logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 2 Ingin Tahu

"Setiap yang bernyawa akan kembali pada Sang PenciptaNya. Namun, bisakah semua itu terenggut dengan akhir yang indah? Bukan dengan kekejaman atau keganjilan yang Menyesak dan Menyulut Kesedihan."
Pagi-pagi sekali Nania sudah berseragam hitam-hitam dengan mata panda karena semalam Nania sama sekali tidak bisa tidur. Ia sedikit menahan air mata tapi akhirnya merembes juga. Kak Dedew orang yang paling pendiam di kos Kharisma ini. Dia juga baik, tidak pelit dan selalu memaafkan. Kenapa harus pergi secepat ini, Kak? Siapa yang tega membunuh orang sebaik kamu, Kak? Siapa? Nania tergugu hingga semakin banyak orang berdatangan. Orang tua kak Dedew sudah ada sejak kemarin sore dan rencananya pagi ini usai dimandikan jenazah kak Dedew akan dibawa ke rumahnya yang ada di Tegal.
Tak lama kemudian mobil ambulan datang dan beberapa laki-laki mengusung jenazah kak Dedew untuk dimasukkan ke dalam ambulan. Nania mengamati sambil menangis. Setelah mobil itu melaju meninggalkan kos Kharisma, Nania masih mengamati sambil duduk berdampingan dengan Rina yang tak kalah sedih dengannya. Semua merasa kehilangan kak Dedew yang baik hati.
Drrtt..
Nania segera mengambil hpnya yang ada di saku rok.
Leli: Nan, kamu dmn? Kamu bolos ya?
Astaga! Aku belum izin tidak masuk sekolah.
Aku: aku belum bisa berangkat sekolah, kak Dedew penghuni kos Kharisma meninggal, aku masih sedih ini, tolong buatin surat izin ya…
Leli: Innalillahiwainnailaihirojiun, iya Nan, nanti aku izinin. Tadi aku kira kamu bolos, yaudah yang sabar ya, aku turut berduka juga.
Akhirnya masalah sekolah beres.
Drtt..
Terlihat pesan masuk lagi dari Tasya, anggota Dewan Ambalan yang meski nggak terlalu cantik tapi cukup famous karena dia dikelilingi cewek-cewek cantik seperti Ana dan lalin-lain.
Tasya DA: Nan, kamu nanti latihan jadi petugas dirigen ya?
Aku : Sorry Sya aku lg gak bisa ini kak Dedew yang ngekosnya bareng aku meninggal,
Tasya DA: Beneran? Kamu nggak kabur dari tanggungjawab kan?
Aku : Astg gak lah masak kayak gini aku jadiin alasan buat bohong dan kabur dari tanggungjawab, gaklah aku gak boong. Klau gak percaya sini aja ke kosku…
Tasya: Oh yaudah kalau gitu turut berduka
Aku: Iy Sya, mksh, doanya aja semoga dia husnul khotimah.
Setelah Kevin yang songong dan galak, Tasya ini juga mirip dengan Kevin sifatnya. Cuman kalau Tasya selalu curiga dan lagaknya seperti dia yang paling pintar dalam segala hal. Aku? Jelas zonk di matanya. Err. Dan asal kalian tahu mereka semakin paket komplit karena mereka pacaran! Crazy nggak? Ya nggak lah kalau mereka, aku yang crazy!
“Kamu kenapa Nan kok abis baca wa langsung bete gitu?”Pertanyaan Rina membuat Nania tergeragap dan memaksakan senyumnya.
“Nggak kok, yuk kita masuk!”
“Yaudah yuk, kita samperin ibu kos dan lainnya.” Rina mengabaikan senyum Nania yang mengandung ketidakjujuran dan langsung menggandeng tangannya.
Nania dan Rina masuk ke dalam rumah ibu kos yang sudah ramai dengan beberapa tetangga dan anak-anak kos lainnya yang bermacam usia serta latar belakang. Ada yang masih sekolah seperti Nania, ada yang kerja, dan kuliah.
“Aku nggak nyangka lho kalau mbak Dewi bakal meninggal, soalnya kalau aku lihat mbak Dewi itu mukanya bukan muka pucet, masih sehat gitu.” Seorang ibu yang rumahnya tepat di samping kanan kos menyatakan keheranannya atas kematian mbak Dewi yang terlalu cepat. Nania merapatkan dirinya pada percakapan itu. Ini menarik, aku harus ikut mendengar siapa tahu ada beberapa informasi penting yang menjadi titik terang kalau mbak Dewi mati bukan karena takdir tapi dipaksa untuk mati, seperti dibunuh atau diracuni.
“Hari kemarin sebelum mbak Dewi meninggal dia juga masih beli pulsa di konter lho…Tapi mukanya kayak panik dan takut gitu. Saya tanya “Mbak Dewi kenapa kok kayak abis ketemu hantu? Masih siang ini mbak, hantunyaa masih ngumpet, hehe”. Saya tanya gitu sambil saya candain tapi mbak Dewi mukanya masih panik sambil bilang katanya nggak papa, terus dia ditemui temen ceweknya pakai motor tapi anehnya temennya gak jemput di jarak yang dekat malah agak jauh. Padahal pakai motor,”tambah Mbak Arum, penjaga konter di pinggir jalan. Jaraknya kira-kira beberapa meter dari perumahan ini.
“Mbak tahu ngak muka temennya?”tanya Nania ikut nimbrung.
“Nggak tahu soalnya pakai masker, Nan,”jawab mbak Arum dengan kening mengkerut.
“Kira-kira temannya bawa apa aja pas ketemu sama mbak Dewi?”Nania terus memberikan pertanyaan seperti menginvestigasi.
“Cuma bawa tas ransel yang digendong. Pakaiannya hitam-hitam. Cuma maskernya aja yang putih. Kelihatannya dia kayak tinggi tapi kurus,”jelasnya mbak Arum sambil matanya berputar-putar berusaha mengingat-ingat.
“Kan aku bilang apa, Rin.” Nania menatap Rina yang masih menundukkan kepalanya, “Pasti ada seseorang yang membunuh mbak Dedew. Entah itu diracun atau dengan tangannya sendiri,”pungkasnya yang membuat Rina melongo dengan semua keganjilan yang disampaikan Nania atas penyebab kematian mbak Dewi yang begitu cepat dan tiba-tiba.
“Hussh…ibu yang lihat sendiri kemarin pas diperiksa polisi. Kamar Dewi bersih dari jejak penjahat. Dia gantung diri di kamarnya. Ada lilitan selendang di lehernya.” Bu Martin sebagai ibu kos yang melihat kejadian menyangkal Nania. Tapi tetap saja melihat kepribadian mbak Dewi tidak mungkin ia akan berani membunuh dirinya sendiri.
“Ah, nggak mungkin.”ucap Nania kemudian. Ia tetap tidak percaya.
“Kamu harus percaya sama kenyataan, Nania…Dewi itu nggak selamanya bisa alim dan shalehah. Bisa jadi, dia emang udah nggak kuat sama semua permasalahannya. Terus dia gantung diri,”sangkalnya Bu Martin dengan penuh penekanan, membuat mata Nania mendadak berkilat. Marah.
“Bu Martin kenapa tidak percaya dengan saya? Saya pasti akan meneliti kebenarannya!!”seru Nania dengan napas yang memburu.
“Halah orang kamu aja masih bau kencur. Sekolah aja belum lulus. Bisa apa, kamu?”ledeknya Bu Martin.
Nania benar-benar marah. Kenapa banyak orang yang meragukan kemampuannya. Nania mengepalkan tangan kuat-kuat. Nania harus ingat, Bu Martin adalah ibu kos yang telah menampungnyadirinya. Meski Bu Martin juga untung karena Nania harus membayar kos yang ia tempati itu. Nania menghela napas pelan. Menenangkan diri. Semua pasti akan terungkap kebenarannya. Tapi kalau diam saja, sama saja membiarkan kebenaran itu terkubur dan membiarkan semua seolah baik-baik saja.
“Sebenarnya bukan apa-apa sih… saya cuma mau meluruskan aja kalau yang dibilang Nania itu benar. Karena meskipun Dewi itu pendiam, dia orang yang baik dan terpelajar. Pasti bisa mengelola mentalnya jika terkena masalah.” Seorang ibu-ibu yang cukup akrab dengan mbak Dewi membela Nania.
“Hah, sudahlah ibu-ibu…kalian semua nggak usah repot-repot mikir alasan-alasan yang belum tentu benar dan ada buktinya. Semua sudah terjadi. Jangan memperpanjang masalah menjadi semakin runyam. Toh, orangtuanya Dewi juga nggak mempermasalahkan. Masak kalian yang bukan siapa-siapanya malah yang repot. Nanti kalau saya jadi ikut kena karena kasusnya, saya juga yang repot. Ibu-ibu mah seneng tinggal omong sana omong sini.”cibirnya bu Martin.
Emang bu Martin itu nggak pernah sekalipun berbicara dengan hatinya. Selalu aja masih mempertimbangakan untung dan rugi.
Setiap permasahan pasti ada buntutnya dan akan panjang jika ingin mengusutnya tapi setelahnya justru akan menimbulkan efek jera bagi penjahat dan hikmah bagi yang menyaksikan.
“Saya nggak ikut-ikutan, saya cuma mau takziah aja, ternyata jenazahnya udah dibawa ke kampung halamannya, yasudah saya pamit balik aja ya Bu Martin,” pamitnya seorang ibu yang asing bagi Nnaia. Belum pernah ia menjumpainya. Ah mungkin penghuni baru. Bu Martin hanya mengangguk dan membiarkan beberapa ibu-ibu juga turut berpamitan.
“Nan aku laper nih… beli sarapan keluar yuk,”bujuk Rina dengan raut melas. Nania mengangguk karena Nania juga lapar. Nania membawa Rina ke tempat biasa ia membeli makanan yang kemarin ketika ia mau ke sana tidak jadi karena hujan jadi penjualnya nggak jualan. Tempatnya lumayan jauh jadi harus pakai motor atau sepeda.
“Loh kok tutup lagi sih? Nek Jami kemana ya Bu kok nggak jualan?”tanya Nania kepada ibu-ibu pebjual es teh saat sudah sampai di tempat tapi Nek Jami yang biasa jualan itu tidak ada.
“Kurang tau dek, mungkin lagi sakit atau lagi ada urusan sama keluarganya,”jawab penjual es teh itu.
“Rumahnya emang dimana ya, Bu?”
“Rumahnya ada di gang nomor tiga dari sini. Kalau sini kan gang nomor satu. Nah, Nek Jami gang nomor tiga. Nanti rumanhya nomor 2 dari gang masuk.”Penjual es teh menjelaskan sambil menunjuk dan mengarahkan dengan jari telunjuknya
“Baik, Bu, terima kasih infonya. Saya pamit dulu.” Ibu penjual es teh itu tersenyum.
“Kamu mau ke rumah Nek Jami itu?” tanya Rina, Nania mengangguk.”Nggak makan dulu aja Nan, aku laper nih, makan dulu aja yuk nanti baru ke rumah Nek Jami itu,”bujuknya.
Kasihan juga kalau sampai Rina kelaparan, apalagi dia punya riwayat penyakit mag. Lalu Nania megiyakan tawarannya meski sebenarnya Nania sudah penasaran dengan keadaan Nek Jami yang diam-diam sudah ia anggap seperti neneknya sendiri. Berada di perantauan membuatnya menghampiri nek Jami yang pertama kali bertemu sudah membuatnya merasa menghangat dengan kota ini. Kota Jakarta.
“Kamu mau pesen apa?” tanya Rina saat sudah sampai di warung makan.
“Nasi soto aja sama teh anget,” jawab Nania, Rina langsung mencatatnya, Rina sendiri pesen nasi soto plus teh anget juga. Setelah itu dia kasih ke bapak penjualnya.
“Kok kamu kayak ngerasa kayak sedih gitu pas tadi Nek Jami nggak jualan, Nan? Kamu udah akrab banget ya sama Nek Jami?”ucap Rina sambil meletakkan dua gelas teh anget di meja. Nania mengambilnya dan meniup lalu menyeruputnya sedikit. Dia pun juga ikut menyeruput teh angetnya.
“Kalau akrab, nggak begitu akrab. Aku bahkan jarang ngobrol sama Nek Jami. Cuman aku selalu mendengarkan apa yang dia ceritakan, mendengarkan saat dia berceloteh sama pembeli lain, dan aku merasa Nek Jami seperti nenekku di kampung halaman, penuh kehangatan. Jadi, ketika aku di kota ini, dialah yang membuatku menghangat dengan kota ini,” ucap Nania yang diangguki pelan oleh Rina. Soto pun datang dan mereka memakannya dalam diam.
Nania berhenti dan mematikan mesin motor saat dirasa sudah sampai di rumah Nek Jami yang dimaksud ibu tadi. Rumah nomor dua dari gang nomor tiga. Rina turun dari boncengan lalu merapikan sedikit celananya. Nania pun turun, kemudian berjalan memasuki teras rumah. Rumahnya sungguh mengejutkan. Nania kira rumahnya sederhana ternyata cukup luas dan punya mobil juga motor. Apa Nek Jami itu aslinya orang kaya ya tapi cuman menyamar aja? Rumah ini rasanya mustahil dimiliki seorang nenek yang cuma penjual nasi dan sayur. “Assalamuallaikum…” Nania mengucap salam saat sudah berada di depan pintu. Rina masih mengamati sekeliling.
Rumahnya sungguh luas dengan teras penuh pot bunga dan dua pohon sawo yang belum berbuah. Ada kursi panjang di bawah pohon sawo yang rindang itu. Mungkin usianya sudah tua hingga bisa begitu rindang. Rina memegang dadanya saat ia melihat burung beo dalam sangkar yang digantung di dahan pohon sawo membelalakkan matanya dan menatap Rina yang terkejut. Burung beo itu langsung meloncat dan duduk di kayu yang di pasang di dalam sangkar.
Jami bodoh…
Jami lemah…
Nania ikut mencari sumber suara itu dan menemukan burung beo dengan fasih membeo kata-kata itu secara berulang-ulang. Nania paham itu burung beo jenis abu-abu Afrika yang dapat berbicara selayaknya manusia. Burung beo dapat berbicara seperti manusia karena ia mempunyai organ vokal yang disebut syrinx, dimana syrinx ini mirip dengan laring yang terletak di bagian atas trakea pada manusia. Syrinx inilah yang digunakan untuk mengucapkan bahasa manusia. Saat burung beo berusaha mengucapkan bahasa manusia, suaranya akan melewati tenggorokan dan mulut lalu dimanipulasi oleh lidah.
Nania sedikit mengernyit setelah menyadari sesuatu hal. Kenapa harus kata-kata itu yang keluar dari burung beo? Siapa yang mengajarinya? Mana mungkin Nek Jami yang mengajarinya. Pemikiran itu lalu buru-buru ia tepis.
“Assalamuallaikum… Nek Jami…” ucapku sekali lagi, kali ini lumayan keras.
Cklek
Rina segera mendekat menghampiri Nania saat pintu itu dibuka dan terlihat seorang lelaki cukup sangar karena di lengannya ada tato menatap Nania dengan sinis.
“Kenapa cari Nek Jami?”tanyanya dengan ketus.
Nania menelan ludah dengan berat, “Saya ingin tahu keadaan Nek Jami karena sudah dari kemarin tidak jualan.”
“Kamu ini siapa kok repot-repot nanya kabar Nek jami?”
“Saya pelanggannya Nek Jami.”
“Oh, dia sakit baru dibawa ke klinik tadi.”
“Emm, begitu ya, kira-kira sakit apa ya?”
“Biasa sakit tua,”
“Emm, kira-kira kapan ya pulangnya?”
“Mulai sekarang kamu jangan tanya-tanya lagi Nek Jami… Karena Nek Jami itu bukan pedagang tetap. Dia itu pembantu saya, ngerti?!! Kamu anak sekolah kan? Jangan suka ikut campur urusan orang lain. Lebih baik pulang sana. Kerjain PR. Jangan kelayapan! mau jadi apa kamu kalau masih kayak gitu?” cerocosnya laki-laki sangar itu.
Nania terkejut kalau Nek Jami ternyata pembantunya. Tapi setelah itu, Nania lebih kesal dengan sikap pria sangar yang mencurigai serta mencapnya terlalu ikut campur. Bagaimana mungkin aku tidak ikut campur kalau ternyata ketidakhadiran Nek Jami selama dua hari ini karena sakit. Bagiku Nek Jami adalah nenekku yang membuatku merasa betah di Jakarta meski jauh dari orangtua.
“Mohon maaf Pak jika teman saya mengganggu kenyamanan Bapak. Teman saya cuma ingin tahu keadaan Nek Jami, karena dia rindu masakan Nek Jami,”kata Rina dengan penuh kesabaran saat Nania dan laki-laki sangar itu mulai saling emosi.
“Dia baik-baik saja… kalau kamu kangen dengan masakannya itu bukan urusan saya ya. Itu urusan kamu sendiri!!”balasnya dengan sengit lalu masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.
“Aku nggak nyangka kalau Nek Jami yang udah setua itu masih mau jadi pembantu orang galak dan nyebelin, pakai tato, sangar lagi,”umpat Nania yang hanya direspon wajah sedih oleh Rina.
“Aku jadi khawatir kalau Nek Jami mengalami penyiksaan,” tambah Nania dengan praduganya.
“Ngeri ah, yuk balik aja,” ajak Rina dengan wajah sedih bercampur takut.
Nania menggeleng kepala heran dengan sikap Rina yang penakut ini. Nania naik motor dan menghidupkan mesinnya. Lalu Rina segera membonceng. Saat akan keluar gang nomor tiga Nania berpapasan dengan seorang wanita usia dua puluhan mungkin sepantaran dengan kak Dewi membonceng Nek Jami di belakangnya. Nania memperlambat kecepatan dan melihat raut muka Nek Jami seperti sedih dan kayak ada tangis dari raut wajahnya yang sedih itu. Oh Nek Jamiku… apa ada yang membuatmu begitu tersakiti dan mengalami kesulitan?
Dengan terpaksa Nania mengabaikan Nek Jami. Ia harus menahan rasa keingintahuannya. Dalam hati ia berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup Nek Jami.

Bình Luận Sách (2064)

  • avatar
    Shalifa Hanisa

    ceritanya bagus banget. bikin gue trsnyum sorang terus🤭 #please sambungkan jalan critanya..i'm curious so much🥺 #❤️🇲🇾

    24/01/2022

      0
  • avatar
    TamadaniMuhamad

    10p jt

    14d

      0
  • avatar
    Rati Ya

    cerita nya bagus

    16d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất