logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 04

Hening malam seakan mengantarkan kembali kereta waktu yang menjemput ingatan.
Flashback....
Sosok laki-laki kecil tengah digandeng wanita berwajah ayu dengan tatap mata hangat.
Meski hanya berdua, anak kecil itu tetap henti berceloteh tentang semua yang dilihatnya. Sang ayah yang terpaksa menyelesaikan service sepeda motor tak bisa menemani mereka.
Genggaman tangannya tak lepas dari sang ibu. Jejeran mainan mobil-mobilan menarik perhatiannya. “Ibu, mau itu!” Husni menunjuk.
Wanda yang tadi sibuk memandang sekeliling segera mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud Husni. Tanpa banyak bertanya dia segera mengajak sang putra ke sana.
“Mau yang mana?” Wanita memakai dress kuning keemasan itu menunduk dan mensejajari anaknya.
Husni memandang satu persatu, pilihannya jatuh pada sebuah mobil yang bisa diubah menjadi robot juga.
“Ini, Bu.” Dia mengambil dan memeluk mobil itu.
Wanda mengeluarkan uang dari dompetnya kemudian membayar. Kemudian kembali mengajak Husni berkeliling.
Belum jauh, Husni kembali melirik penjual es krim.
“Ibu, mau es krim,” pintanya.
Lagi, tanpa bertanya Wanda segera menurutinya. Sebuah es krim coklat berada di genggaman Husni. Namun, ketika berpaling ada seorang anak laki-laki yang berlari menabrak hingga membuat Husni dan es krim tersebut jatuh.
Husni tersungkur dan memandang es krimnya di tanah. Sesaat kembali memandang ke arah anak yang menabraknya. Dia bangkit dan membalas mendorong hingga anak itu yang jatuh kemudian.
Seorang ibu-ibu berdaster ukuran jumbo mendekat.
“Apa-apaan ini beraninya mendorong anakku?” Dia membantu anak lelakinya berdiri.
“Kalo punya anak dijaga dong, liat es krim anakku jatuh karena dia lari dan menabrak begitu saja! Wajar dong kalau anakmu harus menerima yang serupa.” Wanda segera merangkul Husni.
Perdebatan di antara dua ibu tak terelakkan. Husni sendiri terus mengacungkan kepalan tinju di tangan kanannya yang membuat anak berkacamata itu hanya berani bersembunyi di balik tubuh ibunya.
“Sudah, ayo kita pulang saja!” Wanda segera menarik tangan Husni. Diikuti oleh hal yang sama oleh ibu-ibu tersebut.
“Ibu, cape,” keluh Husni.
Wanda mengangkat tubuh kecil itu dan menggendong menuju rumah. Di perjalanan, Husni tertidur begitu saja karena kelelahan. Dia membiarkan saja sang anak terlelap hingga sampai ke rumah, kemudian merebahkannya di kasur tanpa sedikit pun terniat membangunkannya.
Pagi ketika Husni terbangun, seluruh sarapan dan keperluan sekolahnya telah disiapkan. Wanda memintanya untuk segera mandi agar bisa pergi ke TK lebih awal.
Selesai sarapan dan bersiap, Wanda mengantarkan Husni ke sekolah, bahkan menemani hingga jam pulang seperti biasa.
Pulang dari sekolah TK, Husni selalu membeli mainan dari seorang penjual yang tak jauh dari TK Mulia. Meski box mainan di rumah telah penuh, anak itu selalu bilang kalau bermain itu-itu saja akan membosankan.
Hari berlalu, tak terasa Husni telah memulai masa sekolah dasarnya. Semua keinginan selalu terpenuhi. Beberapa box mainan, lemari pakaian yang sesak dengan berbagai model baju, juga segala makanan selalu tersedia.
Siang itu, pulang dari SD Keraton Satu, anak itu membawa sebuah surat dari sekolahnya. Surat yang mengubah raut wajah sang ayah dari senyum sebelumnya. Beralih dari kertas di genggaman, mata itu mengarah pada Husni dengan tatapan tajam.
“Husni berkelahi di sekolah, siapa yang mengajarkannya seperti itu, hah!” bentak Furqan di depan wajah sang istri.
Hal yang membuat Husni terkejut, karena selama ini sang ayah tampak diam. Kesibukan di bengkel membuat pria itu tak terlalu sempat bersama mereka. Hanya di beberapa hari libur atau waktu senggang saja dapat menemaninya bermain bersama.
Husni tak terlalu akrab dengan ayah, dia selalu bosan jika diajak bepergian tapi dilarang membeli yang diinginkan. Hanya beberapa di antara keinginannya saja dituruti dengan dalih tak membawa banyak uang.
Sedang bersama ibu, tangan mereka selalu dipenuhi dengan plastik belanjaan. Entah keperluan rumah, makanan maupun mainan.
“Lho, selama dia membela diri apa yang salah?” tanya Wanda.
“Berhenti terlalu memanjakannya seperti itu!”
“Aku berlaku sewajarnya, kamu sebagai ayah apakah punya andil dalam mendidiknya? Kamu selalu sibuk bekerja!”
“Aku cari uang buat kita semua bisa makan! Kamu pikir semua bahan makanan di rumah dan seluruh mainan Husni belinya pakai daun?”
“Memangnya yang dibutuhkan keluarga ini hanya uang? Husni juga perlu sosok ayah yang menjadi teman!”
"Selama ini aku sering mengajaknya jalan-jalan, tapi selalu ditolak! Dianya aja yang bebal, lebih suka main sama teman. Kalau ikut pun cuma merepotkan!"
"Husni senang sama teman-teman dan perlu banyak mainan karena dia gak pernah ditemani main sama kamu!"
Mendengar kalimat itu, perasaan kesal bercampur tak dihargai muncul di dalam hati Furqan. Tangannya terangkat hendak melayangkan pukulan ke arah Wanda. Hingga saat hampir tak berjarak lagi dengan wajah sang ibu, Husni berteriak histeris.
“Ayah! Ibu! Stop!” Dia yang tadi hanya mematung, berlari kembali ke kamar dan mengunci pintu.
Wanda segera bangkit mengejar Husni, tapi pintu kamar telah terkunci. Berkali-kali dipanggil pun tak ada sahutan dari anak kecil yang sedang bersembunyi di dalam.
“Husni, maafkan ibu dan ayah.” Tubuh Wanda luruh bersandar pada pintu kamar. Isak tangis dari dalam terdengar, membuat perasaannya semakin remuk redam.
Husni kecil menatap jendela dengan air mata berlinang.
Lalu, roda kereta kembali membawanya singgah pada ruang ingatan selanjutnya.
Seorang anak kecil dengan kaki penuh lumpur sisa bermain seharian berdiri terpaku di depan pintu. Dua orang dewasa di hadapannya kembali bertengkar dengan nada suara tinggi.
Furqan yang datang dengan wajah lesu, pekerjaan di bengkel terasa begitu melelahkan. Namun, uang yang didapat tak sesuai harapan. Ketika pulang pun tak mendapati anak semata wayang mereka yang harusnya menyambutnya, sang istri pun sibuk menonton televisi tanpa menoleh sama sekali.
“Husni mana?” tanyanya.
“Tadi izin main,” jawab Wanda tanpa mengalihkan pandangan.
“Sampai jam sekarang belum pulang?”
“Biarlah, Mas. Namanya juga anak-anak masih senang main.”
“Iya aku gak ngelarang dia main kalo ingat jam pulang!” Nada suara Furqan kembali meninggi.
Wanda akhirnya mengalihkan pandangan dengan raut wajah kesal. Perdebatan di antara mereka terjadi, terdengar di sela-sela suara azan Magrib yang berkumandang. Tanpa satu pun sadar bahwa yang mereka ributkan tengah terpaku memandang.
Ketika Wanda hendak berdiri menuju kamar, dia melihat Husni berdiri di sana dengan tubuh yang gemetar. Dia ingin merangkul tubuh itu, tapi Furqan terlebih dahulu mengeluarkan suara bentakan.
“Jam segini baru pulang! Mana kotor lagi! Mandi sana!”
Tanpa menjawab, Husni berlari menuju kamar mandi. Meninggalkan jejak-jejak lumpur pada lantai yang telah dia lewati.
Sang ayah menggerutu melihat lantai yang kotor, sedang wanita berdaster merah bunga itu lebih memilih mempersiapkan pakaian ganti untuk anak semata wayang mereka.
Seusai mandi, Husni yang biasanya segera makan malam lebih memilih mengurung diri di kamar. Dia berbaring memeluk guling sambil menatap langit-langit yang dipenuhi sarang laba-laba. Tak dihiraukannya panggilan sang ibu dari luar.
Rekam itu kembali menimbulkan seraut garis kesedihan di wajah Husni yang bersembunyi di balik guling.
Lagi, laju putarannya kembali mengantarkan ingatan lain pada kepala. Saat kali pertama anak kecil itu terpaksa pindah sekolah karena tak naik kelas. Pertengkaran kedua orang tua yang membuatnya bosan mendengar teriakan demi teriakan.
Sang ibu menghampiri ayahnya, bersuara teramat pelan. Namun, respon pria itu teramat jauh dari harapan.
“Apa? Kamu pikir pindah sekolah itu mudah!” Furqan menutup kembali koran yang sedang dia baca.
“Tapi, Husni tidak naik kelas, bagaimana mungkin dia bisa tetap di sana? Husni bisa naik kelas asal pindah ke sekolah baru kata gurunya.”
“Itu salah dia, selalu cari masalah di sekolah!”
“Memang kamu ingin punya anak yang putus sekolah? Husni masih ingin meneruskan sekolahnya, jadi tidak ada salahnya untuk tetap mendaftarkannya pada sekolah baru lagi.” Wanda berusaha meminta iba agar sang suami menurut kali ini.
“Iya! Semua ini salahmu karena terlalu memanjakannya!” Furqan mengempaskan koran itu ke meja kemudian pergi setelah menyalakan rokok yang selalu tersimpan di kantongnya.
Wanda segera kembali ke kamar Husni.
“Nanti ibu carikan sekolah baru, ya. Tapi Husni janji jangan berkelahi lagi,” ujar Wanda.
“Aku gak bakal berkelahi kalo mereka gak cari masalah, Bu. Aku janji gak akan manja lagi. Sudah ibu ke luar! Aku mau tidur!” Husni mendorong ibunya ke luar, mengunci pintu kamar.
Tak lama, suara barang-barang jatuh terdengar dari dalam. Wanda berlari menghampiri pintu kamar Husni, memanggil berkali-kali meski tak ada sahutan.
Kemudian, roda kereta waktu semakin laju membawanya tenggelam pada arus kenangan. Sebuah kejadian bertahun lalu kembali tergambar.
Saat sang ibu hanya merenung usai mengetahui kehamilan kedua. Setiap hari sang ayah selalu membelikan semua yang diinginkan. Kebahagiaan begitu terpancar di raut wajah pria itu, sikapnya pun jauh berbeda dengan sebelumnya, sebisa mungkin menghindari pertengkaran, meski berkali-kali sang istri meminta ingin menggugurkan kandungan.
Husni duduk di samping kasur memandang ibunya, ada ragu untuk mengutarakan segala ketakutannya.
"Kamu kenapa, Nak? Cerita sama ibu," ucap sang ibu melihat kegelisahan pada Husni.
"Kata temen kalo punya adek, gak disayang lagi," ujarnya menunduk.
"Ibu janji, yang paling ibu sayang cuma Husni. Jadi jangan sedih lagi, ya?"
"Janji?" Matanya berbinar penuh harap.
"Janji! Pokoknya Husni yang terbaik!" Wanda memeluk Husni.

Bình Luận Sách (185)

  • avatar
    keongocep

    good

    2h

      0
  • avatar
    wulanratnasari

    good

    1d

      0
  • avatar
    Hien Ngoc

    Ok hay

    23d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất