logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

PERTOLONGAN TERBAIK

“Pah, Nay mohon. Beri Nay kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Ini semua bukan salah Nay Pah, Chris menjebak Nay. Papah, Nay mohon.” Gadis lugu itu bersimpuh di kaki sang Papah, memohon agar tidak mengusirnya dari rumah.
“Cepat pergi dari sini. Saya tidak peduli lagi pada anak pembawa aib sepertimu.” Johan menarik lengan Nara dengan kasar, lalu membawanya ke depan pintu keluar.
Sementara Maya dan Alen, sudah benar-benar pasrah dengan keputusan Johan. Apapun yang mereka lakukan tidak akan merubah keputusan pria itu. Mereka hanya menatap Nara dengan penuh kasihan, tidak ada yang mereka lakukan sekarang.
“Pah, Nay mohon. Nay harus pergi kemana?” Dia menangis tersedu, tapi tetap saja keputusan Johan sudah mutlak.
“Mah, Alen tolongin Nay.” Dia menatap penuh permohonan pada Mamah dan adik perempuannya itu tapi keduanya tetap bungkam dan hanya bisa menangis melihat perlakuan Johan kepada putri kandungnya sendiri.
‘Maafin Mamah Nay, mamah tidak bisa berbuat apa-apa.’
Johan melepaskan cekalannya dari lengan Nara, rasa sakitnya tidak melebihi rasa sakit yang saat ini dia alami. Ini jauh menyakitkan dibanding sebuah tamparan di wajahnya.
“Mulai sekarang tidak ada lagi putri dari Johan dan Maya yang bernama Naraya Ayudia.” Ucapan Johan benar-benar menyakiti hatinya, seharusnya di saat seperti ini mereka merangkul gadis yang tidak bersalah itu bukan malah mengusirnya dan memperlakukannya dengan tidak adil.
“Apapun yang terjadi padamu jangan pernah kembali atau muncul dihadapan saya!” sambungnya dengan penuh penekanan, lalu dia menatap istrinya. “Dan kau jika sampai ketahuan masih berhubungan dengan anak pemawa aib ini, maka bersiaplah kena talak.”
Entah apa yang terjadi pada pria itu, dia terlalu mudah mengucapkan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Dia menganggap semua yang terjadi harus dibawah kendalinya. Apa dia tidak takut akan sebuah penyesalan?
“Pah, Nay mohon...”
“Saya bukan Papahmu. Sekarang pergi! Jangan pernah kembali kemari!”
Brak! Johan membanting pintu setelah dia mendorong Nara keluar dan meletakkan koper besar itu dihadapnnya. Tidak tampak sedikit penyesalanpun diwajahnya, dia hanya tidak ingin pencapaiannya hancur begitu saja setelah perjuangannya selama ini hanya karena Nara yang hamil di luar nikah.
Nara menatap nanar pintu rumah yang sudah tertutup rapat itu, dia benar-benar iba terhadap dirinya sendiri. Akhirnya yang dia takutkan selama ini terjadi, hal yang paling dia takutkan benar-benar terjadi. Orang yang telah memperkosanya itu telah berhasil membuat dia menjadi manusia tidak berguna lagi sekarang.
Hidupnya hancur, dia tidak tahu arah tujuannya kemana. bahkan orang tua kandungnya sendiri mengusir dan membuang dia begitu saja. Sekarang apa yang akan dipertahankan dia lagi, martabat seorang gadis darinya sudah terenggut, impiannya sekolah beasiswa di Amsterdam pun ikut gugur.
Nara menggeret kopernya dengan perlahan, lelah rasanya menangis toh tidak akan ada yang peduli padanya. Dia melangkah tanpa tujuan, menyusuri jalanan sepi. Dia tidak tahu kemana dia harus pergi sekarang.
Kenapa harus gadis lugu dan polos itu yang yang mengalami hal ini. kenapa takdir terlihat begitu jahat padanya, kenapa dia harus bertemu dan mengenal Chrisyan. Kenapa harus dia mengalami hal buruk seperti ini. sungguh, Nara membenci orang-orang yang sudah mengakibatkan dia seperti ini.
Kakinya melangkah tanpa arah, hingga tanpa di sadari dia sampai di sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir air yang cukup jernih hingga terlihat membiru karena terlalu dalam. Entah apa yang menyelimuti pikiran Nara sekarang, yang dia inginkan hanya mengakhiri semua penderitaan beruntun ini.
“Aku benci kalian semua!” Dia berteriak, memekik dan menumpahkan semua rasa sakit dan dukanya yang terpendam.
Mata indahnya terpejam, lagi-lagi air mata itu meluruh begitu saja tanpa persetujuan. Tangannya meremas erat perutnya yang masih rata, tidak seharusnya ada nyawa di dalam sini. Tidak seharusnya takdir menoreh kisah menyedihkan seperti ini dalam hidupnya.
Bisakah dia berputar balik, menghapus kisah pertemuan antara dirinya dan Chrisyan ketika di perpusatakaan sekolah. Agar kisah menyakitkan seperti ini tidak terjadi, agar dia bisa meraih impiannya di Amsterdam, agar Papah tidak mengusirnya dengan cara keji seperti ini.
Semilir angin dijembatan sepi itu membuat Narra semakin dibendung kesedihan. Ucapan Johan silih berganti menusuk ingatan dan pikirannya, kejadian malam itu kembali terbayang bagaimana caranya pria itu menyentuh dia hingga membuat Nara merasa jijik pada tubuhnya sendiri.
“Aku membenci kalian!” Pekiknya untuk kedua kali, dan kali ini tangannya menggenggam erat railing jembatan yang terbuat dari besi itu.
Dia benci Papah, dia benci Chris, dia benci pria biadab itu, dia benci Mamah yang tetap diam dan dia benci Alen yang tidak membantunya sedikitpun. Mereka hanya ikut merasa iba tapi tidak berbuat sesuatu.
‘Akhiri saja Nay, semuanya sudah usai. Kau tidak akan menjadi manusia yang berguna lagi. bawa bayi dalam kandunganmu itu pergi bersamamu, kau tidak akan merasakan penderitaan lagi.’ Sisi lain dalam dirinya memerintahkan dia untuk menyudahi semuanya. Seperti menuntunnya untuk melompat ke dalam dasar sungai yang dalam itu.
‘Semua akan berakhir!’ Pekiknya dalam hati.
Nara menginjak besi pembatas jembatan dihadapannya untuk naik dan segera melompat. Tapi tiba-tiba rasa pusing itu menyerangnya lagi bahkan lebih parah dari kemarin. Keseimbangan tubuhnya hilang bahkan dia tidak bisa berpegangan dengan kuat lagi.
Belum sempat dia terjun ke dasar sungai, dia merasa tangannya seperti ditarik ke belakang dan kesadarannya hilang sempurna. Yang dia harapakan adalah ketika dia bangun, dia sedang berada di taman yang begitu indah dan tidak ada penderitaan di sana. itulah yang benar-benar dia inginkan.
Tapi kenyataannya tidak, saat ini dia malah terbaring di sebuah kasur empuk dan nyaman dan ada seorang wanita tua yang sedang menyiapkan sesuatu di atas nakas.
Perlahan, kelopak Nara terbuka sempurna saat dia merasa ingin muntah. Dia langusng duduk di tengah kasur dan matanya mencari-cari letak kamar mandi, belum sempat dia turun dari kasur wanita tua itu menyodorkan kantong plastik berwarna hitam pada Nara. Meski bingung dia tetap menerimanya dan memuntahkan semua rasa bergejolak dari perutnya ke dalam sana.
Tenaganya benar-benar terkuras habis padahal hanya cairan bening yang dia muntahkan. Nara menyeka mulutnya menggunakan tissue yang disodorkan wanita tua itu. dia mendesah panjang lalu menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.
Tidak pernah Nara merasa setersiksa ini.
Setelah merasa tenang, Nara membuka matanya yang terpejam saat menyadari ada orang asing di sekitarnya. Wajah lesunya menatap wanita tua yang duduk di sisi kasur dan sambil tersenyum padanya.
“Minum dulu Nak.” Dia menyodorkan segelas air putih dan Nara menyambutnya dengan baik.
“Ibu siapa? Kenapa bisa saya ada di sini?” Tanya Nara ketika sudah meneguk air putih itu. Sedikit kebingungan dengan apa yang terjadi, karena hal terakhir yang dia ingat adalah ketika berada di tepi jembatan tapi kenapa sekarang dia berada di kamar sederhana ini.
“Panggil saya Ibu saja. Ibu Ina.” Dia tersenyum hangat lalu menerima gelas yang di sodorkan oleh Nara.
“Terimakasih Bu Ina.”
“Tadi ketika pulang dari pasar, tidak sengaja ibu melihat kamu dipinggir jembatan. Apa kamu ingin bunuh diri?” Pertanyaan itu cukup membuat Nara bungkam, dia menundukkan kepalanya. Memang itulah tujuannya tadi.
“Nak, sebesar apapun masalah yang kamu hadapi jangan sampai berpikiran untuk mengakhiri hidup. Itu di benci Tuhan dan di larang agama.”
“Saya tahu itu, tapi saya tidak punya tujuan lagi. hidup saya hancur dan saya di usir dari rumah karena kesalahan yang tidak saya perbuat. Saya masih terlalu kecil untuk menanggung beban-beban ini.” Air matanya kembali jatuh lagi, menangis menumpahkan kesedihan yang sempat tertunda.
“Tuhan itu tidak pernah pilih kasih. Dia adil dalam memberi ujian pada kita. Sekarang, adalah bagaimana cara kita menanggapi dan menyelesaikan ujian itu. Menyerah sebelum mencoba, atau mendapatkan hasil terbaik setelah kamu mencobanya.”
Nara menatap lekat wajah wanita yang sudah tidak terlalu muda itu, terlihat jelas ketulusan di sorot netra yang sudah mulai memudar warnanya. Seketika dia merasa seperti menemukan tempat untuk berlindung.
“Jika kamu mau, tinggallah bersama Ibu. Ibu tinggal sebatang kara di sini.” Dia mengusap punggung tangan Nara dengan lembut dan kembali tersenyum tulus.
“Tapi Ibu belum mengenal saya, bagaimana bisa mengajak saya tinggal di sini.”
“Ibu percaya satu hal. Orang baik akan dipertemukan dengan orang baik.”
Senyum Bu Ina benar-benar meneduhkan hati Nara, dia tidak pernah merasakan kenyamanan seperti ini meski di dalam rumah kemarin. Akhirnya dia menganggukkan kepalanya, dan langsung saja Bu Ina terlihat sangat antusias. Akhirnya dia tidak akan kesepian lagi.
***

Bình Luận Sách (314)

  • avatar
    Imagirl

    good novel, dah gak bisa berword" lagi saya. 👍🤩

    04/04/2022

      0
  • avatar
    ElizaNova

    bgus baget

    6h

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    06/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất