logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 4 Sahabat

“Sahabat itu saling menguatkan, saling melindungi, dan saling ada bagaimanapun keadaannya.”
Nania merasa terkejut dan tak menyangka seorang Kevin bisa meminta tolong padanya. Aku lihat kembali kartu perpustakaan yang diberikan Kevin, yang mengherankan kenapa Kevin menyuruhku mengembalikan buku pinjaman Ana? Apa sebetulnya Ana yang menyuruh Kevin untuk mengembalikan buku pinjamannya? Tapi mengapa harus Ana yang kalau dilihat jarang terlihat dekat apalagi jadi sahabat Kevin. Nania mengetukkan jari telunjuknya ke keningnya berusaha mengingat-ingat. Em… ya! Ana adalah sahabat pacar Kevin. Ok, ditemukan jawabannya.
“Nan, Awasss!!”
Sreeettt…..
Prang..
Bola itu melesat dengan cepat lalu menabrak kaca jendela hingga terlihat retak di beberapa bagian. Mampus! club bola akan kena sanksi.
“Kamu nggak papa, Nan?” Sofyan dengan wajah paniknya bertanya pada Nania. Nania menggeleng. Guru BK mendekat ke arah Nania dan Sofyan karena mendengar bola yang menabrak kaca jendela cukup keras.
“Siapa yang memecahkan kaca jendela ini?”tanya guru BK. Nania dan Sofyan hanya diam lalu menengok ke club sepak bola yang ada di lapangan dengan raut panik. Guru BK pun menghampiri mereka dan membawa mereka ke kantor BK.
“Makasih ya, Yan,”ucap Nania tulus.
Sofyan tersenyum kecil, “Iya Naniaku.”
“Stop it! Aku bukan milikmu ya Sofyan…”Seketika Nania yang tersenyum berubah menjadi garang dan jengkel.
“Bentar lagi, lo mau kan jadi pacar gue, Naniaku?”Sofyan semakin menggoda Nania yang marah. Ia sangat menikmati wajah marah Nania yang menurutnya sangat lucu dan menggemaskan.
“Najis,” ucap Nania yang membuat Sofyan terdiam. Nania merasa salah ucap dan mencoba meralat, “bukan gitu maksudku, kamu itu selalu gombal tapi kamu nggak pernah bilang aku cantik kan? Jadi aku anggapnya kamu itu main-main, nggak serius. Aku kan jelek nggak cantik,”ucap Nania yang membuat Sofyan terpingkal-pingkal. Ih apa sih maksudnya?
Sofyan lalu berhenti sendiri dari terpingkalnya yang menyebalkan itu.
“Emangnya kadar suka dan serius itu cuma diukur dari cowoknya yang suka muji ceweknya cantik?”
Nania terdiam.
“Tapi gue masih suka kita kayak gini Nan, kita kayak kucing dan tikus. Kalau gue jadian sama lo nanti malah banyak yang ngincer sama elo. Tapi yang nggak tahulah entar… lihat sikon hati gue dulu.”
“Ih, ya enggaklah. Lo kan bukan cowok famous.”
“Justru itu karena kita akan jadi couple favorite makanya nanti pasti akan banyak yang akan ganggu hubungan kita.”
“Idih, halu.”cibir Nania.
“Tapi…, serius deh kalau dipikir-pikir lo tu nggak cantik.”
“Cantik.”sengitnya Nania yang membuat Sofyan tersenyum kecil, lalu tiba-tiba menatap Nania lama.
“Lo itu lucu, imut, gemesin, limited edition,”ujarnya kemudian.
“Kenapa nggak ada cantiknya? Justru kalau kayak gitu kamu malah kayak anggap aku bayi. Tapi aku maafin deh karena aku setuju yang limited edition itu.” Ucap Nania sambil tersenyum, Sofyan pun tersenyum.
“Jadi kita pacaran nih?”
“Hayo siapa yang pacaran?” Leli tiba-tiba muncul dengan tangan kanan membawa sebungkus potatatos yang dicemil.
“Woy, kalau makan duduk, Neng.” Leli menangkupkan kedua telapak tangannya, meminta ampun. Lalu mereka bertiga duduk di depan kelas sambil menunggu guru datang.
“Eh jawab dulu tadi yang mau pacaran siapa? kalian ya?”tanya Leli dengan rasa penasarannya.
“Idih nggaklah, mana mungkin pacaran sama kucing garong kayak dia.”ucap Nania.
“Kita liat aja ntar Lel, bakal gue kasih semar mesem biar kalau gue mesem dia langsung kesengsem,”jawab Sofyan sambil mengedipkan mata kanannya ke arah Nania.
Nania bergidik, sementara Leli menoyor kepala Sofyan dengan bungkus potato, “Gue nggak akan ngerestuin kalau diantara kita bertiga ada yang pacaran!”
Bu Tari guru matematika yang melihat tingkah mereka bertiga geleng-geleng kepala, “Ayok masuk,”ucap beliau yang diipatuhi oleh mereka bertiga.
Sementara di kelas lain Tasya merasa risih dengan kasak-kusuk kedekatan Kevin dengan Nania. Ia yakin dan percaya dengan Kevin karena dia dan Kevin sudah menganggap Nania sebagai siswa biasa yang mendapat beasiswa sehingga bisa sekolah di SMA elit yang kebanyakan dari kalangan anak-anak orang kaya. Ia juga yakin bahwa kecantikannya melebihi cewek pendek berponi yang kalau bawa tas suka keberatan hingga kalau berjalan harus sedikit membungkuk. Cemburu pada Nania hanya membuatnya lebih rendah lagi. Lagian Nania itu tipe cowok yang ceroboh dan karena kecerobohan Nania membuat Kevin tidak suka dengan Nania. Tasya tahu itu.
“Loe nggak mau nyamperin Nania?”tanya teman sebangku Tasya.
“Untuk apa?” Tasya berucap pelan sambil tangannya terus mencatat materi di papan tulis. Ia menoleh ke teman sebangkunya, “persaingan di sini ketat sekali, gue nggak mau tambah pusing dengan berita-berita hoax itu.”pungkasnya.
“Good girl, itu baru temen gue.”
“Iya dong, semester ini gue harus peringkat pertama lagi.” Tasya mendeklamasikan ambisinya dengan semangat.
“I like your ambiss, babe...,”
Sepulang sekolah Nania sudah berada di parkiran sambil membaca novel Tere Liye berjudul ‘Hujan’. Ia baru membaca halaman pertama karena tadi dia baru saja meminjamnya. Tiba-tiba ia haus lalu mengambil susu kotak pemberian Sofyan. Ia melanjutkan membaca sambil menyedot susu kotak itu. Saat susu kotak itu habis ia berjalan untuk membuangnya ke tempat sampah sambil terus membaca halaman 2.
Sreeettttt
“AAAA…,”
Sepasang tangan menariknya hingga ia terselamatkan dari kecelakaan motor. Nania bernapas lega dan menoleh pada orang yang telah menolongnya.
“KALAU JALAN ITU PAKAI MATA BUKAN PAKAI BUKU!! Bisa kerja yang bener gak sih? Katanya dapat beasiswa tapi kelakuan kayak anak TK, CEROBOH!”gertak Kevin. Nania yang mengetahui bahwa itu Kevin hanya mampu terdiam, karena memang itu salahnya.
“Mana kartunya?”
Nania menyerahkan kartu yang dipegangnya dan langsung diambil oleh Kevin tanpa berterima kasih. Setelah Kevin pergi barulah Nania misuh-misuh.
“Wedus! Kakek Lampir! semoga aja segera menemukan nenek lampir! Ups.”Nania menutup mulutnya saat Tasya terlihat keluar kelas dan menghampiri Kevin. Itu nenek lampirnya sudah dijemput kakek lampir.
Nania segera keluar gerbang lalu berlari menyusul Leli dan Sofyan yang sudah menunggu di halte.
“Lama banget Loe nunggu Kevin? Ngapain aja dia tadi? Boker dulu sebelum ketemu sama elo,”cerocos Leli yang ditanggapi Nania dengan memutar bola mata. Sofyan segera mendekat ke arah Nania duduk.
“Auk ah,”jawab Nania dengan muka bete. Sofyan segera menghidupkan kipas angin listriknya agar Nania yang bete bisa terdinginkan dengan kipas angin. Nania hanya pasrah karena memang itu membuatnya tidak gerah.
“Main ke rumah gue yuk,”ajak Leli.
“Ayok, aku juga bete di kos sendiri,”timpal Nania.
“Kalau ada Nania jelas ada gue dong.” Jawaban Sofyan langsung dihadiahi toyoran oleh Leli. Nania masih lemas dan enggan mempermasalahkan atau ikut-ikutan menoyor Sofyan.
Mobil hitam BMW berhenti di dekat halte bus, seketika Leli berdiri dan menarik tangan Nania dan diikuti Sofyan di belakangnya. Mereka masuk mobil dan meluncur ke rumah Leli.
“Lo kepikiran kakak lo ya?,”tanya Leli kepada Nania yang melamun melihat ke luar jendela. Nania menoleh perlahan, “Aku banyak pikiran, Lel.” Mendengar jawaban Nania, Sofyan yang duduk di samping pak supir langsung menghadap ke belakang.
Ia menatap Nania,“Cerita aja, jangan pendam sendiri.”
“Iya, Nan. Siapa tahu kita lebih pintar menyelesaikan masalah lo, ya nggak, Yan?”
“Yoi.”
Nania masih terdiam lalu menatap Leli dan beralih menatap Sofyan, “Nanti aja deh ya, kita cerita di rumah kamu, Lel, biar enak.”
Leli hanya menghela pasrah, kembali merebahkan punggungnya sambil menatap keluar jendela.
Sofyan masih menatap Nania, Nania mendorong Sofyan agar menghadap ke depan sambil ngomel-ngomel.
“Nah, dari tadi kek kayak gini. Rame gitu lho gak sepi kayak tadi. Gue like kalau kayak gini.”
Perkataan Leli malah membuat Nania kembali terdiam. Sedangkan Sofyan menyalahkan Leli yang membuat Nania menjadi terdiam. Leli nggak terima dan menantang Sofyan, “Apa Lu?”
Mobil pun berhenti di garasi. Leli keluar dari mobil, disusul Nania dan Sofyan lalu mereka masuk rumah.
“Adik kamu kemana Lel?” tanya Nania saat memperhatikan setiap sudut rumah mencari keberadan adik Leli yang biasanya kalau main ke rumah Leli, adiknya Leli selalu bermain di ruang tamu bersama ART.
“Ini hari Sabtu, jadi adik gue jalan-jalan sama nyokap dan bokap,”jawabnya.
“Loe nggak iri mereka jalan-jalan?”celetuk Sofyan,
“Waktu gue kecil, gue udah khatam jalan-jalan sama bokap nyokap, jadi ya sekarang giliran adik gue dong…,”lontarnya. Sofyan hanya mencibir dan mengangguk-angguk.
“Kalian ambil sendiri ya minumnya, kalau mau cemilan itu di kulkas ada tinggal ambil. Pokoknya kayak rumah sendiri aja deh.”ucap Leli lalu pergi ke kamar. Nania tidak menggubris omongan Leli. Ia sibuk mencopot kaos kaki lalu menaruh tas beratnya di sofa. Sementara Sofyan sudah membuka kulkas dan mengambil air es serta beberapa camilan lalu membawanya ke meja.
“Ini buat tuan putri yang sedang banyak masalah.” Sofyan meletakkan air es dan beberapa camilan di hadapan Nania, “semoga bisa memperbaiki mood Tuan putri,”tambahnya sambil tubuhnya agak membungkuk seperti pelayan di istana.
“Ish, apaan sih?”
“Kapan Loe puasa nggak ngegombal, Yan....,Yan…” Leli kini sudah berganti pakaian dan duduk di samping Nania yang sibuk dengan poninya.
“Lama-lama gue botakin poni Lo deh,”
Nania mengerutkan kening dan matanya menyipit, “Ih…, jangan lah.”
“Lagian nggak di sekolah, nggak di rumah gue, nggak di mobil. Kerjaan Loe suka benerin poni terus!”sarkasnya. Membuat Nania melet ke arah Leli. Leli kesal dan akan menimpuknya dengan bantal sofa, tapi Sofyan mengambil bantal itu.
“Heh, udah berantemnya! Katanya mau cerita, jadi nggak ni? Gue jam lima ada acara.”
“Oke, jadi gimana Nan dengan semua permasalahan dan keganjalan-keganjalan yang Loe alami hingga Lo punya banyak beban pikiran?”Leli mengalah dan berganti memberi pertanyaan ke Nania.
“Tapi kalian harus janji nggak akan cerita sama siapapun ya,”ucap Nania sambil menatap Leli dan Sofyan secara bergantian.
“Gue janji, gue akan bungkam.”
“Gue janji, gue akan bungkam.”
Setelah mendapat kepercayaan dari dua orang sahabatnya, Nania menghela napas pelan lalu mulailah ia bercerita.
“Selain mendapatkan beasiswa, tujuan aku sekolah di SMA elit ini adalah karena di kota Jakarta ini kakakku tinggal dan menghilang. Kakakku sudah menikah, dia diboyong suaminya ke Jakarta dan menetap di Jakarta. Saat itu aku baru SMP kelas 3. Awalnya kakak masih menghubungi kami waktu sampai di Jakarta. Dia baik-baik saja dan katanya ikut bekerja di kantor suaminya. Hingga setelah itu tidak ada kabar. Kakakku sulit dihubungi. Bapak dan emak minta tolong pakde untuk mencari kakak ke Jakarta tetapi setelah seminggu dicari tidak ada. Pakde pulang karena uangnya sudah habis dan ia harus kembali bekerja untuk menafkahi istrinya.” Nania menjeda ceritanya, Leli merengkuh bahu Nania. Sofyan terdiam dan terus mengamati Nania.
“Sempat ada keinginan bapak untuk mencari sendiri kakak ke Jakarta. Tetapi aku menangis, aku takut bapak juga akan hilang. Aku tidak mau menjadi yatim. Karena aku terus nangis dan menangis setiap malam dan kesehatanku menurun, bapak tidak jadi pergi ke Jakarta. Bapak mengundurkan waktunya hingga aku siap. Selama itu aku dan kedua orangtuaku terus berdoa agar kakak selalu dalam keadaan baik dimanapun berada.” Nania diam. Ia mengusap setetes air yang tak mau ditahannya untuk keluar.
“Setelah aku lulus SMP, aku bilang sama bapak dan mamak kalau aku mau sekolah di Jakarta dan bertekad akan mencari kakak sampai ketemu. Bapak dan mamak tidak menyetujui. Mereka sudah kehilangan kakak dan takut akan kehilangan aku juga. Tetapi, aku bersikeras untuk ke Jakarta. Aku membujuk mamak dan bapak serta meluluhkan hatinya. Hingga suatu hari bapak dan mamak mendatangiku dan bertanya sekolah mana yang akan aku tuju di Jakarta, aku langsung girang dan menunjukkan sekolah elit itu serta beasiswa yang telah aku dapatkan.”
“Aku pergi ke Jakarta diantar Pakde dan dicarikan kos yang lumayan dekat dengan sekolah dengan harga lumayan miring. Di Jakarta aku terus mencari informasi tentang kantor mas iparku berharap ada informasi yang bisa memberitahu keberadaan kakakku.”
“Kenapa kamu nggak langsung ke rumahnya, Nan,” tanya Leli.
“Rumahnya sudah didatangi pakdeku tapi pakde bilang rumah itu sudah dikosongkan. Entah penghuninya pergi kemana.”jawab Nania dengan kegetiran.
“Di kota ini aku juga menemui orang-orang baik tapi mereka pergi dan menjauh. Pertama ada Nek Jami, nenek penjual sayur yang memberi kehangatan padaku terhadap kota ini. Dia yang selalu mangkal di pinggir jalan gang Anggur saat siang hingga sore. Aku selalu ke sana untuk merasakan masakannya. Mendengarnya berceloteh apa saja dengan pelanggan. Tapi…,” Nania kembali beraut sedih.
“Nek Jami tiba-tiba menghilang dan tidak berjualan selama dua hari. Aku mencari ke rumahnya. Saat tiba di rumahnya, ternyata yang ada bapak-bapak sangar, galak, bertato yang mengatakan kalau Nek Jami sakit, aku kesel dan sedih sekaligus terkejut karena ternyata Nek Jami adalah pembantu bapak-bapak itu. Ini adalah salah satu hal aneh yang aku temui, ada hal aneh lain saat kematian Kak Dedew.” Nania menerawang ke langit-langit.
“Kak Dedew yang satu kos sama kamu itu?”tanya Sofyan. Nania mengangguk.
“Sebentar aku cerna dulu permasalahannnya dari Nek Jami.”Leli menggigit jempolnya, “Oke.” Leli mengangkat kedua tangannya, “Jadi, Nek Jami itu terasa janggal saat menghilang selama dua hari dan lebih janggal lagi saat kamu ke rumah Nek Jami dan menemukan fakta bahwa Nek Jami yang sudah lumayan tua dijadikan pembantu? Am I right?” lontar Leli yang diangguki oleh Nania.
“Ah.. gue paham sekarang.” Sofyan menjentikkan jemarinya setelah beberapa saat mencerna, “terus kalau Kak Dedew itu gimana kok bisa janggal saat dia meninggal?”
Leli menimpuk kepala Sofyan dengan bantal, “nggak sabaran banget sih!”
“Ok, jadi Kak Dedew itu aslinya namanya Kak Dewi. Dia mahasiswa di Universitas Veteran, dia pendiam, dia kuliah sambil kerja. Kak Dedew nggak pernah merisak temennya, dia juga selalu pemaaf dan ibadahnya kuat. Karena sikap pendiamnya itulah yang membuatnya jarang punya teman. Tetapi, kemarin pas hari Kamis sore Kak Dedew tiba-tiba sudah tak bernyawa di kamarnya dengan selendang yang melilit lehernya. Katanya Kak Dedew bunuh diri karena ditinggal pergi pacarnya. Padahal...,” Nania hening sesaat sambil berusaha menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokannya dan matanya yang mulai memanas.
“Padahal aku tahu kalau Kak Dedew nggak punya pacar, Kak Dedew nggak mungkin punya pacar karena aku pernah menyaksikan kak Dedew menangkupkan tangannya saat ada cowok yang mengajak salaman. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi sebelum kak Dedew meninggal...Itu yang akhir-akhir ini selalu membuatku kepikiran.”
“Ssttt… pokoknya lo nggak boleh mikir itu sendiri, kita bakal bantu lo buat nyari tahu yang sebenarnya dan mengurai kejanggalan-kejanggalan yang lo kuatirin itu.” Leli kembali memeluk Nania yang menangis. Sofyan mengangguk memberi keyakinan bahwa ia juga akan ada membantu Nania, “Gue akan bantu lo sampai kakak lo ketemu dan kejanggalan dari Nek Jami dan kematian Kak Dedew terungkap. Gue janji Nan, akan terus bantu lo.” Sofyan menguatkan Nania dengan kalimatnya.
Nania tersenyum lega. Ia tidak menyangka beban yang ia pendam sendiri akan terasa ringan saat dibagi bersama kedua sahabatnya. Ia bahagia dipertemukan dengan dua orang baik ini yang kini telah menjadi sahabatnya. Sahabat yang saling melindungi, saling menguatkan, dan saling ada.

Bình Luận Sách (2064)

  • avatar
    Shalifa Hanisa

    ceritanya bagus banget. bikin gue trsnyum sorang terus🤭 #please sambungkan jalan critanya..i'm curious so much🥺 #❤️🇲🇾

    24/01/2022

      0
  • avatar
    TamadaniMuhamad

    10p jt

    14d

      0
  • avatar
    Rati Ya

    cerita nya bagus

    16d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất