logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Mencari Kebebasan

Mencari Kebebasan

Asy'arie


Bab 01

"Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... La ilaha illallah." Furqan mengakhiri lantunan azan di telinga kanan bayi berkulit putih, dengan mata berwarna keabu-abuan yang terlahir selamat tatkala mentari hendak kembali ke peraduan
Sedang wanita yang terbaring di sebelahnya, memandang haru pada mereka berdua. Kehamilan yang dahulu tak diinginkannya, telah melahirkan sesosok bayi tampan. Dia merasakan begitu besar sesal atas kebodohan yang pernah dia buat saat hendak menggugurkan janin tak berdosa itu.
"Leon, jadilah bintang yang menerangi semesta ibu dan ayah." Wanita itu menyambut bayi yang diulurkan oleh Furqan kepadanya.
Belum tuntas mereka berdua menikmati haru dan bahagia atas kehadiran malaikat yang akan memberi sinar baru, seorang anak kecil berumur delapan tahun mengetuk pintu rumah dengan pakaian sekolah yang masih melekat, lusuh dan kotor.
"Dari mana saja kamu? Pulang sekolah bukannya ke rumah ganti baju malah langsung main!" Sambut Furqan dengan perasaan yang tadi bahagia seketika berubah kesal.
Namun, anak kecil itu hanya berlalu tanpa mengindahkan perkataan orang tuanya. Memasuki kamar yang masih riuh dengan suara tangisan bayi, mengangsurkan sebuah amplop kemudian berlalu begitu saja memasuki kamarnya sendiri.
Wanita itu membuka amplop perlahan, cerah yang menghiasi wajah berubah ekspresi suram dengan napas turun naik ketika membaca tulisan di sana. Furqan yang menangkap hal itu segera meraih dan turut membacanya.
Wajahnya turut berubah, diremasnya kertas itu kemudian dilemparkan sembarangan tanpa arah. Dengan langkah tergesa dia mendatangi anak yang baru saja membuat sirna bahagia mereka.
"Husni, sampai kapan kamu akan terus berkelahi di sekolah! Ini sudah yang ke empat dalam sebulan. Ayah tak ingin lagi kamu harus pindah sekolah karena terus bermasalah! Kamu sudah pindah tiga kali sejak setahun lalu!" Suara bariton itu memenuhi kamar yang berhiaskan poster-poster.
Husni yang tadi hendak menyalakan rokok terkesiap, sigap meremas dan menyembunyikan korek di tangan kirinya.
"Apa yang kamu sembunyikan!" gertak Furqan lagi.
Anak kecil itu hanya menggeleng.
Cepat Furqan mendekat dan menarik tangannya untuk mengetahui benda yang sedang disembunyikan. Dadanya kian terasa panas ketika mendapati sebatang rokok yang telah remuk serta sebuah korek api di sana.
"Ke luar dari rumah ini, kamu sudah cukup besar untuk mencari uang dan membeli rokok sendiri!"
Kini teriakan Furqan membuat wanita yang sedari tadi menikmati garis keindahan di wajah Leon bangkit. Meski dengan nyeri yang masih terasa dia melangkah menuju asal keributan tersebut.
Tubuhnya kian lemah, ketika mendapati rokok remuk yang ada di genggaman suaminya. Serta wajah anak pertama yang tenggelam dalam ketakutan dan perasaan bersalah yang teramat dipahaminya.
"Lihat, Wanda! Anak yang kamu bela dan kamu manjakan bukan hanya membuat masalah! Tapi juga sudah berani merokok!" Furqan berlalu begitu saja, meninggalkan dua manusia yang hanya bertukar kata melalui tatap mata.
Sesaat kemudian, Wanda berlalu dengan wajah kecewa, diabaikannya tangisan Leon dari box bayi di sebelahnya.
“Mulai hari ini ayah gak akan kasih uang jajan sama kamu! Jadi kamu harus sarapan di rumah kalau gak mau di sekolah nanti kelaparan! Pulang segera ke rumah untuk makan siang! Dikasih uang jajan malah dipakai beli rokok!” titah Furqan ketika Husni baru ke luar dari kamar pagi itu.
“Ayah!” sergah Husni.
Namun, pria dengan kaos hitam lusuh yang sering dipakai untuk bekerja itu tetap geming. Berlalu begitu saja menuju halaman rumah untuk merapikan barang yang akan dibawa ke bengkel.
Husni melangkah jengkel menuju dapur untuk mengambil sarapan, langkah kakinya yang kasar menimbulkan suara ribut dari lantai kayu. Membuat Leon yang baru saja tidur kembali terbangun.
Tangisan Leon membuat Wanda kembali memasuki kamar setelah baru saja berniat ingin mandi.
“Bisakah kamu berjalan lebih pelan? Ibu baru saja mau mandi kamu bikin keributan, adeknya bangun ngurusin juga gak bisa!” Wanda menyempatkan diri menegur Husni yang telah memasang raut jengkel.
Wanda segera mendatangi Leon yang menangis, mengangkat dan menimangnya sambil melantunkan La ilaha illallah hingga bayi berpipi gempal itu kembali terpejam. Dikecupnya kening sang buah hati kemudian bergegas ke kamar mandi.
Namun, air yang kosong di sana lagi-lagi membuatnya kesal. Husni selalu saja meninggalkan kamar mandi dalam keadaan begitu, sabun yang tak lagi pada tempatnya juga kulit sampo yang berserakan. Juga sisa-sisa pasta gigi berceceran di lantai.
Perlahan dia membersihkan, meski nyeri setelah melahirkan masih begitu menjalar. Tanpa menunggu lama, mandi pun telah diselesaikan.
Belum jua selesai memasang baju sempurna, tangis Leon kembali terdengar. Wanda bergegas menghampiri dan kembali menimang, perut yang sejak tadi berbunyi lagi-lagi terpaksa ditahan. Setelah merasa buah hatinya telah cukup tenang, dia membawanya dengan teramat pelan menuju dapur untuk mengambil makanan.
Bayi kelahiran Januari tersebut lebih sering merengek daripada sang kakak, suara kecil pun selalu dapat membangunkannya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang tersebut pun dibuat kerepotan karena harus terus membawanya, ditinggal di box bayi takkan mampu membuatnya tertidur lama.
Hari-hari yang berlalu pun selalu riuh oleh tangisan Leon. Hampir seluruh pekerjaan rumah tetap dilakukan oleh sang ibu dengan menggendongnya.
Lantunan syair-syair maupun kalimat La ilaha illallah tak henti ke luar dari bibir yang merona itu, seakan menjadi bait-bait penenang yang menemani lelap bayi di tangan kirinya.
“Aku tak bisa menolak jatuh cinta padamu, Nak.” Kini tak terasa mata Wanda berair, teringatkan bagaimana semasa hamil ia terus mengutuk kehamilan yang tak diinginkannya itu.
Sebenarnya wanita itu sempat berniat untuk menitipkan bayinya ke sebuah Panti Asuhan atau pun keluarga yang masih belum memiliki anak setelah melahirkan, karena mengurus Husni saja sudah cukup melelahkan. Namun, niat itu mendadak sirna ketika melihat sosok yang membuat siapa saja mampu jatuh hati sejak pertama menatapnya.
Jauh di lubuk hatinya, Wanda bertekad untuk menjadikan Leon lebih baik dan sempurna. Tak boleh ada kekurangan pada bayi yang memiliki hidung mancung juga mata indah tersebut.
****
Bulan demi bulan dilaluinya dengan sabar menikmati setiap perkembangan Leon. Keduanya begitu antusias, ketika bayi kedua mereka begitu cepat menangkap apa yang diajarkan. Banyak hal yang bisa dilakukannya lebih awal dibandingkan bayi seumurannya, seperti merangkak, berdiri bahkan berjalan dengan lancar padahal umur Leon belum genap sebelas bulan. Hal yang tentu saja teramat membanggakan bagi mereka.
Tak jarang, Wanda membiarkan Leon berlatih sendiri tanpa gangguan. Selain waktu yang ada bisa dimanfaatkan untuk melakukan berbagai pekerjaan, dia pun tak ingin membuat Leon terlalu dimanjakan. Hal yang membuat Leon akhirnya lebih sering bermain sendirian.
Tak terasa, Leon telah memasuki umur empat tahun dan siap bersekolah. Sesuai kesepakatan, maka mereka akan mendaftarkannya pada salah satu TK Al-Qur'an terdekat. Selain mudah mengajarkannya pulang pergi sendiri, mereka pun tak perlu khawatir jika Leon tersesat.
 
Beranjak setahun dari pertama masuk TK Al-Qur'an, Leon sudah mulai hapal jalan-jalan di sekitar gang dan kampungnya.
Leon memandang barisan anak-anak berseragam TK yang lewat di depan gang, kemudian melirik ke dalam rumah untuk mencari ibunya. Merasa tak ada sosok itu di sana, dia berlari menghampiri, mengikuti barisan itu di belakang. Ikut bernyanyi hingga menarik perhatian salah seorang guru yang mengawasi muridnya. Guru wanita itu dengan ramah meminta Leon untuk ikut bergabung.
Dengan girang dia turut melangkah di antara anak lain meski tanpa seragam apa pun, hanya kaos spiderman dengan celana pendek selutut. Namun, malah disambut ramah oleh mereka semua.
Baris berbaris yang selalu diadakan setiap hari Sabtu itu berhenti setelah kembali ke TK Mulia, yang berjarak tiga ratus meter dari rumah Leon. Bahkan dia turut ikut masuk ke kelas, duduk di salah satu bangku yang kosong. Tak ada satu pun yang keberatan di antara mereka. Leon diperlakukan selayaknya murid meski tak satu pun orang mengenalnya.
Mulai dari belajar mengeja kata, bernyanyi hingga bermain di sana. Leon merasa sangat bahagia, mengingat selama ini dia hanya didaftarkan di TK Al-Qur’an yang sekedar diajarkan membaca Iqra. Tak ada seragam, tak ada permainan, tak ada nyanyian di sana.
Leon pulang dengan langkah ringan, masih menyanyikan lagu-lagu di kelas TK yang baru saja diikutinya. Namun, girang yang tadi menyelimuti perasaan berubah menjadi sebuah ketakutan ketika menatap ibunya telah menanti dengan berkacak pinggang.
“Dari mana saja kamu? Pergi tanpa izin ibu!” Sambut wanita berdaster biru dengan rambut panjang yang tergelung rapi.
Leon menunduk kemudian menjawab, “Dari TK Mulia, Bu. Tadi ikut belajar di sana.”
Perlahan kepalanya terangkat, dengan senyum yang terus mengambang. Banyak cerita yang ingin dibagikan.
“Di sana ternyata bukan hanya belajar, Bu. Tapi juga menyanyi dan banyak permainannya ....”
Namun, belum selesai Leon mengutarakan pengalamannya, suara Wanda telah memotong dan membungkam semua.
“Bikin malu aja! Kata siapa boleh ikut belajar kalau bukan murid di sana? Sudah masuk, jangan melakukan hal-hal aneh lagi!”
“Baik, Bu.” Leon menunduk, kemudian sedikit membungkuk melewati ibunya. Masuk ke dalam kamar kecil dengan segudang cerita yang harus disimpan sendiri saja.
Tak lama kemudian pikirannya teringat pada buku-buku yang ada di tumpukan meja belajar Husni. Dia melangkah pelan masuk, mencari-cari yang mungkin bisa dia pakai belajar membaca.
Matanya berbinar ketika mendapati buku usang yang telah robek di beberapa bagian. Memeluk dan membawanya ke dalam kamar. Dia bergegas bersandar pada tembok kayu, membuka lembar demi lembar sambil mengingat abjad yang telah dia ketahui di TK Mulia tadi.
“A ... B ... C ....” Dengan terbata dan lidah yang kelu, dia mengeja huruf-huruf di sana.
Hingga tanpa sadar dia terlelap sambil memeluk buku usang itu.
Suara Azan Zuhur membangunkannya, bibirnya tersenyum kecil memandang buku yang masih ada dalam pelukan. Dia meletakkan buku itu di bawah bantal, kemudian bersiap mandi untuk kemudian pergi ke TK Al-Qur’an seperti biasa.
Leon telah terbiasa pergi berjalan kaki sendiri menuju sekolah, hanya pada seminggu pertama Wanda menemani untuk menunjukkan jalan. Selebihnya, dia diminta untuk mandiri dan tidak berlaku manja.
Berbekal sebotol air mineral juga sedikit makanan, Leon pergi tanpa uang jajan sedikit pun. Memang, jam sekolahnya hanya sebentar sehingga dirasa tak perlu membawa uang.
Leon yang pendiam tak banyak memiliki teman, bahkan hanya saling sapa sesekali saja.
Rutinitas sekolah di TK Al-Qur’an berjalan datar, hanya datang, berdoa, membaca Iqra kemudian berdoa dan pulang.
Sepulang sekolah, Fazar teman sekampungnya menghampiri. “Bawakan tas aku dong! Ntar aku kasih uang!”
Mendengar hal itu, Leon dengan semangat membawa tas hitam bermerk dan mengikuti langkah anak berkulit putih khas bule tersebut.
Sesampainya di rumah Fazar, bukannya memberikan uang. Anak itu malah tertawa dan mengatai Leon kemudian berlalu begitu saja. Leon mengepal tangan kanannya, kemudian berlalu pulang. Mengingat kalau terlambat ibu pasti akan marah.
Sepanjang jalan dia terus mengingat nama Fazar yang berputar di kepala.
Namun, senyum kembali mengambang ketika sang ayah menyambutnya hangat.
“Ganti baju sana, kita jalan-jalan,” ajak Furqan.
Dengan berlari Leon segera memasuki kamar, meletakkan tas sembarangan dan ingin mengganti pakaiannya.
“Leon, kalau pulang sekolah letakkan tas di tempatnya!” tegur Wanda ketika melihat tas sekolah Leon tergeletak begitu saja di sudut kasur kapuk.
Leon hanya menggangguk dan menurut. Kemudian kembali ke luar menghampiri ayahnya. Saat di pintu masuk, dia berpapasan dengan Husni yang baru datang dengan raut cemberut.
“Kakak,” sapa Leon. Namun hanya dijawab dengan tatapan sinis sang kakak.
Dia kembali melangkahkan kaki menuju sepeda motor supra berwarna merah serta sesosok pria tegap yang menantinya.
Saat hendak pergi, dia melalui sebuah rumah yang berada tepat di sebelahnya. Dia menatap sendu pada seorang anak perempuan yang tampak lebih muda darinya sedang digendong dan diajak bercanda oleh kakaknya.

Bình Luận Sách (185)

  • avatar
    keongocep

    good

    4h

      0
  • avatar
    wulanratnasari

    good

    1d

      0
  • avatar
    Hien Ngoc

    Ok hay

    23d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất