lalu bertanya. Seseorang memberitahunya dan ia berlalu begitu saja. Hanya ingin tahu dan sekadar ingin lewat.
“Kakak nggak apa-apa, kan?” tanyaku lagi saat tatapan kami secara kebetulan bertemu. Memasang raut khawatirku, ia mengangkat alis.
“Apanya?”
Aku jadi ragu padahal tadi sudah yakin. “Ah, nggak ada.”
Ia mengangguk lagi, membiarkannya berlalu. Namun tak lama, ia menoleh untuk memastikan sesuatu.
“Ka—kak?”
Aku mengangguk. “Kakak kelihatannya lebih dewasa soalnya.”
“Memangnya umur kamu berapa?”
“Dua puluh.”
“Dua puluh berapa?”
“Dua puluh pas.”
“Oh, berarti kamu lebih muda dariku.”
“Memang kelihatan begitu, kok. Kakak umur berapa?”
“Dua puluh tiga, tapi bukan berarti tua. Bukan berarti harus dipanggil kakak juga, sih. Aku kan bukan kakakmu.”
“Iya, sih, tapi aku tidak bilang kakak tua, aku bilangnya kakak itu dewasa. Dan orang Korea suka panggil yang lebih dewasa dengan sebutan ‘kakak’.”
“Orang korea? Apa hubungannya?”
“Nggak ada hubungannya. Tapi aku Cuma bilang kalau orang Korea suka panggil yang lebih dewasa dengan sebutan, ‘kakak’.”
“Kamu orang korea?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Tapi aku K-popers.”
“Apa lagi itu?”
“Penggila Korea.”
“Penggila Korea?” ia terheran-heran.
“Kenapa begitu? Memangnya Korea itu setampan apa sampai digilai segala?”
Aku menghela napas. “Kakak ini benar-benar nggak tahu atau selama ini hidup di dalam goa, sih? K-pop itu, Korean pop. K-popers, adalah sebutan bagi penggemar k-pop. K-pop sendiri berasal dari Korea selatan. Tempatnya Super junior dan Girls generation di lahirkan. Boyband and girlband terkenal. Tapi sekarang ada BTS yang sedang booming.”
“Oh, si ‘itu’,” ujarnya sambil mendecih pelan.
“Si ‘itu,’ apa maksudnya?” aku bertanya sewot.
“Si ‘BTS,’ itu.”
“Iya, nama grup mereka, ‘BTS’ ya, bukan si ‘itu’. Kakak hati-hati kalau bicara.”
“Hati-hati?” matanya terbelalak sebelum menyemburkan tawa.
“Memangnya mau menyebrang jalan pakai hati-hati segala? Kamu ini suka membesar-besarkan masalah, ya?”
“Nggak, kok. Aku ini orang yang suka cari masalah.”
“Iya, betul, itu maksudnya. ”
“Dan kakak itu tukang memancing keributan.”
“Salah, salah besar itu. Aku tukang mancing ikan, bukan keributan.”
“Oh, itu mangkanya ada gambar ikan lele di lehernya, ya?”
“Heh sembarangan bilang ini ikan lele!” sontaknya terkejut sambil memegang leher sendiri dengan erat.
“Terus?” tanyaku, enteng.
“Ini ikan kerapuh!”
“Ikan kerapuh? Ikan apa itu?”
Ia merotasi bola matanya dengan jengah sebelum melanjutkan, “ikan yang hidup di dalam air, deh, intinya. K-pop dibela-belain setengah mati. Ikan kerapuh nggak tahu.”
“Eh itu nggak ada urusannya, ya.”
“Satu sama. K-pop tadi juga nggak ada urusannya sama obrolan.”
“Kakak pendendam, ya?”
“Bukan. Aku pemancing.”
“Jadi pemancing ikan lele aja bangga, eh!”
Aku langsung mengatupkan bibir rapat-rapat saat bola matanya terlihat membesar. “Kubikin jadi pecel lele baru tahu rasa kamu,” tukasnya penuh dendam, tapi aku jadi antusias dan berakhir membuatnya dongkol setengah mati.
“Pecel lele boleh juga. Enak, tuh!”
***
Setelah 30 menit berlalu, kami semua tiba di suatu tempat yang sedikit menyeramkan. Kediaman pak Rumi, katanya, (Tukang ahli urut) yang posisi gang rumahnya ternyata dihimpit oleh kuburan Islam dan Kristen. Memberi kesan angker tersendiri meski dimuka gang tersebut berhadapan langsung dengan jalan raya.

Sampai di depan rumah, Paman bertato keluar lebih dulu untuk pergi mengetok pintu. Memastikan perjuangannya tidak sia-sia, seorang wanita akhirnya membukakan pintu sambil memperbaiki jilbabnya—berbicara dengan paman bertato. Tak lama, masih dengan cahaya mobil yang menyoroti mereka dengan terang benderang, beliau mengisyaratkan kami untuk keluar.
“Ayo, nak, kita keluar.” Seorang wanita paruh baya disamping kemudi yang sedari tadi menemani paman bertato itu, menengok keadaan dan berkata lagi kepada kami dengan suara yang lembut.
“Hati-hati, ya. Jangan sampai jatuh adiknya.”
Adik?
Belum juga menyahut: ‘bukan, saya bukan adiknya,’ namun si tato ikan sudah menyanggah dengan senyum yang kelewat ramah.
“Dia hanya orang asing yang baru tadi saya lihat, Bu. Dia bukan adik saya.” Membuat isi hati mendadak remuk. Pemilihan katanya benar-benar tepat sasaran.
***
“Nama kakak, siapa?” tanyaku disela-sela keseriusannya ingin cepat-cepat menyelesaikan ini.
“Memangnya, buat apa?”
Dia pendendam sekali, benar-benar. Karena setelah tahu nama Ibu yang baik ini adalah Bu Ratna, dan paman bertato yang adalah suaminya itu bernama pak Made, si tato ikan ini jadi sensitif jika kutanyai tentang nama.

“Yah, supaya kalau ada apa-apa nanti, entah nyawaku selamat atau nggak, setidaknya aku ingat nama Bu Ratna, Pak Made, dan… kakak?”
“Esa,” ucapnya sambil mencopot kedua sepatu dengan mandiri sebelum melangkah masuk ke dalam rumah pak Rumi.
“Dwiarso Paresa,” sambungnya lagi. Tidak ingin sampai aku kehilangan kesempatan untuk mengetahui nama lengkapnya yang berharga. Terdengar cukup bagus.
“Lagi pula, manusia nggak akan mati semudah itu hanya karena dislokasi. Jangan berlebihan.”
Aku baru saja berpikir untuk membalas perkataannya, namun ia sudah bertanya lagi. “Memangnya kalau sudah meninggal, kamu masih punya ingatan?” yang sukses membuatku tercengang dan berakhir bungkam menggigit bibir bawah sendiri. Emosiku selalu terlatih untuk bertahan. Jadi, kubiarkan ia menang, hanya untuk kali ini.
Ia meletakkanku di atas tikar pemilik rumah dengan sangat hati-hati. Menunggu Pak Rumi tiba di rumah setelah sang istri memberitahu kami bahwa beliau sedang pergi salat Isya di masjid. Bu Ratna sangat memaklumi itu sebab ia beragama Hindu, sama dengan suaminya. Tapi Pak Made terlihat biasa saja. Hanya Bu Ratna yang berusaha mencairkan suasana.
Saat hening menerpa kami semua, aku dapat mendengar suara kipas angin yang berdebu dengan jelas karena tv-nya sedang tidak menyala. Di dinding, ada pigura yang berisi foto keluarga. Aku bisa menebak siapa saja yang ada di sana. Selain Pak Rumi dan istrinya, gadis dan bocah laki-laki itu pasti anaknya. Meski… aku tidak tahu pasti alasan kenapa mereka semua harus memasang senyum terpaksa begitu, seolah-olah tidak bahagia.
Berdeham untuk sekian kali, Bu Ratna kembali mencairkan suasana. Dan bahkan, perbincangan mereka tidak lama menjadi lebih ramai dari suara kipas angin yang berdebu. Obrolan orang tua, biasa. Sangat membosankan. Aku melirik teh hangat yang tersaji di depan kami. Uap kecilnya menari-nari.
Dibandingkan penasaran tentang alasan di balik senyuman terpaksa foto keluarga itu, aku lebih penasaran dengan sosok manusia yang tengah duduk di sampingku ini. Ia hobi sekali berdiam diri kalau tidak diajak bicara.
“Kak Esa,” panggilku, usil. Ia hanya bergeming. Dengan lekas kumiringkan tubuh ke arahnya untuk bertanya, “agama kak Esa, apa?” dengan raut penasaran. Ia melirikku sekejap. Terbesit raut ilfeel yang ditutup-tutupi dengan sempurna sebelum akhirnya bergumam, “nggak punya agama,” dengan raut enteng. Air mukanya bebal seolah kebal dosa.
“Astaga,” responku terkejut. Kedua tanganku bahkan sontak menutup mulut. Bu Ratna sekilas melihatku dengan mengangkat kedua alis, namun dengan cepat aku menggeleng tersenyum sebelum kak Esa balik bertanya dengan muka herannya.

“Kenapa?”
“Kakak kenapa ngomong begitu?”
“Ngomong bagaimana?”
Mesti, deh. Kalau berbicara dengannya pasti harus diulang-ulang. Aku menaruh kembali cangkir tersebut, kemudian mendekatkan diri kepadanya. Bertanya hati-hati.
“Kakak pengidap amnesia, ya?”
Ia melihatku. Bola matanya terpaku cukup lama sementara isi kepala sedang menstimulasi sejumlah data yang berkaitan dengan pertanyaan itu. Tring,, suara nada dering panggilan dari ponsel Bu Ratna membuyarkan lamunannya. Aku menoleh dan melihat beliau seperti baru saja mendapatkan kabar buruk dengan alis yang bertaut. Tak lama berselang setelah menutup telpon, Bu Ratna kemudian berdiskusi dengan suaminya. Kelihatannya masalah serius. Disisi lain aku masih menunggu. Kak Esa juga terlihat kesulitan entah dalam konteks apa. Rautnya sangat sulit dibaca dan tak lama sebelah matanya memekik, ia mendengus kesakitan.
“Kak—”
“Kami pamit dulu.” Mendadak bu Ratna dan pak Made berdiri.
“Lho, kenapa?” tanya istri Pak Rumi yang kebetulan bertepatan dengan kehadiran Pak Rumi. Beliau juga jadi bertanya-tanya. “Ada apa ini?” sedangkan Bu Ratna seketika menitikan air mata.
Aku kebingungan. Pak Rumi juga. Pak Made terdiam dan kak Esa mendadak pusing. Tapi pada akhirnya dengan kontrol diri yang baik, Pak Made menjelaskan pelan-pelan kepada kami bahwa, “anak kami, Putu, dia sedang sakit. Demamnya tidak turun-turun selama beberapa hari. Sudah dibawa ke dokter kemarin katanya hanya flu biasa. Tapi baru saja neneknya menelpon sekarang dia dibawa ke UGD karena muntah darah. Mangkanya Ibunya ini khawatir sekali. Kami harus ke sana sekarang.”
Aku jadi berkedip banyak, mendadak ikut khawatir. Pak Rumi menengok sang istri, mempertanyakan situasi yang terjadi namun sang istri tak lantas menggubris sebab ia memasang raut yang serupa dengan bu Ratna. “Oh, iya! iya! Tinggal saja pak, ndak apa-apa. mereka di sini nanti gampang diobati, kok. Putu lebih penting sekarang. Jangan khawatir.”

“Terima kasih banyak, Bu. Nanti bagaimana-bagaimana pak Rumi bisa hubungi saya kalau anak ini sudah selesai di obati. Nanti saya jemput—”
“Oh, tidak usah bli! tidak usah, tidak usah. Kami bisa pulang sendiri nanti.” Kak Esa dengan cepat tanggap menghalau tawaran tersebut. Aku hanya diam saja. Membiarkan semuanya terjadi sampai keputusannya final.
“Ndak apa-apa, nak?” beliau bertanya padaku, aku gelagapan.
“Oh, ndak apa-apa, pak. Sudah dibawa ke sini saja saya bersyukur sekali. Terima kasih banyak.”
Pak Made menggoyangkan tangan kanan yang berarti itu bukan apa-apa sambil memberikan gestur mundur sedikit. Mereka berpamitan. Pak Made merangkul pundak sang istri. Aku dan kak Esa diam berdampingan namun ia berdiri. Kemudian mengkawal pak Made dan sang istri menuju mobilnya. Sekilas dalam kondisi tak seharusnya aku berpikir begini, aku iri. Putrinya tentu lebih penting dari siapapun saat ini. Aku mengerti, sangat mengerti. Tapi, punya ayah disamping kita saat kita tengah kesakitan itu rasanya pasti akan lebih baik, bukan? Aku merasa Putu mengambil perasaan nyamanku sebagai seorang putri yang tengah diperhatikan ayahnya. Dan aku jadi sedih karena tiba-tiba rindu ayahku sendiri.
***

Bình Luận Sách (43)

  • avatar
    Muh Haris

    bagus

    23/08

      0
  • avatar
    SekuadKaldi

    bagus

    13/08

      1
  • avatar
    RahmiAulia

    bagus cer8

    28/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất