logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 16 Tata Ruang

Tak ada yang lebih menarik di kelas itu, kelas pertama kalinya aku menjadi guru, pertamanya pula dalam hidupku berubah haluan, seorang lulusan sarjana Fakultas Ekonomi mengajar, menjadi guru yang seharusnya menjadi tugas lulusan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan. Tak ada yang menarik, kecuali sepasang bingkai di depan kelas, di ujung kiri dan kanan papan hitam, pakai kapur.
Bingkai bergambar Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya, Boediono. Mereka memakai baju kebesaran militer, tersenyum kepada semua murid dengan gagahnya, dan murid-murid mengacuhkannya, bersorak, bermain semaunya sendiri. Maka, aku ikut tersenyum, seperti senyum dua orang besar di negeri ini.
Kelas yang berantakan, arah guru yang duduk menghadap ke barat, di belakang para siswa yang tengah ribut, tepat di sana geribik papan-papan selebar jengkal orang dewasa, berdiri tegak ditata dari ujung ke ujung sebagai pembatas dengan kelas empat. Kayu-kayu ditata tidak terlalu rapi hingga menimbulkan lubang-lubang di antara paduannya yang tegak. Dan dua orang siswa laki-laki, tengah mengintip dari celah itu, mengintip adik kelasnya.
Kawan, hanya senyumku yang bisa pertahankan rasa hambar dan sakit. Bukan, bukan karena melihat tingkah mereka, melainkan kondisi kelas. Lihatlah sendiri, meja-meja reot, lapuk. Kaki-kaki mejanya tampak dimakan rayap kayu, banyak sawang-sawang serabut di celah bawah lacinya, dan laci-laci itu pun banyak yang jebol sehingga di pojok belakang terdapat tumpukan beberapa meja hancur sehancur-hancurnya beserta kayu-kayu yang telah habis lapuk.
Sampah di mana-mana, lemari di pojok depan kiriku dekat papan tulis terbuka pintunya, gagangnya patah dan berlubang. Tembok di sisi kanan dan kiri, tidak mirip tembok, tapi mirip lukisan teraneh di dunia. Lukisan bertinta sepatu, tapak kaki, tapak tangan, oret-oretan tak penuh bentuknya. Dindingnya di mana-mana retak, tak ada triplek penutup karena semuanya telah lindap, terbuka dan ada yang menjuntai hampir mengenai kepala siswa.
Genting-genting banyak yang terlihat celahnya, sinar matahari ada yang masuk dari lubang genting. Tapi tenang saja, jika hujan, tak usah khawatir banjir, karena lantai di bawah telah hancur di mana-mana, sehingga air akan mudah meresap dan hilang di telan bumi. Tiada kata lagi menggambarkannya, kecuali kata takjub, ’memprihatinkan.’
Sinar matahari menelisik masuk melalui celah, karena posisi kelas agak miring ke tenggara-barat laut, hingga arah timur tepat sedikit masuk. Masuk dan memantul ke arah tembok di belakang kelas. Sinar itu menimbulkan samar kabut, begitu banyak seperti debu beterbangan menari dipantul sinar, debu, serabut dan apa pun berjejalan terlihat jelas. Dan semua murid masih asyik bermain, kertas berhamburan, ada yang dilipat membentuk pesawat dan terbang melayang, meliuk, semua mata takjub karena daya terbangnya begitu indah, berputar dan membelok, menikung tajam ke kiri, mengarah padaku. Aku takjub, pesawat kertas itu terus terbang dan membentur tepat di jidatku. Jatuh ke lantai, semua memandangiku, murid-murid terdiam melihatku, menunggu gerakku.
Aku merunduk, pesawat kertas itu tepat jatuh di antara kedua sepatuku, sepatu Kang Mukhlis tepatnya. Aku jongkok ke bawah, tanganku tergerak menggapai pesawat kertas dan memungutnya. Aku berdiri, murid-murid masih terbengong melihatku, tak ada yang bergerak. Masih menunggu reaksiku.
Aku melihat rancangan pesawat kertas itu, ”Imajinatif, inspiratif. Sayang dari kertas, coba dari perpaduan besi, maka jadilah burung besi yang terbang megah di angkasa. Sebagaimana terbangnya kepak burung elang, melanglang buana. Berkelana di angkasa, cepat seperti asteroid jatuh, gagah bagai matahari.”
Aku memainkan pesawat kertas itu, kupegang segitiga di bawahnya, kumainkan berputar-putar di depan kepalaku. Ke kanan, ke kiri, berputar-putar. Semua murid masih terdiam.
Aku ambil ancang-ancang ke belakang, ”Inilah burung besi!” aku melontarkannya kuat, ke atas, kertas itu melesat lurus. Namun, tak membentur tembok, dia berbelok ke kiri karena pada dasarnya, perbedaan sisi sayap kertas lebih berat di sebelah kiri, maka pasti daya tariknya akan lebih condong ke kiri. Terus berputar, dan berbalik kembali ke arahku. Dan kutangkap lagi.
Semua murid masih tegang melihat pertunjukanku. Aku tersenyum, ”Bagaimana murid-murid?” Riuh tepuk tangan membahana di kelas lima, tapi sebenarnya tak akan terdengar terlalu jelas di kelas-kelas yang lain. Kenapa? Karena semua kelas terdengar ribut begitu keras, aku baru menyadarinya setelah masuk ke kelas ini, ternyata semua kelas mempunyai tipikal sama, ribut dan guru pun tak dihargai. Pasti kelas lain pun demikian, dan pastilah ini yang membuat para guru tidak betah di sini.
”Sudah-sudah!”
Yang berdiri di meja turun, dan berdiri di lantai retak di mana-mana, yang bermain panco berhenti dan menghadapku, yang berlarian kembali ke tempat duduknya, yang mengintip di papan belakang kelas kembali ke tempat duduknya, semuanya berdiri di tempat duduknya masing-masing.
Inilah orang Indonesia, jika sudah tertarik dengan seseorang apalagi pertunjukkannya, maka mereka pasti memerhatikan dengan sebaik-baiknya. Mereka berdiri diam semuanya, memandangku lekat.
Wajah-wajah polos, wajah-wajah kagumlah yang terlihat. Kurasa kawan, aku telah berhasil membuat mereka tenang, dan memberikan apresiasi secara utuh padaku. Inilah metode seorang guru sejati, buat mereka menyukai gurunya dulu dan selanjutnya, terserah Anda! Maka pelajaran baru kudapatkan, ’Buat orang lain menyukai kita, maka setiap yang kita lakukan akan menuai apa yang kita inginkan.’
Aku pelan melangkah ke arah kursi guru, pastilah suara sepatu terdengar berderak karena semua diam tenang. Hanya berisik di kelas lain yang masih terdengar. Aku sedikit menegakkan daguku ke atas, tanda menang mutlak. Lihatlah wajah-wajah mereka, tetap berkonsentrasi melihatku antusias.
Aku bersiap duduk di kursi guru. Dan, pastilah seorang guru harus duduk duluan, mereka pasti menungguku duduk duluan, mereka teramat menghormatiku, mereka teramat luluh hatinya. Dan pastilah, mereka menunggu ucapanku menyilakan mereka untuk duduk.
Aku lega.
Aku menjatuhkan pantatku ke kursi. Dan...
Grubak!
Debu beterbangan, banyak repah dan bubuk bagai menghujaniku, suara gemeretak kuat terdengar. Kenapa banyak kunang-kunang terbang di sekitar kepalaku? Lalu, kenapa siang hari ada kunang-kunang? Tubuhku seolah remuk, di depanku hanya terlihat meja reot, ke mana anak-anak pergi. Aku linglung. Aku terduduk sempurna di atas tumpukan kursi yang remuk redam, hancur, dan kaki-kaki kursi berserakan, satu ujung paku menancap di pantatku. Sekitar satu centi meter.
Ahhhh! Aku mencabut paku itu.
Teriakanku membahana dan terdengar tawa meledak-ledak. Aku memaksa berdiri, berat. Kursi yang tadi kududuki patah-patah kakinya, tulang punggungku terasa ngilu.
Aku berdiri dengan kepayahan, mataku kedap-kedip bagai burung hantu yang mengintai sekeliling. Kepalaku nongol di bibir meja, pelan-pelan, malu terhadap murid jika melihatku jatuh begini. Dan mataku mulai ke atas, kulihat semua murid.
Kawan, sungguh. Semua murid sempurna bermain kembali, mereka main gladiator di atas meja dengan sapu, mereka mengintip celah papan pembatas kelas, main panco, main suit, dan memukul kepala dengan bodem tangan kepada yang kalah. Oh, tidak!

Bình Luận Sách (217)

  • avatar
    Romy

    bagus. kisahnya inspiratif, menggambarkan sudut kehidupan yang penuh perjuangan dan mungkin memang terjadi pd diri seorang pemuda d luar sana.

    27/03/2022

      3
  • avatar
    Rudi Suprijanto

    tulisan ini sangat menginspirasi terutama anak2 muda supaya tdk pernah berhenti menggali mimpinya apapun keadaanya.

    06/02/2022

      1
  • avatar
    Ode Barta

    novel nya menarik dan tidak membosankan

    12d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất