logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

11

Maura telah berpakaian rapi, wanita itu sudah mendandani Delia dengan sangat imut. Membuat semua orang yang melihat ingin menciumnya. Bulu mata lentik Maura mengerjap, dia sangat tampil menawan. Setelah puas memandang pantulan di cermin, bergegas turun menggandeng Delia.
"Asik ... Delia main ke rumah Oma lagi," pekik Delia girang membuat Maura tersenyum.
Mawar terbengok melihat meja makan penuh makanan begitu pula Hamdan. Air liurnya sampai menetes saat melihat hidangan di hadapan itu semua kesukaan dia dan Delia. Pria tersebut langsung beralih menatap Maura, memandang dengan senyuman gembira lalu mendekat mengecup pipi sang istri membikin Mawar cemburu.
"Terimakasih, Sayang. Aku tau kamu tidak akan membiarkan aku sampai melupakan hasil masakan terlezat dari hasil tangan cantikmu," puji Hamdan lalu matanya terpana saat melihat penampilan baru sang istri.
"Kamu cantik banget, Sayang." Puji Hamdan memegang pipi Maura hendak mencium bibir ranum itu tetapi wanita tersebut menghindar.
"Jangan bodoh! Lihat ada Delia," delik Maura lalu menjatuhkan bokong ke kursi, menyiapkan makanan untuk buah hatinya.
"Mawar! Kenapa kamu belum siap-siap. Kamu sudah tau bukan," ujar Maura dengan datar, melihat Mawar masih memakai pakaian tidur tertutup.
"Eh, iya Mbak. Habis makan aku siap-siap," sahut Mawar gugup, ia melahap makanannya dengan gelisah.
"Sayang, kamu jadi sama Mawar?" tanya Hamdan memastikan, seraya menyuap makanan kesukaannya dengan lahap.
"Iya, Mas. Ini sangat penting," balas Maura membuat Mawar tersedak.
"War, hati-hati," kata Hamdan menyodorkan air putih lalu langsung diteguk wanita itu.
Setelah acara makan, Hamdan pula telah berangkat bekerja. Maura habis memesan taksi, mereka bertiga sudah duduk di kursi penumpang. Hanya Mawar yang sedari tadi tidak bisa diam.
"Mbak ... diam dong, norak banget ih, gak pernah naik mobil ya," cibir Delia spontan membuat Mawar menatap tajam anak tirinya.
"Sayang, gak boleh bicara seperti itu. Itu tidak baik, memang Bunda pernah mengajar itu," tegur Maura membuat Delia menunduk, gadis kecil itu langsung meremas jari-jemarinya.
"Maaf, Mbak." Senyuman Maura mengembang saat permintaan maaf terlontar dari bibir anaknya, walau dia benci dengan Mawar tapi ia tidak ingin Delia berucap kasar seperti itu apalagi menghina.
"Tunggu sebentar ya, Pak. Saya mau antarkan anak saya ke Omanya," ujar Maura saat dekat dengan kediaman orangtua Hamdan.
"Iya, santai saya, saya tunggu. Nona,kan, sudah langganan ke taksi saya," sahut supir itu membuat Maura tersenyum lalu keluar mengajak Delia.
"Assalamualaikum ...." Delia berteriak.
Tak berselang lama, Ibu Hamdan keluar menyambut menantu dan cucunya. Saat wanita paruh baya itu meminta agar mereka masuk, Maura menggeleng. Ibu Hamdan mengerti karena Maura sudah bilang akan menitipkan Delia.
"Nanti Maura nginep ke sini deh, bareng Mas Hamdan. Maaf ya Mah, soalnya sekarang penting banget," ujar Maura tak enak dibalas anggukan Ibu Hamdan.
"Tak apa, Sayang. Kamu kaya ke siapa aja. Oh iya, nanti Mama tagih lho janji kamu itu," kata Ibu Hamdan membuat Maura tersenyum.
Setelah berpamitan, Maura langsung masuk ke taksi. Lalu menatap adik madunya. Mereka saling pandang, membuat sang supir bingung harus pergi ke mana.
"Maaf, Non. Kita ke mana lagi ya?" tanya supir dengan nada sopan.
"Cepat sebutkan alamatmu!" perintah Maura dibalas gelengan kencang oleh Mawar.
"Gak!" bentak Mawar membuat sang supir terkejut karena suaranya.
Maura tersenyum sinis, lalu merogoh ponsel saat merasakan ada notifikasi pesan karena handphone bergetar. Menyodorkan benda pipih tersebut, lalu memerintahkan sang supir untuk berjalan. Wajah Mawar seketika memucat, pikiran buruk sudah melayang sejak tadi.
"Sudah sampai, Non." Lapor sang supir, Maura lekas keluar lalu melihat ponsel, melihat rumah yang di foto.
"Ini rumahnya, ayo Mawar, cepat!" ajak Maura sudah melangkah mendekati rumah, lalu mengetuk pintunya.
"Mbak ... Mawar mohon jangan bilang yang enggak-enggak soal Mawar," pinta Mawar memegang lengan Maura, tak lama pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya.
"Mawar! Ibu kangen sama kamu," pekik wanita paruh baya itu memeluk Mawar.
Sehabis melepas rindu, Ibu Mawar menatap Maura yang tersenyum ramah. Wanita itu langsung mencium punggung tangan orangtua tersebut. Mawar langsung menarik lengan Maura agar masuk, dia mengajak sang Ibu untuk menyiapkan cemilan dan air buat Maura.
"Ckckck, dia mengulur waktu," kekeh Maura, ia menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap sekeliling ruangan tamu.
"Maaf, Nak. Ibu hanya bisa menjamu seperti ini. Makasih udah membawa Mawar ke rumah. Saya sangat merindukan bocah ini," tutur Ibu Mawar.
"Oh ya, panggil Ibu, Ibu Indah saja," ucapnya memperkenalkan diri.
"Maaf Bu Indah, saya menganggu waktu anda," ucap Maura dengan sopan.
"Iya, Nak. Tak apa, kamu juga sudah membawa Mawar ke sini, Ibu sangat senang," ungkap Indah membalas tatapan teduh Maura.
"Ibu, saya ingin bicara sesuatu dengan serius," kata Maura membuat Mawar membulatkan matanya.
"Ibuuu, Mawar rindu dengan kampung ini. Ayo temani kami keliling kampung," pinta Mawar bergelayut manja di lengan Indah.
"Ayoo, teman-temanmu juga banyak yang ingin berjumpa dengamu," ucap Indah pelan, ia sangat memanjakan Mawar, semua yang diinginkan pasti berusaha ia kabulkan.
"Maaf, Nak. Kita jalan-jalan dulu aja, kamu mau ikut?" tanya Indah dengan lembut, seperti seorang Ibu pada anaknya.
"Ibu sangat rindu berkeliling dengan Mawar," lanjut Indah membuat Maura tak tega, ia mengangguk sebagai jawaban.
"Nanti aja kalau di jalan ada waktu, aku akan bicara," tutur Maura.
Sepanjang perjalanan, Mawar benar-benar menempel dengan Ibunya. Maura tersenyum kecut, saat tau taktik adik ipar yang tidak mau Maura memberitahu kelakukan dia di kota. Saat seseorang datang, dan mengajak berkumpul Mawar, gadis itu akhirnya pasrah ikut dengan kawan-kawannya.
"Akhirnya ada waktu kita berdua ya, Bu," ujar Maura mulai membuka suara.
Indah menoleh menatap Maura, wanita itu menaiki satu alis. "Ada apa, Nak. Sepertinya penting sekali," seru Indah membalas tatapan Maura.
"Mawar masuk ke dalam rumah tanggaku, jika tak ada anak pasti aku memilih pergi. Tapi aku sudah memiliki anak Bu," terang Maura menyodorkan foto keluarga kecilnya.
"Anakku masih berusia lima tahun, aku takut ... jika aku berpisah, keputusanku malah menjadi penyesalan. Karena sudah banyak korban broken home," lanjut Maura, Indah masih diam mencerna.
"Apakah Ibu tau, mereka bahkan berzina di rumahku." Tangisan Maura pecah sudah, dengan suara pelan ia terisak.

Bình Luận Sách (185)

  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼👍🏼

    18d

      0
  • avatar
    Nur Ayu

    bagus novel nya

    19/04

      0
  • avatar
    SuryadiSitimariyam

    bagus crritanya

    18/02

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất