logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

4

" Jangan dik. Mereka itu orang- orang ku," kata Bang Yitno dengan mantap.
Aku tercengang menatap Bang Yitno. Menyisakan penuh tanda tanya. Dia kembali mengangguk mantap.
" Iya. Itu semua orang yang kusuruh untuk memanen pete abang. Lahan itu milik Abang," jawabnya.
Aku mendengkus kesal.
" Abang itu kan petani. Malas sekali memanen sendiri. Sayang uang nya kan. Kita juga harus hemat Bang. Masih ada masa depan. Jangan dibuat leha leha dong masa mudanya. Lagipula pete laku berapa sih," gerutuku. Jiwa emak-emak dan perhitunganku meronta-ronta.
" Tidak apa-apa dik. Hitung-hitung sedekah. Ada anak istri mereka yang menunggu di rumah. Yang butuh makan. Juga biaya sekolah. Lagi pula untuk memanen segitu banyaknya Pete, aku mana sanggup," ucapnya.
Aku semakin tidak habis pikir dengan jalan pikiran Bang Yitno. Mempekerjakan orang, tetapi justru dia bermalas-malasan enggan ke sawah. Dengan muka yang masih cemberut, aku mengikuti nya di belakang.
" Gan, truk nya sudah siap ?"
" Paling dua jam lagi datang. Kalau ada sisa waktu istirahat dulu," kata Bang Yitno lembut.
Panggilan apa lagi ini. Kemarin ' H ', hari ini ' Gan '. Besok apa lagi ?
" Bang, Gan itu apa ? Ganteng ? Memangnya suami saya ganteng begitu ?" tanyaku pada pekerja itu.
" Agan neng. Juragan. Tidak sopan kalau saya langsung memanggil nama." jawab salah satu pekerja.
Juragan ? Katanya petani sekarang pindah haluan menjadi juragan ?
Bang Yitno pergi mengobrol dengan para pekerjanya. Aku yang kesal hanya jalan-jalan di kebun pete itu. Tapi tunggu sebentar, kebun pete ini seperti tidak ada ujungnya.
" Bang, ini semua kebun pete abang ?" tanyaku.
" Iya dik. Kenapa mau jalan-jalan ?"
" Memangnya berapa luasnya bang ?"
" Kecil dek. Hanya dua hektar,"
Dua hektar dibilang kecil ? Lalu yang luas itu berapa ? Aku geleng-geleng kepala dengan manusia antik ini. Entah bagaimana pemikiranya. Dia punya sesuatu yang pantas dibanggakan. Namun ia memilih merendah. Duh bagaimana aku tidak semakin cinta denganya. Pantaslah dia memperkerjakan orang. Mau panen sendiri juga berat. Tapi berapa sih lakunya pete itu. Bukan kan pete itu bau ?
" Ini mau dijual semua bang ?" tanyaku lagi.
" Enggak dek."
" Kok dipanen semua ?". Aku semakin kepo seperti wartawan yang banyak tanya
" Iya abang sisain sepuluh gerombol, buat makan dirumah sama dibagi pada warga kampung," jawabnya
" Pete ?" Aku melongo menutup mulutku dengan tangan. Membayangkan aku disuruh masak pete. Nyium baunya aja bisa muntah.
" Kamu belum pernah nyobain sambal pete buatan abang ya ? Dijamin kamu langsung ketagihan dik." ujarnya lrnih keyakinan.
Aku menggeleng dengan cepat. Sama sekali aku tidak tertarik. Karena dalam pikiranku pete itu tetaplah bau mau dimasak seperti apapun ya tetap bau.
*
Tidak terasa hari sudah semakin sore, aku bergegas pulang karena juga truk pengangkut juga sudah berangkat. Tetapi di teras rumah ada seorang ibu paruh baya yang terlihat sedih sekali. Tatapanya sayu. Wajahnya juga seperti tengah memendam masalah. Siapa dia ?
" Bu Sumi, maaf saya baru pulang. Mari masuk dulu," kata Bang Yitno.
Aku yang tidak kenal hanya mengangguk dan tersenyum. Bu Sumi pun melakukan hal yang sama.
Tiba-tiba Bu Sumi mengeluarkan air matanya. Ia menangis sesenggukan.
" Mas Yitno, sebenarnya saya malu kesini. Mas Yitno juga baru saja melangsungkan pernikahan. Tetapi saya tidak tau mau kemana lagi. Kedatangan saya kesini, mau meminjam uang, mas. Mau meminjam ke renternir, takut bunganya besar, lalu saya tidak bisa membayarnya. Ke bank, juga saya tidak punya jaminan. Anak saya sedang sakit, mas," ucapnya lemah.
Hmmm banyak di kota-kota dijumpai modus kejahatan seperti ini. Semoga saja Bang Yitno tidak lagsung percaya.
Tetapi dia justru merogoh sakunya mengeluarkan beberapa lembar uang untuk Bu Sumi. Itukan hasil penjualan pete? Kalau dipinjamkan ke Bu Sumi kita makan apa ?
" Ya Allah mas terimakasih banyak sudah membantu saya. Semoga rezeki Mas Yitno lancar. Keluarga Mas Yitno dilindungi selalu oleh Tuhan. Nanti saya akan mencicilnya mas,"
" Tidak usah dipikir bu. Saya tidak menganggap ini hutang. Yang penting anak nya sembuh dulu,"
Aku semakin kaget dibuatnya. Dikira dihutangkan justru diberikanya. Lalu apakah dampak nya ke aku ?
" Mas, itukan hasil penjualan pete. Kenapa dikasih cuma-cuma kepada Bu Sumi ?". Aku menggerutu sesaat Bu Sumi telah pulang.
" Di sebagian harta kita ada hak orang lain dik. Dan kekayaan itu adalah apa yang kita amalkan apa yang kita sedekahkan. Itu baru namanya kekayaan,"
" Lalu nafkahku bagaimana bang ?"
" Memangnya nafkah yang abang beri tempo hari sudah habis?"
Aku menggeleng. Iya sih aku belum pernah kekurangan hidup dengan Bang Yitno.
" Abang juga kenapa langsung percaya saja sih. Bisa saja Bu Sumi hanya menipu,"
" Dik, Bu Sumi bukan orang lain bagi abang. Dia yang merawat almarhum emak saat Abang di Jakarta,"
" Memangnya abang pernah hidup di Jakarta ?"
Bang Yitno salah tingkah.
" Pe-pernah dik. Belajar bertani," jawabnya gugup.
Belajar bertani di Jakarta ? Apa tidak salah ?

Bình Luận Sách (696)

  • avatar
    Al azzamiFatih

    baik

    7d

      0
  • avatar
    Edwar Syalom Sangka

    menarik

    7d

      0
  • avatar
    Izzah afkarinaIzzah afkarina

    baik

    10d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất