logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 05

Kembali ke masa sekarang ....
Husni tersenyum samar ketika kembali teringat semua hal itu, meski menyisakan luka tapi di sela-sela pilu masih tersaji indah yang mampu dinikmati untuk secuil bahagia.
Ingatan-ingatan itu bagai klise yang terus bermunculan satu persatu. Rokok yang tadi ditanggalkannya di meja telah mati. Dia meraihnya kembali saat merasa suasana benar-benar telah sunyi.
Sekali, dua kali dia mengisapnya sambil berbaring. Hingga tanpa sadar kemudian terlelap dan rokok itu jatuh begitu saja ke lantai.
Pagi, ketika bangun Husni bersyukur karena rokok itu tak jatuh ke kasur dan menimbulkan api. Dia ke luar untuk bersiap pergi sekolah. Ransel hitam yang telah terbuka jahitannya disandangnya di bahu.
“Husni, mandi dulu!” perintah Wanda.
Namun, remaja itu berlalu begitu saja tanpa menghiraukan ibunya.
Leon yang memandang kejadian itu hanya heran. Sesaat suara ibunya membuyarkan segala pertanyaan yang tadi berputar di kepalanya.
“Jangan pernah jadi seperti Husni! Kamu harus jadi anak yang baik dan sempurna! Kalau sudah selesai makan, cuci piring di dapur sana!” Wanda berlalu untuk menjempur pakaian di samping rumah.
Husni yang sedang memakai sepatu di luar masih bisa menangkap kata-kata sang ibu. Senyum kecut terbit di sudut bibir.
"Ibu bohong, katanya cuma sayang aku. Taunya berubah. Leon selalu dimanja ayah, sekarang bikin ibu selalu marah," gumamnya sebelum meninggalkan rumah.
Leon yang masih mengunyah makanannya hanya menjawab dengan anggukan.
Selesai makan dan mengerjakan cucian piring, Leon mendekati ibunya yang sedang menonton televisi.
“Bu, lulus sekolah nanti temen-temen mau masuk di SD Keraton Satu katanya. Tempat kak Husni sekolah dulu juga.” Leon mengawali percakapan, belum selesai ia mengutarakan, lagi-lagi Wanda menjawab dengan perkataan yang tak mungkin dapat dibantah.
“Kamu masuk di Ibtidaiyah Islami di depan jalan sana aja! Biar gak jauh dan gak repot diantar jemput. Ibu malu kalau harus ke sana lagi! Cukup Husni yang berulah di sana! Ingat! Belajar dan terus belajar! Jangan kecewakan ayah ibumu!”
“Baik, Bu.” Leon beringsut menjauh dengan perasaan yang kecewa.
Di sekolah baru dia harus bertemu orang baru lagi. Padahal dia sudah merasa nyaman dengan teman-temannya sejak TK, terkecuali Fazar yang selalu suka mengganggunya.
Leon menatap sendu pada anak-anak yang sedang bermain dan berlarian di luar melalui jendela. Ibu selalu melarangnya pergi ke luar rumah selain ke sekolah sejak hari dia berkelahi dengan Fazar.
Hingga sehabis Zuhur, Leon hanya berdiam diri dan belajar di kamar. Ke luar ketika makan atau melakukan apa yang diperintahkan sang ibu saja.
Saat melihat ayah pulang lebih awal, dia mengira bahwa akan diajak jalan-jalan seperti biasa.
"Ayah!" sapanya ceria. Namun, hanya dijawab dengan deheman, bahkan pria itu tak menoleh sedikit pun padanya.
"Ayah mau ke mana hari ini?" tanya Leon antusias.
"Enggak ke mana-mana! Ayah baru pulang udah dicerewetin," sahut Furqan.
"Maaf, Yah." Leon menunduk.
"Mulai sekarang gak ada jalan-jalan lagi! Ayah pikir kamu bisa jadi anak baik, taunya di luar berkelahi, apa bedanya kamu sama Husni? Ayah kecewa!" Pria itu berlalu begitu saja.
Meninggalkan anak lelaki yang terhenyak usai mendengar perkataannya. Sedang di sisi lain, ibu yang telah menatap dari tadi akhirnya mengangkat suara.
"Dari pagi malas-malasan di kamar, sekarang ke luar pas ayah pulang malah minta jalan-jalan. Jangan manja! Nemenin ibu aja enggak, sibuk sama dunianya sendiri tapi mau diperhatiin," cibir Wanda.
Matanya mulai berkaca-kaca mendengar perkataan yang menyakitkan dari dua orang yang teramat disayanginya. Lemas tubuh tetap dipaksakan melangkah memasuki kamar.
Hingga sore menjelang, hatinya bimbang. Ingin ke luar kamar, takut jika kemarahan sang ibu masih berlanjut. Mengurung diri pun, tetap merasa bersalah sebab perkataan yang tadi teramat menusuk.
Akhirnya, usai salat Magrib Leon ke luar. Turut duduk di samping ibunya yang tengah menonton televisi.
"Bu, nonton apa?" tanyanya memulai percakapan.
"Lihat sendiri! Di sana kan ada tulisannya!" jawab wanita itu acuh.
Leon akhirnya memilih segera melihatnya sendiri. Hingga beberapa menit kemudian, apa yang tayang di sana membuatnya tak mengerti.
"Ibu, kenapa kok gitu?"
"Kamu kenapa sih! Datang-datang ganggu ibu nonton! Pahami sendiri!" cecar Wanda.
Leon akhirnya memilih tak lagi berkata ataupun bertanya. Takut jika sang ibu semakin marah.
Namun, tak lama terdengar suara Husni datang.
"Eh, kenapa baru pulang? Sudah makan?" Wanita itu segera bangkit dan menyambut.
Hal yang bahkan tak pernah dilakukannya setiap Leon pulang sekolah.
"Aku gak lapar." Husni berlalu begitu saja menuju kamar. Membuat raut yang tadi manis kembali masam kala memandang.
"Kamu juga ngapain di sini? Bukannya belajar. Sudah sana masuk kamar!" Wanda berkacak pinggang menatap Leon, membuat anak kecik itu segera berlari tergopoh memasuki kamar.
****
“Cepat siapkan barang-barangmu!” perintah Wanda ketika melewati kamar Leon.
Leon yang tadi sibuk melipat pakaiannya bergegas memasukkan ke dalam tas. Sedang Wanda sibuk mondar-mandir mengemasi barang yang dimasukkan ke dalam koper besar.
Selang beberapa menit kemudian terdengar lagi suara bentakan Wanda, tapi di sisi rumah yang lain. Leon bangkit dan mengintip dari celah pintu yang terbuka.
"Husni, siapkan tas kamu!" ujar wanita itu kepada sang kakak.
"Aku malas ikut!" Remaja itu menjawab acuh.
“Husni! Ibu takkan mengizinkanmu untuk tinggal di rumah sendiri! Cepat kemasi barang-barangmu.”
Namun, remaja berumur lima belas tahun tersebut bergeming. Menatap acara televisi di hadapannya.
“Husni!” Wanda semakin meninggikan suara.
Remaja berkaos hitam dengan gambar tengkorak itu malah berdiri, meninggalkan rumah tanpa mematikan televisi. Juga tanpa suara sama sekali.
Tatapan kecewa dan geram mengiringi langkah remaja yang meninggalkan rumah.
Wanita berdaster coklat itu kembali berpaling dengan raut wajah kesal, membuat Leon yang tadi hanya mengintip bergegas kembali menutup pintu kamar. Memasukkan pakaian yang tersisa dengan tergesa-gesa.
Pintu kamar terbuka, membuat Wanda yang melihat pakaian dimasukkan secara tak beraturan semakin kesal.
“Sudah ibu bilang, susun yang rapi! Kalau berantakan begini enggak bakalan muat banyak!” Dia kembali mengeluarkan seluruh pakaian yang telah dimasukkan, kemudian melipat dan kembali memasukkannya dengan susunan yang lebih rapi dan tertata.
Leon hanya mengamati dengan seksama tanpa berani mengucap apa-apa.
Tak terasa akhirnya waktu berlalu, liburan kelulusan Leon dari TK membuat keluarga kecil itu berniat untuk pergi ke pulau Jawa, tempat kelahiran sang ibu yang telah lama tak dikunjungi. Ditambah dengan Leon berhasil mendapat nilai terbaik karena telah menyelesaikan bacaan Iqra lebih awal dari teman-teman lain.
Memasuki umur enam tahun, Leon telah fasih membaca Iqra dan telah mulai membaca Al-Qur’an. Menghafal surah-surah maupun doa-doa pendek yang sering dibaca sehari-hari. Bacaan salat pun berhasil dihapalkannya dengan baik.
Hal itu yang membuat Furqan berjanji mengajak pergi liburan sebagai hadiah atas usaha Leon. Niatnya pun disambut baik karena Wanda telah lama tak kembali ke kampung halaman.
Tepat pukul 14:00 adalah jam keberangkatan pesawat mereka. Ini merupakan pengalaman pertama Leon pergi jauh, tapi sayang, Husni sama sekali tak ingin ikut. Dia memilih tinggal meski telah diancam takkan dikasih kunci rumah.
“Ibu, apa kak Husni benar-benar tinggal?” Leon kembali ingin memastikan. Setelah beberapa jenak mereka berdiam dan dia terus terpikirkan.
“Biar saja. Dia sudah cukup besar untuk tinggal sendirian!” Sang ibu telah selesai memasukkan pakaian dan keperluan yang akan dibawa berlalu begitu saja meninggalkan Leon.
Leon berdiri menatap kamar Husni yang tak terkunci pintunya. Memandang kamar kosong itu dengan tatapan sendu dan kecewa.
"Mengapa kakak selalu menghindar?" gumam Leon.
Selama ini, dia tak pernah berinteraksi banyak dengan sang kakak. Bahkan sapaannya selalu diacuhkan sama seperti perilaku ibu padanya. Ayah pun berubah dan selalu mendiamkannya sejak kejadian dengan Fazar.
Semua terlalu cepat berjalan tanpa mampu satu pun keindahan itu ditahan. Bahagia yang singgah kala Husni menyebutnya adik ternyata hanya sesaat. Kasih sayang sang ibu juga perhatian ayah hanya bagian yang sempat disesap sebelum semua benar-benar terlewat.
Waktu seperti tak mengizinkan semua hal itu menetap lebih lama, selain dalam ingatan saja.
Rindu pada syair-syair merdu sang ibu sebelum lelap, rindu pada ajakan ayah setiap senggang, membuat matanya tak terasa kembali berkaca-kaca. Ada perasaan yang tak mampu diterjemahkan selain keinginan jelas agar semua hal itu kembali seperti sedia kala.
Pikirannya terlalu sederhana untuk menerima hal-hal rumit yang ada.
"Leon! Bukannya bawa tas ke luar trus rapiin kamar biar gak berantakan pas pulang malah ngelamun! Cepat sana! Nanti bantu ibu siapin bekal, trus mandi!" Suara sang ibu menyapu kembali air yang belum turun di sudut mata.
Bergegas Leon mengiyakan dan merapikan kembali kamarnya dari sisa-sisa pakaian yang berserakan. Meski pikiran masih sibuk mengembara pada banyak hal yang tak bisa dipahaminya.

Bình Luận Sách (185)

  • avatar
    keongocep

    good

    4h

      0
  • avatar
    wulanratnasari

    good

    1d

      0
  • avatar
    Hien Ngoc

    Ok hay

    23d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất