logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

HATI-HATI DENGAN DO'A SI MISKIN

HATI-HATI DENGAN DO'A SI MISKIN

Ny Kaktus


Dibayar Lunas!

Pagi itu entah kenapa kepala sakit, telinga juga rasanya berdengung. Saat hendak memakai helm untuk pergi mencari nafkah, rasa itu malah makin menjadi.
“Neng kemari! Coba lihatin kuping Abang sebentar,” panggilku pada Dewi—istriku.
Kulihat dia yang tengah menggendong anak keduaku—Nadifa seraya menyuapi Aisyah si sulung.
“Ada apa Bang? Masih sakitkah kepalanya?”
“Entahlah Neng, sekarang kok makin senat-senut, kuping juga jadi enggak jelas dengar kamu ngomong.”
Dewi mencoba menghidupkan senter kecil mainan Aisyah untuk melihat dalam kupingku.
“Ya Allah Bang, ini kok kupingnya bengkak. Ayo ke Puskesmas Bang, jangan narik dulu,” pekik Dewi.
Dewi bersiap merapikan anak-anak, apalagi jarak Puskesmas memang cukup jauh dari rumah tinggal kami.
Setelah diperiksa oleh dokter poli THT, ternyata ada sengatan lebah didalam kupingku. Mungkin karena kemarin aku mangkal di dekat pohonan besar dan memang sempat seperti ada yg menggigit, saat itu aku pikir mungkin hanya semut jadi tak kuhiraukan rasa gatalnya.
Dewi begitu telaten mengurusku supaya lekas sembuh, tapi yang menjadi beban pikiran adalah bagaimana kami akan makan jika aku harus istirahat total? Apalah daya kami yang mencari nafkah hari ini untuk makan pada hari yang sama.
“Udah, Abang rehat aja dulu. Alhamdulillah Neng sisihkan sedikit uang belanja. Ini Neng sudah belanjakan beras dan mie untuk beberapa hari kedepan, semoga saja cukup sampai Abang sembuh nanti.”
Sungguh aku malu dibuatnya, bagaimana bisa Dewi setegar ini? Padahal, tiap hari uang belanjanya hanya 50 ribu, itu pun akhir-akhir ini selalu berkurang karena aku sedang sepi pelanggan.
Sudah seminggu ini aku hanya bisa terbaring, meski luka bengkaknya sudah mengempis tapi saat dicoba untuk berjalan masih membuat ku hilang keseimbangan.
Kulihat istri dan anakku yang tengah terlelap, miris hati ini ingat si sulung yang sudah seminggu harus menahan diri untuk tidak jajan.
Untungnya Nadifa ASI Eksklusif, jadi saat seperti ini tidak terlalu pusing. Hanya saja seminggu ini dia seperti tidak kenyang saat sedang menyusui, mungkin karena Dewi hanya makan dengan nasi dan mie yang tidak seberapa banyak.
Aku merasa jadi seorang Ayah dan Suami yang gagal, apalagi saat menyadari Istri dan Anak ku kekurangan seperti ini.
***
“Abang, beras kita sudah habis,” ucap Dewi lirih seraya terisak.
“Maafkan Dewi ya bang, tidak ada lagi simpanan untuk bisa beli beras. Hanya ada uang 10 ribu ini,mungkin akan Dewi belikan beras seliter dan cukupkan untuk Aisyah.” Lanjutnya lagi
“Maafkan Abang Wi, tak bisa menafkahi kalian dengan layak. Abang coba pinjam teman-teman ojol Abang pun mereka tengah sama kesulitan.”
Jujur seminggu ini sudah lebih dari 15 orang aku mintai tolong pinjaman 100ribu, setidaknya untuk kami bertahan seminggu kedepan, tapi hasilnya nihil.
“Bang, apa enggak sebaiknya kita minta tolong pada ibu dan bapak ... atau papah.”
“Tak enak lah Wi, papah juga sudah tua dan juga bergantung pada adikku, Isnen. Kalau sama kedua orang tuamu, Abang malu hati.”
Papahku memang sudah sepuh dan rasanya malu jika harus meminta tolong padanya, apalagi pada Isnen adikku yang sudah dengan ikhlas membiayai seluruh kebutuhan papah.
Kedua orang tua Dewi juga sudah terlalu banyak menolong, sampai rasanya aku malu bukan main.
“Coba Bang, pinjam adikmu Rosa. Kemarin saat kita tengah kumpul keluarga, dia cerita tabungannya sudah banyak di ATM. Dia juga cerita habis beli paket perhiasan emas, mungkin saja bisa kita pinjam 100 ribu dulu.”
Rosa adalah adik bungsuku, dia beruntung karena menikah dengan keluarga lumayan berada. Sebenarnya aku malu karena memang tidak pantas untuk meminjam pada adik perempuan yang sudah berkeluarga, tapi tidak ada salahnya mencoba. Toh, baru kali ini aku minta bantuannya.
Kuambil ponsel butut yang bahkan sudah diikat karet,HP android yang kubeli karena kebutuhan untuk mencari nafkah 1 tahun lalu.
“Assalamu’alaikum, Ros.”
“Wa’alaikum salam, Bang,” jawabnya dari seberang
“Ros, Abang mau minta tolong. Bisa gak Abang pinjam uang 100 saja, Abang sudah seminggu enggak narik. Bekal kakak iparmu sudah habis, Abang juga belum bisa ngojek.”
Akhirnya terucap sudah kata-kata itu. Rosa tak langsung menjawab,mungkin dia sedang repot dengan anaknya.
“Maaf Bang Ros gak punya , lagian istrimu kok enggak hemat amat, sih Bang? Kudunya tiap hari sisihkan uang buat keadaan darurat kayak gini!”
Aku kaget bukan main, Rosa adikku berani menghardik kakak iparnya sendiri. Dia yang kukenal baik dan penyayang, adik yang aku besarkan dengan mengorbankan masa mudaku untuk menyekolahkannya, kini berani kurang ajar pada kakak dan iparnya?
“Lagipula Abang ini gimana? Kita udah masing-masing berumah tangga, jadi punya kebutuhan masing,”cerocosnya lagi.
“Ya sudah, terima kasih. Maaf Abang mengganggu.”
Kuputuskan segera saluran telepon, Dewi terlihat menahan tangis saat mendengar percakapanku dengan Rosa tadi.
“Maafkan Dewi Bang, gara-gara Dewi harga diri Abang harus direndahkan segininya sama adik Abang ....”
Air matanya mulai meleleh tidak terbendung lagi, kuusap kepalanya untuk menguatkan dirinya. Sakit hati ini diperlakukan seperti tadi oleh adik kesayanganku sendiri, teringat dulu saat muda harus mengikhlaskan membiayai adik-adikku bersekolah karena papah sudah tak sanggup mencari nafkah.
Tak ada sepeserpun uang tabungan untuk masa depan , bahkan aku rela menikah di usia yang sudah lewat demi melihat semua adik-adikku lulus sekolah dan mandiri.
Beruntungnya aku dipertemukan Dewi yang menerimaku apa adanya dengan hanya bermodal uang tidak seberapa, dia yang menerima ku dengan tulus tanpa mengharapkan apapun.
Apakah pengorbananku dianggap tak ada apa-apanya, sampai beraninya Rosa bersikap kasar seperti ini hanya karena uang 100ribu?
***
“Bang, beras kita benar-benar habis. Ini ada 1 gelas, Neng buat jadi bubur supaya kita semua bisa makan.”
Sebenarnya Aisyah mulai menolak makan bubur nasi lagi, mungkin karena rasanya yang tidak enak yang hanya dibumbui garam.
Nadifa pun selalu uring karena ASI Dewi yang mungkin kurang banyak, bubur ini tinggal 1 mangkuk untukku dan entah nanti malam kami makan apa.
“Ayo makan buburnya berdua Wi, kamu pasti masih lapar.” Kucoba menyuapi Dewi yang tengah menyusui Nadifa
“Abang makanlah, supaya lekas sembuh.”
Lagi-lagi bidadariku mengorbankan diri, andai penyakit ini cepat hilang rasanya ingin aku segera pergi cari nafkah. Dan jika saja HP ini laku dijual tak apalah meski nantinya kelak aku bingung harus mencari nafkah pakai ponsel siapa.
Dewi selalu menguatkanku untuk lebih tawakal dan sabar pada keadaan, tapi terkadang aku sendiri merasa lelah dengan kesulitan hidup yang tengah kujalani.
“Istigfar bang, ujian kita seperti ini. Ikhlaskan semoga jadi ladang pahala.”
“Maafkan Abang Neng, Sudah banyak su’udzon sama Allah. Makasih udah mau sabar jalanin semua sama Abang.”
“Wajar Bang, namanya manusia tempatnya melakukan salah. Abang yang ikhlas,” jawabnya sambil tersenyum.
“Abang masih sakit hati pada Rosa, Wi. Tega sekali dia sama Abang. Padahal seumur hidup, baru kali ini Abang minta tolong, itu pun tidak seberapa. Apa dia lupa siapa yang menyekolahkan dia dan memberinya makan selama papah tak cari nafkah?” Emosi kembali menghantui jika mengingat perlakuan Rosa.
“Biarkan Bang, mungkin memang benar dia tak ada uang. Ikhlaskan pemberianmu yang dahulu supaya tetap jadi pahala.” MasyaAllah bidadariku selalu saja menyejukkan ucapannya.
“Biarlah, Allah maha tau dan maha mendengar. Apa yang aku dan keluargaku rasakan, suatu saat pasti dia rasakan!”
“Husssh!! Abang ga boleh doakan hal buruk gitu, apalagi sama adik sendiri. InsyaAllah, rezeki kita dan anak- anak ada dijalan lain meski Abang sedang tak cari nafkah. Ayo mending zikir aja biar hati tenang, siapa tau Allah buka pintu rezeki kita.”
Dewi tidak pernah lepas dari zikirnya seperti biasa, aku pun ikut berzikir untuk menenangkan hati. Kulihat anak-anakku yang tengah terlelap karena kelelahan, dengan penuh harap bantuan Allah segera datang pada keluarga kecil kami.
Pukul 16:45 anak-anak sudah selesai dimandikan Istriku, meski awalnya Aisyah menolak karena ingin makan dulu sebelum mandi, katanya.
Hati ini bingung juga sedih melihat anak-anak, sudah kutekadkan malam ini akan pergi ke rumah juragan Lela, rentenir terkenal dilingkungan kontrakan sekaligus pemilik kontrakan.
Meski harus dengan menjaminkan motor bututku itu tak masalah, yang terpenting saat ini adalah perut anak istriku.
TOK TOK TOK
“Assalamu’alaikum, Bang.”
Dari luar terdengar suara adikku—Isnen. Biasanya dia akan mengabari terlebih dahulu jika akan berkunjung, tapi tidak hari ini.
“Waalaikum salam, Dek. Masuk deh,” ucap Dewi seraya menyiapkan tikar untuknya.
“Iya Kak, aku mampir abis dari kantor. Aisyah kok nangis sayang?” Isnen langsung menggendong ponakannya sepeti biasa.
“Aisyah mau mam, Om.” Dengan polosnya sulungku merengek.
“Kebetulan Kak, aku bawa lauk pauk dari tempat kerja. Banyak banget, Nasi juga masih banyak. Tadi banyak yang enggak datang, makanya makanannya Isnen bawa pulang.”
“Tenang saja, lauknya aku pisah-pisahin di wadah, jadi bukan makanan sisa kok. Kita makan bareng, Kak. Aku mau makan tapi inget sama Abang dan Kakak,” Lanjut Isnen sambil mengeluarkan beberapa permen kesukaan Aisyah, sulungku senang bukan main karena sudah lebih dari seminggu tidak merasakan jajan.
MasyaAllah, buah kesabaran kami dibayar langsung tunai oleh Tuhan. Malam ini kami sekeluarga bisa makan enak, bahkan masih bersisa banyak untuk besok.
Ditambah, Isnen juga menyelipkan 5 lembar uang 100 ribuan di baju Aisyah, katanya untuk jajan. Saat hendak pulang, Aisyah juga diajak jalan-jalan ke Minimarket untuk membeli camilan.
Bukan hanya itu, Isnen juga membelikan macam-macam sembako dan sekarung beras 20kg. Air mata ini rasanya sudah tak terbendung lagi, buah kesabaran kami Tuhan balas sedemikian rupa.
Aku bukan tidak mau mengadu pada Isnen dan papah, tapi mereka terlalu banyak menolongku dan keluarga. Apalagi Isnen yang sudah berani ambil alih tanggung jawab menafkahi papah menggantikan posisiku dulu.
“Alhamdulillah Wasyukurillah Bang. Memang, janji Allah itu nyata asal kita yakin dan percaya.”
Kulihat senyum mengembang pada wajah Dewi, kupeluk dia erat seraya meminta maaf karena telah banyak mengeluh atas sakitku.
Memang secara ekonomi Allah menguji kami, tapi nikmat Allah lebih besar kepadaku yang telah memberikan pendamping luar biasa seperti Dewi.
“Bang, lauk pauknya masih banyak. Kita bagikan ke Mbah Surti, mumpung masih enak. Aku juga minta izin buat pakai 100.000 buat sedekah ke Mbah Surti. Kasihan Bang, dia cerita dagangannya lagi sepi.”
Tanpa berpikir panjang langsung kusetujui permintaan Dewi. Alangkah baiknya hatimu Bidadariku. Semoga sikap dan kebaikan hatimu terus seperti sekarang meski mungkin suatu hari Tuhan merubah keadaan ekonomi kita jadi lebih baik lagi.
Aku bangga memilikimu yang tetap memikirkan kesusahan orang lain meski kita sendiri tengah kesulitan, juga rasa sabar mu yang mau menemani masa susahku.

Bình Luận Sách (74)

  • avatar
    WiyonoTri

    bagus bnyk pembelajaran tentang hidup

    17/07

      0
  • avatar
    Nurhikmah

    masya Allah, jatuh cinta dengan novel ini, terimakasih sudah menerbitkan novel seindah ini

    14/07

      0
  • avatar
    WijayaFatmawati

    kesabaran dan ketabahan membuahkan hasil

    06/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất