logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Pulang ke Apartemenku

Bab empat
"Kenapa gue? Kenapa bukan Alvin? Lo tahu gue bukan tipe orang yang ramah, Imran. Gue tidak bisa ikut denganmu ke pertemuan bisnis di luar kota itu. Maaf," kataku pada Imran saat diberitahu babwa ada pertemuan dengan Pak Andre di Laguna Senin mendatang. Dia ingin aku pergi ke sana tapi aku tidak mau.
"Yah, gue juga minta maaf, tapi lo harus ikut," katanya sambil mengerutkan kening. Bahkan sebelum aku sempat protes, dia berbicara lagi. "Gue akan keluar untuk makan malam yang membosankan dengan orang-orang tua malam ini, lalu kita pulang."
"Lo tidak harus kembali ke sini hanya untuk memberi gue tumpangan. Gue bisa pulang sendiri," kataku tanpa menatap matanya. Ada yang aneh menurut pendapatnya. Sepertinya aku larut dalam panas tatapannya.
"Gue yakin lo bisa," jawabnya dengan bercampur sarkas.
“Gue bisa pulang sendiri Imran,” kataku dengan nada seolah ada yang ingin menunjuk anak kecil.
"Gue bosnya dan lo akan melakukan apa yang Gue katakan," katanya dengan nada dingin dan serius sebelum pergi.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan apa yang aku lakukan.
"Apakah lo tahu jam berapa sekarang, Hafidzah Zahra?"
Aku hampir melompat panik ketika tiba-tiba mendengar suara bariton yang familiar itu. Aku melihat arloji di tangan, lalu menutup mata saat melihat bahwa sekarang sudah jam sembilan. Ini sudah jam sembilan tapi aku masih belum selesai dengan apa kerjaan.
"Sudah jam sembilan, lo bisa pergi jika lo gak bisa menunggu gue," kataku tanpa melihat ke belakang.
"Gue mengemudi secepat mungkin sehingga gue bisa sampai di sini dan menyeret lo ke restoran mewah untuk makan. Gue pikir lo akan melupakan waktu dan makan malam, karena lo akan begitu asyik dengan apa yang perlu kamu lakukan, dan gue bisa melakukannya. lihat dengan jelas sekarang bahwa lo benar-benar melakukannya. Gue sangat lelah sayang, lo tahu betapa buruknya lalu lintas di sini. Tolong jadilah gadis yang baik untuk sekali ini dan patuhi gue."
Lidahku menjulur mendengar kata yang dia gunakan untuk memanggilku. Ketika melihat kelelahan di matanya, aku menyerah. "Baik. Biarkan gue memperbaiki barang-barangku."
Dia tersenyum meskipun terlihat lelah di matanya, "Gadis yang baik."
“Lalu lintasnya benar-benar buruk…” seruku saat kendaraan tetap tak bergerak meski menit demi menit berlalu.
"Ya.. kadang jadi pengen naik LRT," bisiknya yang menarik perhatianku.
"LRT? Lo? Gue pasti sedang bermimpi," aku tertawa.
Imran Toha adalah seorang wanita yang terperangkap dalam tubuh pria. Karena dia berani memukuli seorang wanita. Dia benci tempat yang panas, bising dan ramai. Tidak akan pernah terlihat di bar atau di pesta. Bahkan dia dipaksa untuk pergi setiap kali ada pesta yang perlu diadakan oleh perusahaan mereka.
Dia menoleh padaku. Aku tidak tahu apakah itu hanya imajinasiku atau memang ada kesedihan di matanya sebelum dia tertawa, meskipun tawanya sepertinya bercampur dengan kesedihan, "Ya, gue pasti sedang bermimpi."
"Gue hampir lupa, kemarin Gue membeli banyak bungkus TimTam favorit lom Gue masih tidak berpikir itu sehat tetapi tidak apa-apa karena lo lagi lapar. Ada di sana," kata Imran beberapa menit kemudian.
Aku cepat-cepat mengikis kompartemen sarung tangan dan tersenyum pada jumlah biskuit cokelat favoritku yang tergeletak di sana. Waktu aku SMA, mobil Imran juga penuh dengan ini. Lucu bahwa dia masih ingat meskipun waktu telah berlalu.
"Terima kasih!" Aku pun mulai makan.
"Gue akan sangat senang jika lo mau memberi Gue beberapa. Gue masih belum makan malam, tahu," kata Imran beberapa detik setelah makan..
"Gue pikir kamu pergi ke pertemuan makan malam? Kamu tidak makan?"
"Baru saja menyesap kopi. Gue berencana untuk mengajak lo makan malam. Bukankah gue sudah memberitahu loebelumnya?"
Aku bergidik dan hampir menjatuhkan rahangku karena tidak percaya. Kebaikan apa yang telah aku lakukan dan apakah Tuhan memberiku kesempatan untuk bergetar seperti ini?
"Hafidzab Zahra, berikan itu padaku." katanya.
Aku mengambil satu. Aku bisa melihatnya menahan senyum saat dia mengunyah.
"Enak, itu sebabnya lo sangat menyukainya. Ini yang lain." dia berbisik seperti anak kecil dan aku mengikutinya.
"Tolong satu lagi," katanya. Aku memberinya lagi sebelum aku mengambil satu untukku. Bahkan sebelum aku memakannya dia bertanya lagi.
"Lapar! Minta satu lagi," aku tidak melakukan apa-apa selain menurut.
"Kau tahu? Gue punya tempat beberapa blok jauhnya dari sini. Ayo kita pergi ke sana, jadi kita berdua bisa makan lalu pulang," aku memotong apa yang ingin dia katakan.
Aku melihatnya menyeringai seolah-olah pria itu berhasil dibodohi. "Oke, itu bagus. Pimpin jalan, Bu."
"Tempat yang bagus," kata Imran ketika kami sampai di apartemenku.
Aku tidak mengerti banyak. Setiap pagi ketika pulang kerja atau lalu lintas sangat padat, aku tinggal di sini karena dekat dengan kantor. Aku juga berpikir untuk putus dengan orang Toha. Namun, rasanya seperti aku tidak tahu berterimakasih.
"Silakan berkeliaran. Gue hanya akan melihat apa yang bisa dimasak," kataku sebelum menuju dapur meilihat stok. Aku bersyukur bahwa aku pergi ke toko kelontong tempo hari.
Aku membawa ayam, bawang putih, dan bahan lainnya untuk dimasak.
"Butuh bantuan?" Aku mendengar suara Imran dari belakang.
“Duduk saja di sana dan jangan bergerak. Bibi Endah melarang lo di dapur kotor, gue juga akan melarang lo dari dapur kotor gue karena lo bisa membakar apartemenku,” kataku tanpa melihat ke belakang.
"Bagus," aku mendengarnya berbisik, dan aku abaikan. Aku pun melanjutkan mengiris bawang putih dan bawang merah.
"Kenapa gue punya foto di sini, Hafidzab Zahra?" Aku mendengar Imran berkata yang menarik perhatianku..
Foto?
Aku sangat cemas, tidak menyadari bahwa aku telah memotong jariku sendiri. Aku baru menyadarinya ketika merasakan pisau mengiris kulit. "Aduh!"
"Kenapa? Apa lo baik-baik saja, Zahra?" Aku hampir melompat kaget dengan kemunculan Imran yang tiba-tiba.
"Kenapa lo ngiris jari lo sendiri!" Belum sempat aku bernafas, Imran sudah menelan jariku yang berdarah. Seketika pipiku memerah, mencoba menarik tanganku tapi dia hanya mempererat genggamannya disana.
"Imran apa yang lo lakukan?" Aku bertanya meskipun aku tahu jawabannya. Akuhanya bertanya dan mungkin untuk berjaga-jaga jika dia menjawab, dengan begitu aku bisa melepaskan tanganku tetapi dia mengabaikanku.
"Tidak sakit lagi, lepaskan gue," kataku.
Aku menelan ludah saat mata kami bertemu. Tatapannya intens. Dingin terkesan diwajahnya tetapi kehangatan ada pada tatapannya.
"Imran," aku tergagap.
"Hmm," gumamnya.
Aku seperti menahan napas saat merasakan dia menggigit ujung jariku sebelum melepaskannya. "Jari lo terasa lebih manis dari cokelat."
Aku baru sadar bahwa dia membawaku ke suatu tempat ....

Bình Luận Sách (250)

  • avatar
    DurahmanTurina

    Ceritanya bagus tapi gantung ada kelanjutan ceritanya kah?

    22/10

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice

    12/07/2023

      0
  • avatar
    Aditya

    seru ni🥰

    12/04/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất