logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 11 RENCANA BUSUK YANTI (1)

Pagi ini aku berencana menemui Bu Diah di YP. Islamic Modern tempatku dulu menimba ilmu. Sekaligus mengantar kue yang dipesan beliau beberapa hari lalu.
Sekitar jam 09.30 aku sudah meluncur membelah keramaian lalu lintas yang begitu padat. Tiba di sana sudah masuk jam istirahat, dengan gegas kuseret langkahku ke ruang guru.
"Ini Aira ya?" tanya Pak Bandrio guru ekonomiku dulu di kelas 11. Aku menyalami nya dengan penuh hormat.
"Kok masih ingat saya, Pak?" tanyaku dengan bangga.
"Ya pasti Bapak ingat kamu. Sekretaris Bapak yang paling pandai kamu itu,"pujinya padaku. Aku merasa tersanjung dibuatnya.
"Terima kasih banyak, Pak. Berkat didikan Bapak, kini saya bisa seperti ini."
"Jangan salah Pak, muridmu itu pengusaha sukses lho biarpun perempuan gitu. Wanita multitalenta," ujar Bu Diah sudah bergabung bersama kami di depan ruang kesiswaan. Aku pun bergegas salim kepada beliau juga.
"Wah Ibu ini, jangan bikin kepala saya jadi tambah besar," jawabku malu.
"Lha memang betul kok. Pinter masak, pinter usaha, malah sekarang jadi penulis. Wow keren banget itu," ujar Bu Diah membeberkan kesibukanku.
"Mengisi waktu luang Bu, Pak. Masa depan kami masih panjang. Apalagi anak saya berencana kuliah di Farmasi. Butuh modal besar."
"Hebat ... hebat ... Ya sudah, Bapak tinggal dulu. Ada kelas soalnya," pamit Beliau sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku kembali mencium tangannya.
"Ini Bu pesanannya," kataku sambil menyerahkan tote bag yang kubawa. Bu Diah menerimanya dengan tersenyum.
"Terima kasih ya, sudah mau direpotin sama Ibu," balasnya sambil memberiku selembar uang pink.
"Buat Ibu saja, saya masih muda. Insya Allah masih punya banyak kesempatan buat cari rejeki lagi," ucapku sambil mendorong tangan beliau untuk menyimpan uangnya kembali.
Lagi, Bu Diah tersenyum padaku. Mengamit tanganku masuk ruangan BK lalu mengajak duduk.
"Ibu boleh tanya sedikit?"
"Dengan senang hati Bu, tentunya."
"Murid baru di kelas 12 IPA itu, ponakanmu 'kah?"
Aku mengerutkan dahi, tak lupa menganggukkan kepalaku membenarkan pertanyaan beliau.
"Ada apa, Bu?" tanyaku pada akhirnya.
"Apa betul, Aira ada janji kekurangan pendaftaran akan dibayar sebulan yang lalu pada Bu Kus?"
"Iya saya memang janji begitu waktu itu. Malah saya membayarnya satu minggu sebelum hari H."
"Masalahnya Bu Kus bilang, uang itu belum terbayar hingga saat ini."
Sontak mataku terbeliak lebar, selain kaget juga bingung. Kenapa sampai belum terlunaskan.
"Tapi Bu, saya sudah bayar lunas lho. Malah waktu itu, saya simpan bukti lunasnya."
Tanganku segera membuka tas yang kubawa. Mencari bukti slip yang pernah kuterima dari Yanti.
"Kok gak ada ya, Buk. Lupa saya taruhnya," ucapku sambil terus membolak-balik isi di dalam tasku.
"Siapa yang kamu suruh bayar waktu itu?" tanya Bu Diah.
Bibirku sudah gemetar dan marah menyebut nama anak itu. Apalagi mengingat kejadian kemarin.
"Yanti Bu," jawabku pasrah.
Ya, aku masih ingat. Waktu itu kumasukkan ke dalam amplop coklat agar tidak hilang.
'Ya Allah ... kenapa jadi begini?'
Uang dua juta tujuh ratus itu sangat besar bagiku. Apalagi itu murni uang hasil kerjaku. Aku sama sekali tidak meminta Mas Alif suamiku.
"Jangan-jangan, uangnya dipakai sama ponakanmu," tebak Bu Diah.
Pening di kepalaku makin bertambah, bagaimana jika yang dibilang Bu Diah benar. Duh, malunya diri ini. Sebagai alumni, tentu saja perbuatan Yanti mencoreng nama baikku.
Aku bersandar lemas pada kursi yang kududuki. Bu Diah mengulurkan segelas air mineral. Aku meminumnya seteguk, sekedar membasahi kerongkongan yang tiba-tiba jadi kering.
Bu Kus tampak masuk dengan sedikit menelengkan kepalanya ke arah kami. Mungkin sedang memastikan, betul aku apa tidak begitu.
Beliau lalu duduk di samping Bu Diah dengan membawa buku besar bersampul merah. Membolak balik beberapa lembar, lalu mengarahkan ke hadapanku.
Aku membuang napas kasar, sekedar melepas beban yang akhir-akhir ini kupendam sendiri. Lalu membaca lembaran yang telah ditandai dengan stabilo warna pink. Di sana tertera Sri Damayanti, belum membayar kekurangan uang pembangunan berikut iuran bulanan selama tiga bulan.
"Bagaiaman bisa Bu, uang pembangunan sudah saya kasih kepada Yanti. Bahkan dia memberi saya slip lunasnya. Kalau bukti iuran bulanan, saya memang tidak menerimanya. Tapi dia menunjukkan kertas yang buat bayar itu saja. Karena di sana tertera tanda tangan Bu Kus," jelasku agar tidak ada yang salah paham.
Bu Kus dan Bu Diah saling berpandangan setelah mendengarkan penjelasanku.
"Apa perlu dipanggil sekarang, Bu?" usul Bu Diah ke Bu kus.
"Panggil saja Bu, saya ingin dengar apa alasan anak itu. Takutnya kalau kita rencanakan malah dia berkelit lagi," selaku.
"Tapi tunggu bentar. Sekarang ada pelajaran Pak Hadi, khawatir ada ulangan di kelas Yanti," ujar Bu Kus selaku TU.
Nampak beliau sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sejenak kemudian terlihat sudah selesai.
"Aman, ga ada ulangan kok," terang Bu Kus.
Bu Diah beranjak keluar ruangan. Aku diajak Bu Kus masuk ke ruang yang bersekatan dengan ruang depan.
"Kamu tunggu di sini, bentar. Nanti Ibu kasih kode buat keluar, ok?"
"Siap!" jawabku tidak sabar, sambil menghempaskan bokongku yang sudah terasa panas.
"Yanti, kapan yang mau bayar kurangan uang pembangunan?"
Kudengar dari balik sekat ruangan ini Bu Kus menanyai Yanti. Segera kunyalakan rekaman recorder yang ada di androidku.
"Itu Bu, tunggu Ibu punya uang dulu. Sebab masih libur jualan karena adanya pandemik. Nanti kalau Ibu sudah jualan lagi, saya akan minta uang," ucap Yanti.
"Lho ... waktu itu Ibumu sudah janji mau bayar bulan yang lalu. Kok bisa ingkar?"
"Kan saya sudah bilang Ibu lagi gak jualan. Saya saja tidak pernah dikasih uang saku Bu. Berangkat sekolah juga jalan kaki. Pulangnya nebeng teman."
"Owh jadi gitu?"
"Malah Ibu sampai hutang ke saya buat makan," terang Yanti.
"Hutang berapa saya ke kamu yang buat makan?" tanyaku yang membuat Yanti sampai terkejut hingga terlonjak dari tempat duduknya.
Matanya mendelik melihat tak percaya ke arahku. Sampai dia mengusap matanya berkali-kali untuk memastikan.
"Ibuk!" pekiknya lirih menyadari keberadaanku.
"Mau bilang apa lagi kamu sekarang?!" hardikku tak lagi memperdulikan ke-dua guruku yang sekarang juga menjadi gurunya.
"Tega kamu ya, Nak. Berapa kali saya bilang sama kamu? Hati-hati soal uang, jangan sampai tergelincir karenanya. Kalau sudah begini, bagaimana?"
Yanti masih terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Apa harus saya ingatkan siapa kamu? Dan dari mana kamu saya ambil? Apa tidak punya rasa kasihan dihatimu, melihat kedua orang tuamu yang sudah meninggal? Tapi masih terbebani kamu yang kurang ajar ini?" cecarku padanya.
Yanti tetap terdiam dengan isak yang lirih. Sementara Bu Kus menenangkanku. Bu Diah tampak membujuk Yanti agar mau mengakui kesalahannya.
'Jangankan mengakui, meminta ma'af setelah berbuat salah saja tidak pernah. Apalagi mau ... ah, kenapa Allah memberiku titipan anak yatim piatu seperti dia?'
"Uangnya saya buat makan, Bu Diah. Sebab, Ibu jarang masak di rumah."
Aku benar-benar terkejut mendengar penuturannya. Sampai tangan ini sudah gemetar ingin menamparnya. Bu Diah juga tampak terkejut dengan jawaban Yanti. Kecuali Bu Kus yang tetap terlihat tenang. Karena memang beliau tidak berteman di WA denganku.
'Salah orang kamu, Nak!'
Karena nyatanya Bu Diah juga menyimpan kontakku. Beliau juga sering melihat postingan anak-anak dan juga kegiatanku.
Malah terkadang beliau juga mengomentari statusku. Anak ingusan ini, rupanya punya rencana busuk untuk mencoreng namaku di alumni sekolah.

Bình Luận Sách (79)

  • avatar
    BagusSatria

    bagus benget...

    23d

      0
  • avatar
    FadilahFadilah1933

    sangat tidak mungkin

    25d

      0
  • avatar
    Rindi Yani

    baguss KA ceritanya

    24/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất