logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Kami Tidur Bersama

Aku baru sadar bahwa kakiku mulai mengikuti gerakannya. Kurasakan ketegangan saat menatap matanya. Kami saling berhadapan, tangannya mencengkram pundakku seraya melangkah maju. Tindakannya ini sungguh membuatku menjadi gugup.
"I ... Imran ...," ucapku, grogi.
Bagaimana ini? Apakah aku akan menyerahkan diriku begitu saja? Ini sungguh terlalu cepat. Padahal baru saja beberapa dia datang dari luar negeri, hubungan kami pun belum jelas, mengapa aku sudah berada dalam situasi ini? Bisakah aku menolak?
"Hmm," jawabnya singkat sambil menggigit bibir bawahnya.
Sial! Sepertinya aku tidak yakin bisa menolaknya!
Saat aku sadar bahwa langkahnya terhenti, aku pun langsung berhenti. Dengan lembut dia menuntunku duduk di sofa, sedangkan dia masih berdiri. Apa yang akan dia lakukan? Namun, betapa kagetnya diri ini setelah apa yang dia lakukan selanjutnya.
"Udahlah, gue aja yang masak. Lo duduk aja di situ. Hisap jarimu itu, biar darahnya berhenti." katanya seraya melangkah menuju dapur..
What??? Dia memasak? Emang bisa?
"lo bisa masak, Ran?"
"Wah, ngeremehin nich. Tunggu aja di situ. Sebentar lagi selesai!"
Aku pun menelan ludah sebelum melihat luka berdarahku lagi. Aku memutuskan untuk menghisap jariku. Yah, semoga saja bisa berhenti. Sepuluh menit kemudian, Imran pun menghampiri.
"Taraaaaa .... Nah, sudah jadi nih masakannya. Coba rasa!" Imran berkata seraya menghidangkan masakannya di atas meja di depanku.
"Gimana, enak kan?" tanya Imran saat aku mencicipi masakannya. Aku pun mengangguk, lalu menjawab,
"Iya enak. Kok lo bisa masak sih?"
"Wah, baru tau lo ya. Biar begini-begini gue jago masak tauk, bukan hanya itu yang bisa vue masak!"
"Masa sih? Lo belajar masak di mana? Di New Yoek kah? tanyaku sambil menyuapkan nasi ke mulutku.
"Gak belajar sih. Cuma karena gue di sana tinggal sendiri, jadi gue belajar masak sendiri. Biasanya cuma makanan kaleng sama mie aja sih yang gue masak. Hehe."
Aku mengangguk mendengar penjelasannya. Padahal, seingatku dulu waktu kami tinggal bersama di rumah, dia tidak pernah masak. Waktu ulang tahun saja, dia pernah mencoba memasak di dapur, tetapi malah kebakaran. Bibi Endah pun memarahinya. Aku hanya tertawa terbahak-bahak saat itu. Dasar anak manja!
"Kenapa lo senyum-senyum?" tanya Imran.
Aku hanya bergidik menjawabnya, seraya tertawa dengan suara pelan. "Gak, gue cuma gak bisa bayangin aja waktu lo pertama kali belajar masak. Kebakaran gak tuh?
Dia mengangkat alis."Lo gak perlu ngebayangin." Matanya penuh arti, membuat keningku berkerut.
"Kenapa?"
"Enggak, makan ana yang kenyang. Lo udah kelihatan makin kurus."
"Heleh ...." Aku memutar mata.
###
"Bisa gak sih kita tidur di sini aja? Besok kan hari Sabtu, lo libur kan? Lagian udah larut malam juga kok," katanya sambil membantuku mencuci piring. Dia berada di sisiku dan mengeringlan pir8mg yang sudah kucuci dengan kain lap.
Aku pun langsung berhenti bergerak. "What? Gila lo ya, nanti kalo ada yang tau kita berduaan di sini, bakal bahaya kita!."
"Tenang aja, gue akan biarkan itu terjadi!"
Tiba-tiba aku tersedak. Apa? Hanya kami berdua? Tidak! Jangan sampai! Memang sih, kami memang sering tidur bersama, di kamar yang sama, dan di kamar yang sama. Namun, itu waktu kami masih kecil dulu! Kalau sekarang tidak mungkin kami tidur bersama seperti kecil dulu. Pasti akan terjadi hal-hal yang ... Ah aku tidak bisa melanjutkan kata-kata di dqlam pikiranku.
"Gak ah, pulang aja yuk!" Kataku sambil mengelap tanganku.
"Tolonglah Hafidzah Zahra, gue ini sangat lelah. Gue cuma mau berbaring di tempat tidur dan tidur." rengek Imran.
"Lo tidur aja di mobil nanti! Biar vue yang nyetir." Ya, aku tetap menolak rengekannya.
"Kasihanilah gue Sayang, tolong?" Dia memohon.
"Hmm ... oke." Aku menghela nafas sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Aku berjalan menuju kamar mandi, membuka pintu lalu menyalakan lampu. "Kalau lo masih tetap bersikeras gak mau pulang, lo tidur di kamar mandi ini. Biar gue tidur di sofa. Deal?"
"Ih ... enak aja! Gak! Gak mau gue di situ. Gue di sofa dan lo di kamar tidur!" protesnya.
"Kalau gitu lo di kamar tidur gue aja deh, biar gue aja yang di sofa. Kan lo itu bos gue, Imran! Masa bos tidur di sofa!"
"Hilih. Gak usah kayak gitu. Udah gak papa biar gue di sofa aja, lo yang di kamar! Please no debate!"
"Hisssh ..., yaudah kita tidur di kamar aja sama-sama. Pusing gue," kataku yang akhirnya mengajaknya tidur sekamar.
Dia pun tersenyum. "Nah, gitu dong. Tenang aja, gue mudah kok dibujuk, hehehe ...."
"Giliran disuruh sekamar aja langsung nurut lo!"
Dia pun masuk duluan, lalu menyalakan AC. Melihatnya begitu bersemangat menuju tempat tidur, aku jadi merasa khawatir. Ada firasat aneh yang seketika muncul di benakku. Aku pun ingin berubah pikiran, tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin aku keluar kembali dan tidur di sofa. Dia akan melarangku. Huffft ....
"Gue punya baju tidur yang besar di sana. Lo bisa mandi dulu kalau mau." kataku padanya yang sedang merebahkan diri di atas tempat tidur sebelah kanan.
"Gak usah, badan gue masih harum kok," katanya sambil tertawa.
"Yaudah terserah lah."
Aku ingin beranjak mandi karena tubuh ini rasanya panas. Setelah bekerja seharian tentu tubuhku penuh keringat dan terasa gerah.
"Lo mau ngapain? Mau mandi? Udah malam tauk." Udah sini langsung tidur aja!" katanya sambil tersenyum.
Aku menatapnya seraya berjalan perlahan menuju kasur. Kemudian duduk di sisi kiri sebelum berbaring, dan aku membelakanginya. "Jangan hadap saya!" kataku.
"Lo mau gak peluk? Sama kayak dulu? Lo kan sering peluk gue dulu waktu mengira ada monster di kolong tempat tidur, hihihi." Dia mencoba menggodaku, sepertinya pipiku mulai memerah. Untungnya, dia tidak bisa melihat wajahku.
"Diam! Jangan macam-macam," kataku sambil tertawa seolah menggoda.
"Tutup mulut gue makanya sama bibir lo." bisiknya yang mencapai di telingaku.
"Ish, gue bilang diam!" kataku yang masih membelakanginya."
Tiba-tiba, aku merasakan dia beranjak dari kasur. Aku pun menoleh. Aku melihatnya sedang mencari sesuatu di tembok.
"Lo ngapain, Imran?" tanyaku yang heran melihat tingkahnya.
"Saklar lampu di sebelah mana kah?"
"Eh gila! Lo mau apa emangnya?"
"Gue mau matiin lampu woy!"
"Eh gila jangan gila! Masa lo mau kita gelap-gelapan?"
"Yaudah lah kalo gak boleh." Dia pun kembali ke tempat tidurku. Aku masih tidak berani membalikkan badan agar tidak menghadapnya.
"Peluk gue dong." Oh, Tuhan. Dia berbisik di telingaku lagi!
Tidak! Jangan sampai aku menganggapnya serius! Dia pasti bercanda. Tenang Zahra, kita baru saja beberapa hari bertemu. Jangan sampai kamu tergoda! Aaamin.

Bình Luận Sách (250)

  • avatar
    DurahmanTurina

    Ceritanya bagus tapi gantung ada kelanjutan ceritanya kah?

    22/10

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice

    12/07/2023

      0
  • avatar
    Aditya

    seru ni🥰

    12/04/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất