logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

3

' Ini orang memang kelewat santai. Dikira hidup cuma perlu makan apa,' batinku kesal.
" Oh iya. Dibawah bantal ada amplop, itu uang buat adik," ucap Bang Yitno tiba-tiba.
" Kalau kurang bilang ya dik." lanjutnya.
Aku mendongak. Apa Bang Yitno bisa membaca pikiranku ? Ah segera ku tepis rasa itu. Yang penting sekarang melihat bawah bantal terlebih dahulu. Tetapi dari kalimat terakhir nya seperti uanh yang diberi memang pas-pasan. Ya aku harus maklum aku bersuamikan petani.
Dibawah bantal ada sebuah amplop tebal yang membuat aku penasaran dengan isinya. Atau jangan-jangan ini isinya surat ? Betapa terkejutnya aku isinya benar-benar uang nyata. Lima juta rupiah. Ini lebih dari cukup untuk kebutuhan sebulan. Ah ternyata Bang Yitno tidak seperti yang aku bayangkan.
Hari berganti hari suasana desa di kaki gunung membuat ku betah hidup disini. Jauh dari polusi serta bising kendaraan. Tetapi suami ku semakin menunjukan keanehanya. Ia berkata bahwa ia seorang petani. Tetapi sama sekali ia tidak pergi ke sawah. Jadi pekerjaanya apa ? Atau dia punya pesugihan ? Ih ngeri.
" Bang, adik boleh nanya sesuatu ?"
" Enggak boleh," jawabnya singkat.
" Ih abang kok gitu ?"
" Kalau bertanya itu langsung aja dik. Aku suamimu. Kewajibanku menyenangkan istri. Termasuk menjawab pertanyaanmu. Silahkan wartawan, nara sumber sudah siap," candanya.
Aku nyengir kuda. Malu juga kesal dibuatnya.
" Abang itu pesugihan ya ?"
" Astagfirullohaladzim dek. Pertanyaan sekali saja kok sudah begitu. Musrik dek. Dosa yang tidak diampuni sama Gusti Allah. Andaikata abang tidak punya uang sepeserpun, abang tidak akan pernah mau menyekutukan Gusti Allah,"
" Habisnya kata abang, abang itu petani. Kok tidak pernah ke sawah ?"
" Emang petani harus setiap hari ke sawah. Kalau ada yang penting aja baru ke sawah. Lagipula sawah juga tidak bakal hilang kan dek,"
Rasanya malas jika harus beradu argumen dengan Bang Yitno. Yang penting jelas uang yang ku terima itu halal. Kapan-kapan saja aku akan ikut ke sawah.
Tiba-tiba hp ku berdering. Menandakan ada pesan yang masuk. Aku seketika menciut melihat pesan itu. Pesan dari Kak Dinda.
" Kenapa dik ? Lihat hp kok seperti lihat hantu ?"
" Mbak Dinda, bang,"
" Kenapa ? Mbak Dinda jadi hantu ?"
" Ih abang apa-apa an sih ? Mbak Dinda ngajak akhir pekan berkumpul di rumah ayah,"
" Keluargamu itu luar biasa, dik. Jarang sekali jaman sekarang yang gemar bersilaturahmi,"
" Disana hanya akan terjadi ajang pamer bang. Aku capek dengan cara pandang mereka menilai keluarga kita. Apalagi mereka tidak suka abang,"
" Biarin lah dek. Yang penting abang suka sama adek,"
" Abang, aku serius,"
" Aku dua rius dek. Kakak-kakakmu itu sayang sama kamu. Mereka hanya takut kamu hidup kekurangan jika menikah denganku,"
Aku hanya diam tidak mampu menjawab. Karena memang pernikahan ini baru seumur jagung. Aku tidak tau kedepanya.
" Kenapa diam dik ? Kurangkah pemberian abang yang lalu ?"
" Bagaimana bisa kurang bang. Yang ada malah awet. Sayur mayur bumbu tinggal petik,"
" Itulah gunanya punya suami petani dik,"
'Petani apaan ? Ke sawah aja tidak pernah ?' batinku.
*
Keesokan harinya aku melihat para bapak-bapak memakai topi capil hendak berangkat ke sawah. Mereka juga tampak ditemani istri-iatri mereka. Membuat hasratku menggebu ingin juga melihat sawah Bang Yitno
" Bang antar aku sekarang juga," kataku tegas kepada Bang Yitno.
" Kemana dik ? Ke puskesmas ? Adik sakit ?"
" Ke sawah,"
" Yakin adek mau ke sawah ? Nanti ngeluh panas,"
" Sudah pakai sunblock,"
Bang Yitno tertawa kecil.
" Anak kota. Takut hitam. Hidup di kaki gunung itu memang hitam dek. Tapi eksotis,"
Aku cubit pinggang Bang Yitno. Padahal aku ingin melihat pekerjaan asli suamiku.
" Aku itu ingin melihat pekerjaan asli abang."
" Yakin dek ? Nanti jangan kabur ya kalau tau pekerjaan abang," godanya.
Dia menganggap ini bercanda. Tetapi pikiranku terlalu menjerumus kemana-mana.
" Adik mau sawah yang kiri atau kanan ?". Aku menoleh ke arahnya. Apakah sawah Bang Yitno luas hingga memberikan pilihan ?
" Ke depan aja ada nggak bang ?"
" Ada. Tapi kecil mungkin. Tidak ada dua meter,"
" Kok kecil sekali bang ?"
" Rumah masa depan abang. Pemakaman,"
Aku semakin cemberut dibuatnya. Aku hanya menunjukan tanganku ke kanan. Dan Bang Yitno menggandengku. Kami melewati pematang kecil yang kanan kiri banyak ditumbuhi sayur mayur. Juga parit parit kecil.
" Bang tau nggak dulu aku mengira aku akan mandi di sungai,"
" Karena tinggal di desa begitu ?"
Aku mengangguk.
" Zaman udah maju dik. Mana ada orang mandi di sungai. Kamu juga bukan bidadari yang turun dari kayangan terus mandi di sungai. Kamu bidadari yang turun di hati abang. Asyik. Itu lahan abang sudah kelihatan. Yang ada pohon petenya itu,"
Aku mengarahkan pandang mengikuti telunjuk Bang Yitno tanpa mengindahkan candaanya. Sayur mayur yang bersebelahan dengan kebun pete. Tetapi ada banyak orang di lahan itu. Ada yang memanjat. Ada yang memasukan karung.
" Bang itu maling ya ? Pete abang dicuri,". Aku panik luar biasa. Reflek aku melempari mereka batu bertubi-tubi.
" Dek, jangan ! Mereka itu...

Bình Luận Sách (696)

  • avatar
    Al azzamiFatih

    baik

    7d

      0
  • avatar
    Edwar Syalom Sangka

    menarik

    7d

      0
  • avatar
    Izzah afkarinaIzzah afkarina

    baik

    10d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất