logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Hari Pertama Bos Muda di Kantor

Bab dua
"Imran, ini Alvin, dia akan mengatur jadwa lo dan akan ...." Aku tidak menyelesaikan apa yang akan kukatakan karena dia sudah berbicara.
"Gue sudah mengenalnya," katanya. Dia mengabaikan janji yang telah membasahi dahiku.
"Benarkah? Bukannya lo baru saja tiba kemarin?" Aku bertanya dengan heran.
Aku melihat keduanya saling memandang dengan penuh arti.
"Ya, kemarin. Aku menjemputnya di bandara." Alvin menjelaskan.
"Ya," gumam Imran untuk kedua kalinya.
Aku mengangguk. "Baiklah, gue di luar, Imran. Jika lo butuh sesuatu, interkom ada di samping lo. Lo bisa menelepon gue atau Alvin."
Dia hanya mengangguk sambil menatapku tajam.
Sebenarnya aku ingin menjalin hubungan denganmu, tetapi kamu adalah bos aku. Sekarang, hingga hari, bulan, dan tahun berikutnya, kamu hanyalah bos. Masa lalu sudah berlalu, masa lalu lamanya seperti sehari.
Aku baru saja akan berjalan keluar pintu ketika aku mendengar Imran memanggil namaku.
"Hafidzah Zahra."
"Ya?" jawabku. Maukah kamu memberitahuku lagi?
"Uhh ... lo sakit kepala tadi malam kan?" Dia bertanya. Aku bergidik menyanggah.
"Bagaimana dengan mimpio? Apakah lo memimpikan sesuatu yang aneh tadi malam?"
Aku gemetar lagi saat kedua alisku bertemu. Apa yang dikatakan?
"Ah, baiklah. Lo bisa pergi sekarang." katanya dengan suara kosong.
"Oke."
Sebelum aku pergi, aku bahkan mendengar suara Alvin berteriak pada Imran.
"Apa lo gila? Bagaimana jika..." Aku tidak bisa mendengar semua yang dikatakan Alvin karena pintunya tertutup.
Namun, itu tidak menghentikanku untuk tersadar bahwa sesuatu yang aneh sedang terjadi. Apakah mereka begitu dekat sehingga Imran setuju untuk berteriak dan memarahi Alvin?
"Hafidzah Zahra, ayo makan." Aku mendengar Imran berkata di sebelahku.
Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul dua belas, tetapi aku belum menyelesaikan pekerjaan.
"Lo duluan."
"Nanti lo sakit. Ayo pergi." dia bersikeras dengan nada keras.
"Gue sudah kenyang," kataku beralasan.
"Sudahlah," katanya sambil menarik tanganku, aku setuju saja meski otakku berteriak protes.
Bahaya, nih. Hafidzah Zahra!
"Mau makan di mana?" tanyanya saat kami naik lift.
"Di kantin saja." Aku menjawab sambil melihat nomor yang berubah di indikator lantai.
"Kantin kalau begitu," katanya.
Dia menoleh ke tiga wanita yang bersama kami di lift. "Riza, Putri dan Jessa, kalian mau kemana?" Dia bertanya kepada para wanita itu.
Keningku berkerut. Kenapa dia langsung tahu ketiga nama karyawan ini, eh, padahal dia baru mulai bekerja di kantor? Aku benar-benar tidak mengenal mereka, padahal aku sudah bekerja di sini selama dua tahun.
"Ke lantai paling bawah, Tuan." jawaban wanita paling kanan.
"Oke," kata Imran sambil menekan lantai tersebut.
Aku menatapnya, pada saat yang sama dia menoleh ke arahku. Dia mengedipkan mata yang membuat pipiku memerah.
Aku tidak benar-benar tahu kemana aku akan dibawa, di mana aku akan ditempatkan. Sepertinya sebentar lagi kami akan kembali berteman lagi.
"Jangan lihat gue kayak gitu. Nanti mereka salah paham," katanya. Wajahku tersipu malu.
“Oh, Pak! Bu Zahra dan saya sudah terbiasa dengan Tuan” kata Lina saat mereka keluar.
"Apakah lo kenal mereka?" Aku bertanya pada Imran ketika kami hanya berdua yang tersisa di lift.
"Tidak," dia tertawa. "Aku baru saja menebak nama mereka. Siapa tau bener?" jawabnya sambil tertawa.
"Gue juga gak kenal sama mereka," kataku.
"Gue hanya main-main. Jangan terlalu banyak berpikir." katanya sambil menarikku keluar.
"Apa yang salah dengan lo?" tanyanya saat kami duduk di kantin.
"Biasa," jawabku. Dia bangkit dan pergi memesan makanan.
Beberapa menit kemudian, aku tiba-tiba berpikir bahwa dia tidak tahu kata 'biasa' yang aku maksud. Alvin adalah orang yang selalu aku ikuti tentang makanan dan aku terbiasa dengan jawaban itu setiap kali ditanya apa yang ingin aku makan.
Baru saja aku ingin bangkit dan mendekatinya ketika aku melihatnya kembali sambil membawa nampan. Aku melihat kari ayam favorit di piring.
"Bagaimana lo tahu kari ayam adalah yang saya maksud sebagai ‘biasa’ tadi?" Tanyaku sambil menyeruput makanan.
Kami duduk dan makan dengan tenang. Keheningan berlalu begitu lama, jadi aku memulai percakapan.
"Itu favoritmu, kan?" jawabnya singkat "Kamu dan mama sama, kok bisa lupa? Itu yang mamamu selalu masak, kan?"
"Ah, oke." Aku pun melanjutkan makan.
"Pagi hari lo pergi lebih awal, saat gue mengetuk pintu kamar lo, tidak ada siapa-siapa. Gue berharap kita bisa berangkat bersama," katanya dengan cemberut.
"Tidak, guebpunya mobil. Ayah lo memberiku hadiah saat wisuda," kataku, dia tidak pulang saat aku lulus jadi dia tidak tahu.
Aku berkontribusi padanya sebelumnya tetapi aku tidak melakukan apa-apa karena aku tidak punya apa-apa juga untuk dipegang. Jika ada, itu semua bisa jadi bohong.
"Tapi lebih aman kalau gur yang menyetir," dia beralasan.
"Gue bukan pengemudi yang nakal, kan?"
"Maksud gue bukan itu. Gue hanya memberitahu lo bahwa itu lebih aman. Kita akan konvoi nanti, tetapi besok lo akan ikut dengan gue." Aku hendak memprotes tapi dia melanjutkannya, "Tidak ada tapi-tapian." Aku hanya diam.
Masih si gila tukang atur yang sama, Imran Toha.
"Rencana pulang jam berapa?" Imran bertanya ketika aku menjawab panggilannya.
"Kita hampir selesai," jawabku.
Aku di sini, hari ini di rumah rekan pelapor Sejarah Dunia, Lisa. Presentasi powerpoint adalah apa yang dibutuhkan tetapi karena aku tidak memiliki laptop, aku harus meminjam darinya untuk membuatnya dan aku bisa mentransfernya ke flashdrive untuk berjaga-jaga.
"12 tengah malam dan masih belum selesai? Berapa lama laporan sialanmu Hafidalzah Zahra, dua buku?!" Aku memejamkan mata mendengar teriakannya dari seberang sana.
"Apakah lo dijemput Zahra? Bukankah kamu lo akan tidur di sini kalau-kalau kita bermalam?" Lisa bertanya yang hanya aku jawab dengan anggukan.
"Gue akan tidur disini saja Imran, gue pamit pada mama tadi, dia setuju."
"Apa? Tidak mungkin! Gue di luar rumah teman sekelasmu Hafidzah Zahra. Turun atau gue akan membawa pantat lo ke mobil gue!" Aku tidak terkejut bahwa dia sudah ada di sana. Dia juga mengantarku meskipun aku bilang bisa pulang pergi sendiri Dia bahkan menawarkan diri untuk menjemputku.
Aku menggigit bibirku sambil gemetaran. "Jangan setuju," bisikku pada Lisa.
"Begitu saja, katakan pada gue. Gue akan mengantarmu ke sopir keluarga lo kalau setuju," kata Lisa. Aku mengangguk.
"Mereka bilang sopir mereka hanya akan mengantar gue setelah itu." Aku berkata di telpon tetapi ragu Imran akan setuju.
"Tidak! Gue gak akan mengizinkannya lagi! Mungkin nanti gie akan membawamu ke tempat lain! Gue akan menyelesaikan laporanmu saja. Ayo Hafidzah Zahra, lo seharusnya sudah tidur sekarang," katanya dengan suara yang tampak marah dan memohon.
Aku menghela nafas. Tidak ada yang bisa kulakukan ketika berhadapan dengan Imran. Setiap argumen, dia selalu menang. "Baiklah. Tunggu gue, gue akan turun."
"Bagus. Oke, terima kasih, Sayang."
"Hafidzah Zahra? Apa lo baik-baik saja? Apakah kepala lo sakit?" Imran bertanya, membawaku kembali ke masa sekarang.
Aku berkedip dua kali sebelum mengernyit. "Ya, gue baik-baik saja. Kenapa lo selalu berpikir kepala gue sakit?" aku bertanya padanya dengan heran.
Dia hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangguk. Aneh!

Bình Luận Sách (250)

  • avatar
    DurahmanTurina

    Ceritanya bagus tapi gantung ada kelanjutan ceritanya kah?

    22/10

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice

    12/07/2023

      0
  • avatar
    Aditya

    seru ni🥰

    12/04/2023

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất