logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

BAB 6

Aira berjalan menuju nakas. Kemudian mengambil buku dan pulpen. Lalu duduk di ranjang memunggungiku. Entah apa yang dia tulis.
Menit kemudian ...
Glotak.
Buku ia lempar ke punggungku. "Baca!"
Aku menoleh. Memegang buku kecil itu. Lalu berkata, "Maksudmu apa melempar-lempar punggunggu dengan buku seperti ini? Apa nggak bisa menyerahkan dengan pelan?" 
Aira mematung dalam posisi yang sama. Sumpah, aku mati gaya dalam memahami sikapnya. Buat yang masih jomlo, mendingan kalau memutuskan menikah jangan melihat wajahnya yang cantik saja. Tapi cari tahu dulu sifat-sifat buruknya. Karena mengenali pasangan dalam waktu singkat itu sulit.
"Baca saja, Mas! Tidak buta huruf kan?" 
Ih. Tanganku memuk*l tanpa menyentuh badannya. Lalu kembali duduk dalam posisi nyaman. 
Rentetan tulisan tangan berjejer sampai bawah. 
Gaji rata-rata koki, gaji rata-rata cleaning servis ... seratus ribu/jam? 
"Apa maksudmu menulis gaji provesi orang? Lagi pula mana ada gaji OG/OB sebanyak itu? Ngarang. Kalau memang ada, aku pensiun saja jadi pengusaha."
Kulempar buku yang menurutku tidak penting itu ke lantai.
"Mas pikir tenaga itu murah? Kalau memang Mas tidak mau mencari ART, aku akan mengerjakan semua dengan senang hati sesuai harga yang sudah kutulis. Lagi pula seratus ribu/jam itu sangat murah untuk biaya bersih-bersih rumah sebesar ini. Kalau Mas tidak percaya, datang saja ke Jerman. Bagaimana berharganya sebuah tenaga." 
Membayangkan rentetan nominal di kertas tadi keningku nyut-nyutan. Sementara Aira terus saja menuntutku seperti aku ini adalah majikan yang dzolim. Apa dia lupa kalau kami sudah menikah dan menjadi sepasang suami istri yang perlu kerja sama?
"Kita bukan di Jerman. Kenapa kamu berpatokan pada negara maju itu? Nggak Feir dong!"
Aira membaringkan badan masih dalam posisi memunggungiku. Ia nyalakan AC. Lalu menarik selimut tebal hingga menutupi sekujur tubuhnya. 
Ngambek lagi. Setiap istriku yang melakukan kesalahan, jadi seolah aku yang harus bertanggung jawab. 
Udara di kamar ini semakin dingin. Aku sudah bilang pada Aira agar tidak menyalakan AC. Kalau panas tinggal buka baju atau pakai kain yang tipis. Selalu ngeyel.
Benda berbentuk balok kecil itu berada dalam genggaman Aira. Aku tidak bisa mengambilnya karena tubuhnya sudah tergulung kain tebal berwarna putih itu. 
Dingin semakin merasuk ke tulang. Keterlaluan Aira. Tega sekali mengatur suhu sampai mines di bawah tiga derajat celsius. 
Kugoyangkan badannya dan berkata, "Sa-sayang, bagi selimutnya? Aku kedinginan."
Seperti mayat hidup, Aira tak bergerak sedikit pun. Mungkin sebentar lagi kulitku bisa menjadi es batu.
***
Perlahan aku mengerjapkan mata. Dari jendela yang sudah dibuka gordennya terlihat di luar sudah terang, tapi tak ada cahaya matahari. Beralih pada jam dinding. Ternyata sudah pukul sepuluh. 
Di sebelahku sudah tidak ada Aira. Selimut yang menggulung tubuhnya tadi malam telah berpindah menghangatkanku.
Aku duduk dan mengumpulkan nyawa. Rasa tulang nyeri dan linu. Aku sedikit menggeliat untuk melenturkan otot tubuh. Lalu bangun dan perlahan jalan ke luar kamar. 
Rumahku yang identik dengan furniture dan cat  berwarna gold terasa lengang. Kemana Aira pergi?
Aku menyusuri setiap ruangan, tapi tak kutemukan keberadaan istriku. Pun ibu mertua juga tak ada di kamarnya. Tas dan bajunya masih ada. Tidak mungkin dia pulang tanpa berpamitan denganku.
Aku berlari ke luar rumah. Baru sampai di daun pintu sudah terdengar suara cangkulan. Aku menuju sumber suara, dan benar, Aira dan ibu sedang menggali tanah. 
Aku menatap mereka dari kejauhan dan kuteriaki, "Kalau mau mencangkul di sawah sana!" Aku pun mentertawakan kegiatan istri yang menurutku tak bermanfaat. Mungkin dia mau menanam bunga. Ah, dasar wanita. Sukanya mengerjakan sesuatu yang tak berguna.
Aira menoleh padaku. Masih dengan tatapan sini. Bibirnya yang berwarna pink itu tak mengembang sedikit pun. Kalau hubunganku dengan istri seperti ini terus, kapan akan punya keturunan.
Aku berjalan cepat mendekati istri dan ibu mertuaku. Wanita paruh baya itu menatapku sembari mengulas senyum. Berbeda sekali dengan putrinya. Akhir-akhir ini sering sekali melipat wajah dan bibirnya.
"Sudah bangun, Vin? Kalau bisa, bangun tidur sebelum subuh supaya bisa salat subuh," ujar  Ibu. Dia memang sering menasehatiku dengan kata-kata yang sama. Andai dia tahu kalau aku bangun kesiangan juga karena ulah putrinya. 
Semalam aku seperti tidur di dalam lemari pendingin besar yang ada di mall atau pabrik. Mau pindah kamar lain sungkan karena ada ibu mertua. Aku ingin dia melihat kalau hubunganku dengan putrinya baik-baik saja, supaya wanita kepala lima itu tidak mengkhawatirkan putrinya di rumah ini.
"Dapat cangkul dari mana ya, Bu? Perasaan aku tidak pernah menyimpan cangkul."
"Tadi pinjam pada tukang kebun yang ada di rumah depan."
Hah. Memalukanku.
"Lagian ngapain kamu nyangkul segala, Sayang? Kalau cuma untuk menanam bunga cukup pakai alat kecil."
"Buat mengubur suami pelit." 
Aira menghentakkan kali. Lalu berdiri tegap dengan napas terengah-engah. Keringat mengumpul di kening dan jidadnya. Wajah kuning langsat itu semakin glowing meski si pemilik tetap menunjukkan wajah juteknya.
Dia meninggalkan diriku dan ibunya. Aku tidak mengejar. Percuma. Sepertinya dia sangat membenciku. Entah apa salahku. 
"Maafkan sikap Aira ya, Vin? Dia cuma mau memindahkan bunga yang ada di pot kecil itu. Sekalian, Vin. Hari ini Ibu mau pulang kampung. Ada yang telepon kalau jagung Ibu mau ditebas."
Bagus kalau ibu mertua kembali. Aku bisa leluasa dalam mengenali karakter putrinya.
"Mau kuantar, Bu?" tanyaku basa-basi. Padahal males banget kalau harus ke desa terpencil dengan aspal yang sudah pada rusak itu.
"Tidak perlu. Ibu akan dijemput sama yang ngantar kemarin. Selama ibu tidak di sini, titip Aira ya, Vin! Tolong, jangan pernah main tangan padanya."
Aku mengangguk saja. Aku pantang menyakiti fisik wanita.
***
"Lho, kenapa kamu kemasi baju-bajumu?" 
Aira tak menjawab. Dia terus memasukkan pakaian yang terlipat rapi di almari ke koper.
"Jawab pertanyaanku, kamu mau kemana?! Kamu bisa mendengar kan?" Aku menarik lengannya. Wajah yang dari tadi tersembunyi sekarang berada tepat di hadapanku berjarak satu jengkal saja. Dia memejamkan mata seolah jijik menatapku.
"Aku ini suamimu. Aku ber-hak tahu kamu mau kemana!"
"Lepaskan, Mas! Sakit! Ngomong saja sama tembok. Percuma ngomong sama manusia berhati batu. Nggak akan tembus. Aku mau pulang kampung bareng ibu. Aku sudah nggak betah di sini. Aku siap kalau kita harus pisah."
"Aira!"
Mataku membelalak secara spontan ketika mendengar kata pisah. Itu adalah kalimat yang paling kubenci.
"Apa?! Dia balik menantang. Rahangku kian mengeras.
"Jangan sekali-kali mengatakan pisah! Aku tidak suka. Begini saja, kita bicarakan lagi baik-baik. Aku akan mengikuti maumu!" 
Huhf, untuk pertama kali aku merasa takut kehilangan istriku.
"Aku tidak percaya lagi padamu. Kamu cuma mementingkan uangmu itu. Tak pernah peduli dengan perasaanku. Aku mau pulang saja."
Aku tak bisa hidup tanpamu Aira ...

Bình Luận Sách (71)

  • avatar
    Viina Siagian

    keren

    25/07

      0
  • avatar
    JuliantiSelda

    BAGUSSS BANGETT

    16/06

      0
  • avatar
    FahrulMamah

    sangat seru sekali dan bagus dan sempurna

    27/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất