logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 12 POV YANTI (1)

Aku masih berusia dua tahun kala itu, Bunda meninggal karena seringnya mengkonsumsi obat pengurus badan. Ayahku yang sering bermain-main dengan perempuan cantik. Membuat Bundaku terobsesi untuk kurus.
Namaku Sri Damayanti sedang kakakku Sari Kusumaningrum, kami hanya dua bersaudara. Ketika Bunda meninggal usia Yu Sari sudah lima tahun. Dia mengingat betul paras Bunda yang tidak pernah aku kenali. Aku hanya dapat mengenali wanita itu, pada foto yang sudah memudar warnanya.
Setelah Bunda meninggal, kami berdua diboyong Nenek untuk dirawat di desa. Namun tak lama kemudian, Ayah menjemput Yu Sari turut bersamanya. Waktu itu, Nenek bagiku adalah segalanya.
Nenek sangat memanjakanku, bahkan jika tidak dituruti tak segan aku akan melempar dengan sandal terompah kayu miliknya. Terkadang pula, aku menangis meraung-raung, hingga terpaksa Nenek mengabulkan.
Setiap pergi ke sekolah, aku akan melakukan mogok berangkat sebelum diberi uang saku yang banyak. Sementara Nenek hanyalah seorang buruh tani yang sudah renta. Tenaganya saja bahkan sudah terbilang sangat lemah.
Bi Atun adalah adik almarhummah Bundaku, beliau juga sangat menyayangiku. Tak jarang, ketika Nenek tidak punya uang, aku akan mendatangi rumah Bi Atun untuk sekedar minta uang. Setelah dapat, baru pulang.
Sepulang sekolah, aku masih bermain di sawah hingga seragamku pun tak lagi berwana putih, tetapi jadi coklat tanah. Karena banyaknya lumpur yang melekat dan sengaja aku biarkan.
Sering pula aku sengaja mengambil uang Nenek secara sembunyi-sembunyi. Kemudian pergi ke warung untuk membeli semua jajan yang kuinginkan. Anehnya, Nenek tidak pernah menegur. Paling dia hanya bertanya, dari mana dapat jajan banyak. Aku jawab dikasih orang. Nenek pun percaya akan hal itu.
Kebohongan yang aku ciptakan sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi kebiasaan bagiku. Bahkan jika sehari tidak berbohong, seperti ada yang kurang. Hingga membuatku menirukan akting bintang film di layar televisi.
Setelah Yu Sari pergi, aku tidak lagi pernah mendengar kabar beritanya. Bibi bilang, jika Ayah mengajak kakakku itu untuk tinggal bersama Ibu tiri yang baru.
Menginjak SMP, aku masih sering melakukan kebohongan-kebohongan. Kali ini malah parah, berkali-kali kuminta Nenek uang dengan alasan membeli buku ini dan itu.
Nenek percaya saja, karena memang dia itu bodoh, jadi aku manfaatkan sekalian. Uang hasil kebohonganku itu, untuk membeli baju atau pun kosmetik agar tidak kalah dengan teman-teman sekolah.
Terkadang mereka sampai heran juga, bagaimana Nenekku yang tua renta dan hanya seorang buruh tani, bisa membelikan barang-barang yang cukup mewah. Tentu saja aku beralibi, bahwa bibi 'lah yang membelikan barang-barang mewah tersebut.
Tak terasa kelulusan sudah di depan mata. Ijazah pun sudah keluar meskipun nilaiku sangan pas-pasan. Secara tak sengaja, Yu Sari pulang ke desa bersama salah seorang anak Bibi yang sudah bekerja di kota.
Yu Sari bercerita dia tinggal di panti asuhan 'Kasih Sayang' yang berada di pusat kota. Dia juga memberikan alamat panti asuhan tersebut. Aku lalu menyimpannya. Dia juga bercerita keindahan kota serta enaknya tinggal di panti itu bersama teman-teman yang sebaya.
Hingga hari itu Yu Sari pulang kembali ke kota bersama anak dari Bibiku. Berhari-hari, cerita Yu Sari membuat tak nyaman tidur dan tak enak makan. Siang malam dihantui indahnya kehidupan seperti yang Yu Sari ceritakan.
Tiga bulan setelah itu, aku pun memutuskan untuk mencari Yu Sari. Namun sebelumnya, aku memastikan nomer yang tertera adalah benar nomer Ibu Panti yang akan menampungku nanti.
Setelah semuanya benar, aku mulai melancarkan aksiku. Hari itu aku meminta Nenek untuk memasangkan kalung pemberian Bibi yang merantau di Malaysia. Nenek pun tak keberatan, lalu aku pamit menghadiri kondangan teman kampung sebelah.
Sepulangnya dari kondangan, aku berpura-pura kehilangan kalung tersebut. Pipiku sudah kutampar sendiri, untuk membuat kesan aku dianiaya orang. Baju usang ini, juga sengaja kurobek . Agar semakin sempurna sandiwara yang tercipta.
Dari ujung gang, aku sudah berakting menangis sedahsyat mungkin, seperti korban perampasan perhiasan. Padahal waktu itu, sengaja kulepas kalung itu sendiri lalu menyembunyikannya di tempat yang paling aman.
"Neneeeekkk! Aku dirampok!" teriakku dengan menjerit-jerit mengundang semua orang untuk melihat ke luar rumah.
"Ada apa, Yan? Dirampok di mana?" tanyanya denga tergopoh, sambil menjinjing jarik usang yang telah memudar
Jika tika tidak dalam keadaan bersandiwara, pasti aku akan tertawa ngakak karena melihat ulah Nenek yang sangat lucu. Sayangnya sedang akting.
"Sudah, gak pa pa, Yang penting kamu selamat," ucap Nenek memelukku.
Dalam hatiku, sempat terbersit untuk mengatakan keinginan ikut Yu Sari ke kota. Namun, melihat tubuh renta dan mata yang mulai merabun itu, aku jadi tidak tega.
Hingga suatu siang, sebuan nomer tertera melakukan panggilan masuk ke handphoneku. Sebuah nomer tanpa nama, tetapi tetap kuangkat karena rasa penasaran yang mendominasi.
"Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumsalam ...."
"Apa benar dengan Yanti ini?"
"Ya benar, dari mana ya?" tanyaku antusias.
"Hai Mbak, ini Ibu Panti Kasih Sayang."
"Jadi gimana? Apa kamu jadi tinggal bersama kami?"
"I-iya, Bu. Mau saya, ta-pi, saya tidak tahu jalan."
"Share lock lokasimu! Jika sudah dekat, saya akan menghubungimu."
Setelah memutuskan percakapan, aku langsung membereskan beberapa helai pakaian yang hendak kubawa. Tak lupa juga ijazah, akta kelahiran dan surat penting lainnya. Kebetulan rumah dalam keadaan sepi, karena Nenek pergi menengok cicitnya yang baru lahir di kampung sebelah.
Tiga jam kemudian, mobil yang menjemputku sudah menunggu di tempat yang telah disepakati. Kami janjian agak jauh dari rumah Nenek agar tidak diketahui oleh orang-orang termasuk tetangga Nenek.
"Mbak Yanti ya?" tanya wanita cantik terawat ke luar dari mobil mewah.
Aku mengangguk ragu menerima uluran tangannya. Lalu dia membawaku masuk ke dalam mobilnya. Perlahan mobil melaju meninggalkan kampung halaman.
"Sudah pamit Nenek tadi?" tanya Ibu Panti memecah keheningan di antara kami.
"Sudah, Bu," jawabku singkat tak berani menatapnya. Aku takut kalau Ibu itu tahu akan kebohonganku.
"Semoga nanti kamu betah tinggal bersama saya. Oh ya, nama saya Ibu Mira," ucapnya dengan mengulurkan tangannya. Aku pun menjabatnya untuk kedua kali.
"Sri Damayanti."
Perjalanan terasa begitu cepat. Hiruk pikuk kota sempat membuatku kebingungan. Memasuki sebuah bangunan yang bertuliskan PANTI ASUHAN KASIH SAYANG, sedikit membuatku mengulas senyum.
Setidaknya kali ini ada Yu Sari bersamaku. Jadi aku akan lebih mudah beradaptasi di sini. Setelah turun dari mobil, Ibu Mira menyuruh masuk lewat lorong di samping aula besar.
Kuedarkan pandanganku, untuk mencari sosok yang aku rindukan. Tetapi, sampai kamar paling ujung tetap saja tidak ada. Hanya seorang bocah kecil kira-kira berusia 10 tahun, berdiri dari jauh sedang menatap diri ini dari tadi.
Aku mengulas senyum padanya, tapi bocah itu melengos tak memperdulikanku. Padahal aku mau bertanya tentang Yu Sari.
'Ah, kamu di mana sih Yu?'

Bình Luận Sách (79)

  • avatar
    BagusSatria

    bagus benget...

    23d

      0
  • avatar
    FadilahFadilah1933

    sangat tidak mungkin

    25d

      0
  • avatar
    Rindi Yani

    baguss KA ceritanya

    24/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất