logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Sumpah Terlarang

Dalam sebulan biasanya aku mengajak Dewi dan anak-anak untuk menengok papa. Jika sedang beruntung, Rosa dan suaminya juga akan berkunjung berbarengan dengan kami. Isnen sudah mengirim pesan akan pergi ke luar kota untuk 3 hari kedepan, jadi dia memintaku dan Dewi untuk menginap sementara.
Jujur saja, sebenarnya sejak kejadian kemarin aku lebih berharap jadwal berkunjung kami tidak bebarengan dengan Rosa. Sebenarnya aku pun sudah mencoba untuk memaafkannya tapi apalah daya yang hanya manusia biasa, rasa kesal dan kecewa itu tetap membekas.
"Assalamu'alaikum Pa."
Kulihat sosok pahlawanku tengah asyik dengan burung peliharaannya, setelah melihat kehadiran kami, buru-buru dia langsung menghampiri cucu-cucu nya
"Kok baru main sekarang? Dari kemarin Papa nunggu kalian datang," ucap papa setengah cemberut, memang kemarin karena aku sakit jadwal berkunjung kami sedikit molor.
"Maaf ya Pa, kemarin Bang Firman sakit. Tapi Alhamdulillah, sekarang sudah sehat. Ayo Pa, kita makan semur telur buatan Dewi."
Lagi-lagi Dewi menyelamatkanku, papa jika sudah merajuk akan terus mengoceh kesana-kemari yang membuatku kadang jadi tidak betah lama-lama.
Dewi biasanya memang sengaja membuat masakan atau cemilan sederhana saat berkunjung, katanya untuk menyenangkan hati papa. Tapi emang terbukti, meski tidak seberapa papa selalu senang jika dibawakan sesuatu. Contohnya hari ini, lahap betul makannya meski hanya dengan semur tahu dan telur.
Banyak kelebihan Dewi yang membuatku bangga, salah satunya adalah dia tak pernah membuka aib kesusahan selama berumah tangga kepada orang tuanya apalagi orang tuaku. Disaat sahabatku ada yang bercerai karena orang tua masing-masing bersitegang akibat aduan dari istrinya mengenai ekonomi yang morat-marit, justru Dewi tak pernah sekali pun bercerita tentang kami yang kemarin nyaris tak bisa makan sama sekali.
Sejatinya, istri adalah pemegang kunci rumah tangga. Baik dan buruknya sesuatu yang terjadi dalam rumah tangga kami, semuanya berada dalam tangan Dewi itu sendiri.
***
"Man, nanti kalau pulang bawalah mie yang ada di lemari dapur, kemarin papa dapat rezeki dari masjid," ucap papa.
"Enggak usah Pa, buat Papa saja. Maafkan. Firman dan Dewi, belum bisa bantu apa-apa sama Papa, yang ada malah menyusahkan terus."
Uluran tangah yang papa dan Isnen berikan sudah terlalu banyak, rasanya bahkan sudah tidak ada muka aku menghadapinya.
"Papa bukan ngasih kamu, Man. Semua ini. untuk cucu mantuku!"
Ah ... begitulah papa jika hendak memberi selalu memaksa, maka jalan keluarnya adalah setuju saja daripada mendengar dia kembali mengomeliku.
Saat tengah asyik mengobrol tiba-tiba aku dengar suara motor terparkir depan pintu, perasaanku sudah tak enak dan benar saja Rosa dan suaminya yang datang.
"Assalamu'alaikum Pa, Ros Dateng nih. Ayo Pa, makan dulu. Rosa beliin burger, fried chicken sama kentang goreng." Rosa masih dengan nada sombong dan tingginya.
Kulihat Dewi menggeleng pelan pertanda aku tak boleh meladeninya, sumpah kesal sekali aku melihat tingkahnya.
"Kebetulan banget emang sore belum makan, ayo sini Wi, sekalian bawa anak-anak makan bareng."
Mendengar ajakan papa pada Dewi kulihat mata Rosa nyaris keluar tak karuan. Aisyah memang sangat menyukai kentang goreng, hanya saja dia tak berani memintanya karena posisi kentang dekat dengan Rosa.
"Ros bagi kentangnya sama Aisyah sedikit," titah papa seraya meraih bungkusan kentang dan menyerahkannya pada Dewi.
Seketika wajah semringah Aisyah memancar tapi disisi lain kulihat adikku dan suaminya tampak tidak suka. Padahal, apa ruginya membagi sedikit makanan pada anakku dan istriku? Toh, sedari tadi Dewi dan aku bahkan tak menyentuh makanan mereka dengan alasan masih kenyang.
Papa beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, seketika itu pula Rosa mengambil kembali bungkusan kentangnya dari Aisyah.
"Tante minta ya, Aisyah kalo mau minta beliin dong sama Ayah," ledeknya.
Ya Allah ... seketika tangan ini sudah bersiap ingin menampar wajah cengengesan adikku namun segera Dewi menahannya.
"Terima kasih Tante, kami juga mau sekalian pulang kok," jawab Dewi seraya bersiap menggendong Nadifa yang sedari tadi tertidur.
Kami pun berpamitan pada papa yang saat itu baru saja bersiap melaksanakan sholat Ashar. Dengan sigap dia pergi ke dapur dan membawa satu dus mie instan dan menyimpannya di motor bututku, Rosa yang melihat pemandangan itu langsung berdiri menghampiri Papa.
"Terus saja manja Bang Firman, Pa. Keenakan nanti dia, kalau sudah tinggal minta-minta!" hardiknya saat papa tengah mengikat kardus mie
"Enggak sopan mulutmu itu, Ros. Bicara sama orang tua bentak-bentak!!!"
Sontak saja Rosa kaget saat papa malah balik membentaknya.
"Bukan gitu Pa, entar kebiasaan gitu lho! Namanya berumah tangga, suami kudu pinter nyari duit, yang bini kudu pinter nabung. Jangan mentang-mentang susah jadi bergantung ke keluarga!" jawabnya lagi seraya mendelikan mata kearahku dan Dewi.
Sumpah demi apa pun juga ... harga diriku sudah benar-benar terinjak disitu. Belaian tangan Dewi sudah tak mempan membendung emosi dalam jiwa.
"Kamu Adik tak tahu diri, dulu siapa yang memberimu makan? Siapa yang menyekolahkanmu? Siapa yang membesarkanmu? Aku!"
Akhirnya pecah sudah emosiku yang kubendung selama ini. Retak meluap begitu saja, memuntahkan kekecewaan yang selama ini aku pendam.
"Aku yang kerja banting tulang demi kamu dan Isnen, karena itulah Abangmu ini sampai tak bisa menyimpan uang demi masa depannya sendiri. Sekarang, kamu anggap Abangmu ini sampah? Sialan betul kamu, Ros!"
Semua mata tertuju padaku, tapi bibir ini belum lagi puas untuk berhenti bicara.
"Kemarin saat kami nyaris kelaparan, Abang pinjam seratus ribu saja kamu malah memaki, padahal dulu lebih dari itu rezeki Abang kamu makan. Demi Allah, tak Abang ridhoi apa yang sudah kamu nikmati dari hasil keringatku." Kutatap matanya yang penuh keangkuhan itu. "Demi Allah, suatu saat kamu akan merasakan kesusahan yang Abangmu ini alami, bahkan lebih!"
Keluar sudah emosiku memuncak tak terkendali, kulihat papa yang tak percaya akan kelakuan anak bungsunya. Berbeda dengan Rosa dan suaminya yang malah menanggapinya dengan keangkuhan.
"Halah Bang, seberapa banyak sih? Aku dulu juga gak seberapa senang kok. Makan tetap seada-ada, jajan pun juga enggak keturutan. Berapa banyak, ha?! Nanti aku bayar biar impas budiku sama kamu!"
Runtuh sudah perasaanku saat itu, betapa menyakitkannya ucapan adik bungsuku yang dulu aku sayangi. Papa pun tak kalah kesal dengan kelakuan Rosa dan langsung menamparnya.
Dewi mengajakku untuk segera pergi. Dari balik kaca spion aku lihat papa membawa Rosa masuk kedalam rumah, entahlah apa yang akan terjadi.
Sepanjang jalan air mataku tak berhenti mengalir, Dewi terus menenangkan dengan terus mengusap punggungku. Tangis Aisyah yang sempat pecah akibat kaget melihatku bicara dengan nada tinggi kini telah mereda, aku yakin bukan hanya aku, tapi Dewi pun pasti merasakan sakit hati yang sama.
Sesampainya dirumah Dewi langsung menghubungi Isnen, mengabari jika kami tidak jadi menginap. Saat Isnen menanyakan alasannya, Dewi hanya bilang jika Nasida rewel. Begitulah bidadari ku, tak pernah mau mengadukan hal buruk pada satu sama lain.
***
Lepas sholat Maghrib Dewi kembali mengajakku berdzikir supaya aku tak kembali emosi, beruntungnya disaat seperti ini Dewi bisa menenangkan ku.
"Bang Istigfar, Sayang. Kita enggak perlu sumpah serapah atau mendoakan hal buruk jika di dzolimi. Doakan saja adikmu diberi hidayah, dan kembali seperti adik kesayangmu dulu."
" Neng maafin adikku ya, pasti kamu juga sakit hati sama kata-katanya."
"Dewi memaklumi atas cacian dia padaku maupun anak-anak kita, biar saja Dewi anggap sebagai peluntur dosa. Hanya saja, Dewi sakit hati jika dia merendahkan harga diri kamu, Bang."
MasyaAllah nikmat apalagi ini, disaat mungkin kebanyakan wanita akan merasa iri terhadap wanita lain yg kehidupan rumah tangganya penuh dengan materi, justru Dewi lebih menghawatirkan harga diriku sebagai suami.
"Sudah ya, Bang jangan ngambek lagi. Besok, Abang ngojek kudu dengan hati lapang supaya rezeki mengalir."
Ah ... itulah bidadari ku, selalu jadi penyejuk hati. Malam itu kami coba lupakan perasaan kacau tadi sore dan menggantinya dengan canda tawa bersama anak-anak kami.
***
Semenjak kejadian kemarin, aku bertekad untuk sementara waktu tak menemui Rosa, setidaknya sampai rasa kesal dalam hati sedikit sirna. Mau bagaimanapun Rosa adalah salah satu adikku, titipan dari almarhumah mama yang meninggal disaat Isnen dan Rosa masih sangatlah kecil.
Semalaman Isnen terus menghubungi untuk menenangkan ku atas kejadian kemarin, dia juga ikut kesal tapi tetap memohon supaya aku lebih legowo menghadapi tingkah Rosa yang berkubah semenjak jadi OKB pasca menikah.
Aku tak menjanjikan maafku secepat itu, tapi setidaknya aku bilang pada Isnen supaya sementara waktu aku tak ingin ada kumpul keluarga atau kunjungan kerumah mertua Rosa dimana Rosa dan keluarga tinggal.
Biasanya saat menjelang lebaran aku menggantikan papa untuk berkunjung kerumah besan, tapi tidak kali ini lebih baik aku tak jumpa muka dengan mereka.
Isnen menyetujui permintaanku, tentunya papa tahu atas keputusanku dan tak menyalahkan ku maupun Dewi.
Salahkah aku menutup silaturahmi untuk sementara waktu ini? Aku tak ingin bidadari ku terus menerus disakiti dengan hinaan adikku sendiri, dan harga diriku benar-benar terasa diinjak oleh Rosa dan suaminya.
"Dewi setuju dengan usul Abang, lebih baik seperti itu daripada nantinya kembali bertengkar. Kalau ada pesan atau telepon dari Rosa lebih baik di abaikan saja dulu Bang, tapi tetap cobalah untuk memaafkan meski sulit."
Kembali Dewi menguatkan ku dengan segala sifat bijaknya, benar saja selang beberapa hari aku mendapat rentetan pesan dengan kata-kata kasar dari Rosa dan suaminya terkait kejadian kemarin.
[Masih miskin aja belagu kamu Bang, gara-gara kamu, aku dan bang Rendi kena marah papa! Seberapa besar sih hutang budiku padamu sampai merasa berjasa kali?]
[Enggak usah sok tidal butuh. Kalau mau duit sini ambil saja, aku siapkan ini 10 juta tapi impas budiku padamu, ya. Cukup sudah hubungan kita dan segala empatiku]
[Awas jika kalau butuh apa-apa minta sama aku dan Rendi, tak sudi aku]
Begitulah kira-kira pesan mereka, tak kuhiraukan dan langsung ku blokir saja. Mulai sekarang lebih baik aku fokus mencari nafkah untuk anak istri daripada terus terbelenggu dengan rasa sakit hati ini.
"Dewi doakan segala usaha Abang jadi pahala, Dewi usahakan menerima segala kelebihan maupun kekurangan Abang. Berapapun yang Abang dapat maka segitulah rezeki kita, jadi Abang enggak perlu merasa bersalah. Selagi Abang juga ikhlas menjalani masa sulit ini, aku pun ikhlas mendampingi."
Inilah mood booster ku sebelum pergi mencari nafkah, meski berbekal uang 15 ribu untuk bensin tapi rasanya lebih dari cukup dengan berbekal kata penyemangat dari Dewi.
Alhamdulillah tak ada usaha yang sia-sia, tarikan hari ini lancar dengan hasil memuaskan. Kuhitung semua uang receh hasil narik beserta tips dari customer yang baik hati, totalnya 225.000. MasyaAllah, bahagia sekali rasanya.
Setelah mengisi full bensin untuk modal ngojek besok, aku sempatkan membeli kentang goreng kesukaan Aisyah dan beberapa potong ayam goreng tepung untuk kami makan malam.
Terima kasih kasih ya Allah, benar kata Dewi asal kita melapangkan dada dan berfikir positif rezeki mengalir tanpa terasa.

Bình Luận Sách (74)

  • avatar
    WiyonoTri

    bagus bnyk pembelajaran tentang hidup

    17/07

      0
  • avatar
    Nurhikmah

    masya Allah, jatuh cinta dengan novel ini, terimakasih sudah menerbitkan novel seindah ini

    14/07

      0
  • avatar
    WijayaFatmawati

    kesabaran dan ketabahan membuahkan hasil

    06/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất