logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 13 POV YANTI (2)

'Kamu dimana Yu?'
Aku masih celingukan mencari Yu Sari. Barangkali saja dia repot di dalam, hingga tidak menyadari kalau aku sudah datang.
Satu per satu kamar yang berjajar, membuatku melongokkan kepala ke dalam. Sekedar melihat, mungkin Yu Sari ada di dalam. Hingga sebuah suara mengagetkanku.
"Mbak ... dipanggil Ibu Mira ke depan."
Aku menoleh ke asal suara itu, bocah laki cilik yang tadi memperhatikanku. Aku pun bergegas ke depan.
"Yanti, Ibu mau minta tolong belikan tas plastik kecil di warung sebelah," perintah Bu Mira sambil memberiku selembar uang lima ribuan.
Aku pun memenuhi perintahnya. Kutengok kanan kiri untuk mencari keberadaan warung tersebut. Tak lama netraku menangkap warung bernuansa biru yang terletak di sebelah kanan, empat rumah dari panti.
Aku melangkahkan kaki menuju warung tersebut. Ketika sampai di warung itu, sang pemilik mengawasiku dengan seksama.
"Mau beli apa?" tanya Ibu pemilik warung.
"Plastik kecil putih, Bu."
"Kamu anak panti baru ya?" tanya Ibu tadi sambil menyerahkan pembelianku.
"Saya adiknya Yu Sari, Bu. Datang dari kampung," jawabku. Ibu itu tampak kaget mendengarkan jawabanku.
"Lho kenapa kamu ke sini? Padahal si Sari da kabur dari situ?"
"Apa Bu? Yu Sari ka-bur?" tanyaku dengan terkejut.
"Ssttt! Jangan keras-keras, nanti Bu Mira ikut dengar. Ibu itu memperingatiku, dengan satu jari yang diletakkan di atas bibirnya. Aku pun mengecilkan suaraku.
"Ya, Sari kabur, nanti aku bilang padanya, kalau kamu ada di sini. Catat nomer hapemu di situ," desak Ibu warung sambil memberiku kertas dan bulpen.
Aku segera mencatat nomer hapeku di selembar kertas yang diberi Ibu warung. Lalu memberikannya kembali. Ibu itu membaca sepintas, lalu menyimpan ke dalam selorokan mejanya.
"Berapa plastiknya, Bu?"
"Tiga ribu, Nak. Eh iya, kamu jangan bilang tentang pembicaraan kita tadi ya. Saya takut Bu Mira mencak-mencak sama saya," pesannya.
"Iya Bu," jawabku sambil menerima kembalian darinya. Lalu segera balik ke panti.
Kulihat Bu Mira sedang menelepon seseorang, kuletakkan saja plastik dan kembalian di sampingnya. Bu Mira hanya tersenyum dan menyuruhku masuk ke dalam.
"Pokoknya cari anak itu, aku tidak tahu bagaimana caranya. Ini yang satu di sini."
Lamat-lamat kudengar pembicaraan Bu Mira dari balik sekat ruang tengah yang terhubung dengan ruang tamu.
'Apa yang dimaksud dengan pembicaraannya tadi itu, ada sangkut pautnya denganku?'
Niatku ingin ngumpul bersama Yu Sari, tapi kenapa malah jadi begini. Kenapa juga Bu Warung tadi bilang, kalau Yu Sari kabur dari sini? Kenapa? Ada apa sebetulnya?
Kudengar suara sepatu mendekatiku, aku berpura-pura melihat televisi yang menyala.
"Nanti malam di rumah ya, Ibu mau pergi sebentar. Kalau mau makan, makan saja. Gak usah nungu Ibu pulang."
Aku hanya mengangguk, beliau berlalu meninggalkanku. Selanjutnya kujalani hari-hari sunyi tanpa ada teman bicara.
Ibu Mira mendaftarkanku di sebuah sekolah yang dekat dengan panti. Tiap hari kutempuh dengan jalan kaki, kadang juga naik sepeda pancal milik Pak Tekno tukang kebun Ibu.
Hingga suatu sore, Yu Sari menitipkan sepucuk surat pada Ibu warung. Untuk membacanya, aku menunggu semua orang tertidur di rumah ini. Takut Ibu panti memergoki.
'Kamu kenapa bisa sampai di panti? Kenapa ketika mau pergi tidak bilang dulu ama aku. Ini nomer telponku 081******800. Sari.'
Begitu menyalin nomer Yu Sari, aku pun meneleponnya. Tapi tidak diangkat. Mungkin karena sudah jam 12 malam. Lalu kucoba mengiriminya lewat pesan WA.
[Ini aku Yu, Yanti]
Karena lama tidak terbalas, aku pun terlelap tidur. Hingga siangnya pas jam istirahat, Yu Sari menghubungiku.
"Kamu ada di mana Yu?"
"Aku sekarang kerja di warung kopi dekat terminal sebelum masuk panti. Tapi kamu diam ya."
"Kamu kenapa keluar dari panti gak bilang aku, Yu?"
"Kamu itu yang bodoh! Kenapa gak bilang dulu kalau mau ikut aku. Aku aja kabur, kamu malah masuk."
"Terus gimana Yu?"
"Kamu tunggu aja. Aku ini cari uang buat ongkos pulang, mau cari bantuan sama saudara Bapak."
"Ya aku tunggu."
Yu Sari pun memutuskan sambungan teleponnya. Aku tidak menulis nama kontak Yu Sari dengan nama aslinya. Tapi kuganti dengan nama teman sekolahku. Takut Ibu panti mengeceknya.
Hingga suatu hari kemudian sebuah pesan masuk dalam Instagramku. Seorang perempuan cantik, yang mengaku tanteku. Wanita itu memastikan bahwa aku orang yang dicarinya.
Dia juga meminta nomer handphoneku, lalu melalui Whatsapp kami pun melakukan video call. Beliau bilang namanya Tante Aira, adik ipar Ayahku. Jadi suaminya Om Alif itu adik Ayahku yang bernama Hendro.
Tante Aira bilang bahwa Ayahku sudah meninggal, tetapi anehnya aku tidak sedih sama sekali. Bagiku, dia sudah lama mati bersama kepergian Bundaku.
Karena sejak itu, Ayah memang tidak pernah menengokku sama sekali. Bahkan terkesan aku ini bukan anak siapa-siapa. Tak ada seorang pun yang memperdulikan perasaanku. Kala sedih pun, aku hanya menelannya sendiri.
Makanya ketika Nenek memarahiku karena kenakalanku, aku merasa bahagia. Karena hanya Nenek yang sangat menyayangiku. Aku tumbuh menjadi pribadi yang acuh, tak mengenal apa itu empati. Bagiku, sendiri itulah duniaku.
Dan ketika Tante Aira bilang akan menjemputku, sedikit ada harapan agar terbebas dari panti. Di panti aku diperlakukan bagai sebuah barang. Diajak anjang sana-sini, untuk mendapatkan belas kasihan orang. Tentunya dengan menjual ceritaku dari Ibu panti tentang nasib malang yang kualami.
Hari itu pun tiba. Sepasang suami istri dari keluarga Ayah datang menjemputku. Meskipun pada awalnya mereka harus melalui perdebatan sengit dengan Ibu panti. Dari yang aku lihat Om dan Tanteku adalah orang berpendidikan tinggi, karena terlihat dari percakapan mereka bersama Ibu panti yang menyalahkan kenapa bisa menampungku, padahal keluarganya masih ada.
Malam itu juga aku pulang bersama keluarga baruku. Di sini semua serba tersedia. Aku juga dimasukkan dalam sekolah islam yang memiliki akreditasi bagus. Tidak seperti sekolahku sebelumnya.
Masalah mulai timbul, ketika aku tidak bisa lagi melakukan keinginanku seenak hati. Di sekolah aku bercerita bahwa aku yatim piatu. Aku bilang tinggal di rumah besar, warisan orang tuaku. Aku juga menceritakan, Tante dan Om itu sebagai pelayanku, yang karena belas kasihanku mereka kuijinkan tinggal di rumah itu.
Untuk membuat aku semakin disukai teman-teman, aku sering mentraktir mereka makan di kantin. Dan uangnya kuambil dari uang pembangunan yang diberikan Tante kepadaku. Uang SPP pun ikut terembat habis, mengikuti pola hidupku yang foya-foya. Tetapi Tante masih belum tahu akan hal ini.
Semua aku manipulasi dengan kecerdikanku. Kesibukan Tante yang padat, membuat dia tidak pernah cermat dengan bukti pembayaran yang kuberi. Padahal itu bukti milik temanku, tapi sengaja aku buat buram agar tidak terbaca nama yang tertera di situ.
Hingga akhirnya hidupku hancur-sehancurnya. Aku pun akhirnya melakukan pinjaman uang di sebuah aplikasi online. Juga ikut arisan di salah satu temanku, dengan alasan Tante yang ikut. Di depannya aku memanggil Ibu, di belakang ya tetap Tante-lah.
Aku menjual namanya dan menjelek-jelekkannya dihadapan semua teman-temanku. Aku juga bilang, harta orang tuaku dihabiskan mereka. Sehingga kini aku menjadi miskin.
Aku tidak tahu kalau hari ini Tante berkunjung ke sekolahku. Tiba-tiba saja Bu Diah sudah mengajakku ke ruangan BK. Ternyata di situ sudah ada Bu Kus bagian TU. Lagi-lagi beliau menanyakan masalah keterlambatan pembayaran uang pembangunanku.
Dan untuk menghindari pertanyaan yang rumit, aku terpaksa menjelek-jelekkan Tanteku. Mau gimana lagi, sebab aku sudah tidak bisa membuat alasan. Yang lebih mengejutkan, Tanteku ternyata telah mendengar semua alasan yang aku kemukakan pada kedua guruku itu.
'Habislah sudah riwayatku.'

Bình Luận Sách (79)

  • avatar
    BagusSatria

    bagus benget...

    23d

      0
  • avatar
    FadilahFadilah1933

    sangat tidak mungkin

    25d

      0
  • avatar
    Rindi Yani

    baguss KA ceritanya

    29d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất