logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Indonesian Ski Day

“ Ra, kamu dapat tugas nari di Friendship Party undangan dari Wada - San. Mau kan?” Mas Agus , kawan satu negara mengkonfirmasi nya ketika tak sengaja berpapasan di lobi. Setiap akhir musim dingin, di akhir bulan Februari pemerintah kota Ojiya di Niigata Prefecture memang selalu rutin mengadakan friendship party dimana para mahasiswa dan pendatang dari beberapa negara berkumpul, dan mengenalkan kebudayaan masing - masing. Tahun lalu Indonesia mementaskan tarian Sajojo.
“ Tari apa jadinya Mas?” 
“ Zapin katanya , tapi masih tentative. Tergantung vote yang lain “ 
" Emang kapan hari H nya?” 
" Akhir Februari tanggalnya belum pasti , nanti mungkin kita latihannya hampir tiap hari buat ngejar. Kang Gena yang latih.Eh iya Indonesian Ski Day itu minggu depan , kamu ikut kan? Rencana di Joetshu Kokusai Ski Resort” info Mas Agus.
" Ikut lah Mas ,main ski atau snowboard mah nomor ke sekian yang penting foto - foto dulu “ seloroh Nara. 
“ Ya udah , cuma infoin itu aja . Duluan yak “ Mas Agus melambaikan tangannya tanda pamit. Nara membalas lambaian tangannya dan segera melanjutkan langkah ke arah perpustakaan. Beberapa kawan yang tengah menunggu bus IUJ nampak melambaikan tangan kepadanya yang di balas dengan senyuman oleh gadis yang hari itu memakai kerudung peach. Sampai di lobi perpustakaan didorongnya pintu kaca dan udara hangat efek dari pemanas ruangan terasa membelai pipinya. Dia mengedarkan pandangan pada lobi perpus yang tidak begitu ramai akan hilir mudik para mahasiswa.Tak jauh dari tempatnya berdiri ,matanya menangkap sosok familiar tengah duduk di kursi panjang diapit oleh beberapa mahasiswa perempuan berwajah Asia. Kalau tidak salah inget  itu mahasiswa - mahasiswa first years dari negara Vietnam. Nara berusaha mengabaikan tangkapan netranya dan melanjutkan langkahnya menuju ke dalam perpustakan. 
IUJ library yang terkenal dengan MLIC ( Matsushita Library & Informasi Centre ) . Perpustakaan yang merupakan hibah dari Matsushita Electric Industrial Co.,Ltd.MLIC memiliki peran ganda sebagai perpustakaan dan pusat informasi. Nara memindai jejeran rak - rak cokelat yang berjejer rapi dan Instagramable di hadapannya. Spot favorit para mahasiswa untuk berpose.
Nara segera menyeret kakinya menuju meja baca yang menghadap jendela kaca. Di tariknya salah satu kursi berwarna biru. MLIC masih sepi di pagi hari. Hanya terlihat lalu lalang satu dua mahasiswa. Pemandangan diluar kaca di dominasi serba putih di area belakang perpustakaan. Beberapa meter di depan matanya, pohon - pohon pinus yang di selimuti salju tebal nampak gagah berdiri di antara gedung - gedung tinggi bangunan kampus. Nara meletakkan tasnya di meja dan kemudian menelungkupkan kepala di sisi meja hingga dia bisa melihat ujung sepatunya. Niat hati dia ingin mencari bahan kuliah Prof Park , tetapi rasa tidak enak tiba - tiba menjalarinya .Ada rasa kesal sedikit , tapi entah karena apa dan untuk apa ? Rasa kantuk lambat - lambat menyerang Nara. Membuat gadis itu tanpa sadar memejamkan matanya di sudut perpustakaan yang sepi . 
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Prof Lim menangkap bayangan sosok yang akhir - akhir ini familiar di hidupnya , Dinara. Kerudung warna peachnya menarik perhatian. Dia ingin beranjak dari duduknya, kemudian menyongsong gadis itu yang baru saja membuka pintu loby MLIC. Tapi beberapa mahasiswanya yang berasal dari Vietnam masih menahannya untuk memberi pengarahan matakuliahnya. Dan Dinara melewati tempat duduknya begitu saja tanpa menyapa. Setangkup rasa kecewa menyisip di hatinya. 
Setengah jam kemudian dia menghembuskan nafas lega ketika mahasiswa - mahasiswa itu pamit kepadanya. Dia segera menuju ke dalam perpustakaan yang merangkap pusat informasi itu. Disisirnya setiap sudut dengan ekor matanya. Pelan - pelan dia berjalan di antara rak - rak yang berbaris dengan rapi. Beberapa mahasiswa yang berpapasan tersenyum dan menyapa. Hanya dijawab sekedar saja. Prof Lim bernafas lega ketika di deretan meja baca , gadis yang di carinya nampak menelungkupkan kepala. Dia mendekat ke gadis itu , dan berdiri di sampingnya. Satu tangannya dia masukan ke dalam saku sementara tangan lainnya menggenggam kopi kaleng yang kehangatannya sudah menghilang. Hingga lima menit gadis itu tidak bergeming,senyum Prof Lim terulas geli saat dia menyadari bahwa gadis yang dia cari tengah tertidur. Dia menarik kursi biru dengan pelan, kemudian duduk di samping Nara. Kopi kaleng yang masih tersegel dia letakkan di meja.
Dikeluarkannya kindle dari saku kemeja untuk melanjutkan membaca jurnal yang terpending tadi pagi. Matanya kemudian fokus memindai layar 8inc di genggaman. Hingga 40 menit kemudian berlalu dan tidak ada tanda - tanda gadis di kursi sampingnya bergerak. Prof Lim melirik jam tangan di pergelangan. Dia ada janji dengan seniornya yang tengah berkunjung ke kota sebelah. Dengan enggan dia menyimpan kembali kindle miliknya kemudian bangkit berdiri. Prof Lim termenung sesaat dan kemudian memindahkan kopi kaleng ke samping kepala Dinara. Berharap ketika gadis itu membuka mata akan meminumnya karena dia tahu satu jam lagi Dinara ada kelas Prof Nakamura.
Tak berapa sejak Prof Lim meninggalkan MLIC, Nara mulai membuka matanya. Sunyi dan hangatnya perpustakaan membuatnya nyaman terlelap. Mata Nara menangkap sebuah kopi kaleng di dekanya. Dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tak ada siapapun yang di kenalnya sedari tadi kecuali, Prof Lim. Kesadarannya langsung penuh, terbit seulas senyum di bibirnya ketika menyadari siapa yang meletakkan kopi kaleng itu.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Satu Minggu Kemudian ...... 
Pagi yang cerah , matahari bersinar terang meskipun musim dingin. Nara bahkan  hanya memakai sweater satu lapis dan menjinjing coatnya begitu saja di lengan kiri. Kakinya melangkah ringan  menyusuri koridor SD3. Di depannya nampak Umi,gadis Malaysia yang memiliki darah Jawa dalam tubuhnya tengah berjalan dengan tak kalah ringan. Nara segera berlari - lari kecil menyusul Umi dan begitu sampai di belakang gadis Malaysia itu , Nara mengagetkannya . 
"Dhorrrr ...” teriak Nara yang di sambut pekikan kaget dari Umi. 
"Ikut ke Joetsu kamu Mi?” tanya Nara sambil menyalami Umi yang satu tangannya menenteng tas kamera. 
" Ikut lah, kalau gw ga ikut nanti ga ada yang fotoin “ jawabnya. Umi adalah satu - satunya mahasiswa Malaysia yang berada di IUJ. Saking rapat bergaulnya dengan para warga Indonesia hingga Umi bisa bahasa gaul anak Jakarta. Meskipun hubungan Indonesia - Malaysia di guncang prahara, Umi tetap berada di tengah - tengah WNI. Satu - satunya saudara serumpunnya.
Tak berapa lama mereka berpapasan dengan Mbak Mila. Ibu berkacamata yang rela berjauhan dengan suami dan anak- anaknya selama berbulan - bulan demi mencari ilmu ini nampak berjalan dengan Mas Iqbal. Mba Mila ini pegawai pemda Ngayojakarta , sedang Mas Iqbal adalah ASN di Kemenpan. 
" Mas Iqballlll, bawa bekal apa?” pekik Nara. 
“ Spagethi dong “ jawab Mas Iqbal lempeng. 
" Yah spaghetti lagi spaghetti lagi ,combro gitu lah sesekali “ desah Nara. 
"Coba nanti deh di liat di loby ada tukang gorengan ga Ra “ seloroh Mas Iqbal. Mereka semua tertawa. Ya dingin dan gorengan adalah kombinasi yang pas jika di Indonesia. Sayangnya mereka tengah berada di jantung pedesaan Niigata. Ketika kita jauh dari kampung halaman , hal - hal yang terlihat remeh seperti abang gorengan justru sesuatu hal yang akan amat sangat di rindukan. Bahkan Nara pernah berhalusinasi mendengar bunyi tek - tek abang nasgor saking kangennya.Mereka menggiring kaki ke loby, menunggu bus kampus yang akan membawa ke stasiun Urasa tempat titik kumpul semua warga kelurahan. Di Tenomachi, keluarga Kang Gena dan Mas Faiq turut bergabung ke dalam bus. Bayi Haruka yang belum genap berusia 1 bulan tampak lelap dalam gendongan SSC ( Soft Structures Carrier) Mbak Anis.
Begitu turun dari Bus, Nara segera mendahului rombongan dan masuk ke dalam News Days di dekat ruang tunggu stasiun. Dia mengambil 3 buah onigiri tuna mayo , beberapa cokelat Meiji dan air mineral. Nampak beberapa kawan seperjuangannya yang bergender lelaki melewati familymart satu - satunya di stasiun itu. Mereka turun melalui tangga , Nara ingat bahwa alat ski dan snowboard ada di Endo apato yang berada tepat di belakang stasiun. Apartemen yang secara turun temurun di tinggali oleh mahasiswa Indonesia oleh karena itu di sebut Endo Apato. Usai membayar belanjaannya Nara segera bergabung dengan rombongan yang tengah bergerombol di meja dan kursi kayu bundar tepat di samping News Days.
"Ra itu snowboardmu di bawa sendiri ya “ kata Mba Tiwi, istrinya Mas Agus. Yang mahasiswa IUJ juga. Suami istri yang mengagumkan.
"Okeh Mba , masak minta di bawain Mas Agus ntar ai kena getok Mba Tiwi deh . Peace Mba ...” Nara mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V. 
" Gak aku getok Ra, paling di jorogin dari atas bukit “ balas Mba Tiwi sadis. Nara hanya tertawa menanggapi sambil meraih snowboard yang tersandar di dinding. Kang Gena tampak memimpin rombongan. Memberi beberapa intruksi dan arahan sebelum akhirnya turun ke lantai satu menuju line kereta ke arah Echigo Yuzawa. 
Joetsu Internatioan Ski Resort tidak terlalu jauh jaraknya dari Urasa. Setelah melewati Itsukamachi, Muikamachi lalu Shiozawa dan setelahnya Joetsu. Sebuah ski resort yang luas areanya. Terdapat hotel Green Plaza Joetsu di puncak bukitnya. Nara memilih snowboard karena baginya snowboard lebih mudah daripada ski. Setelah membeli tiket masuk sehat ga 1500¥ per orang dan anak- anak 800¥ , para wanita dan anak - anak menunggu bus hotel yang mengantar ke puncak sedang para pria menaiki gondola.Nara membantu Ibu - Ibu menghandle anak - anak. Tahun ini hanya ada 4 keluarga yang tinggal di luar area kampus. Di IUJ ada MSA ( Married Student Apartment ), tetapi MSA memiliki aturan hanya untuk yang memiliki anak maksimal 2 dan belum berusia SD. Mas Faiq sendiri memiliki 3 putri dan istrinya tengah hamil anak ke 4.
Sedang Mas Fatah memiliki anak 2 dan Mas Hasan on going 2 anak. Kang Gena lebih memilih di luar area kampus karena Mbak Anis dulu bekerja di perusahaan pengemasan fresh food yang lebih gampang di jangkau dari apatonya. 
Bus merangkak merayap di punggung perbukitan yang kanan kirinya berupa pohon pinus. 
"Tante Nara tolong bukain!” suara Najla mengalihkan Nara dari pemandangan di sekitar. Dia menerima sebungkus pocky dari putri ketiga Mas Faiq itu. Menyobek kardus dan aluminum pembungkusnya kemudian menyerahkan kembali kepada Najla
“ Makasih Tante Nara cantik “ 
“ Kembali kasih Najla cantik “ jawab Nara sambil mengusap puncak kepala Najla. Tak sampai 15 menit, Bus sudah sampai di depan loby Green Plaza Hotel. Nara yang berada paling dekat dengan pintu segera meloncat keluar begitu pintu otomatis terbuka. Dia membantu anak - anak turun dari Bus dan menyuruh mereka menunggu di kursi panjang depan penghangat ruangan besar yang ada di dalam loby. Begitu pintu bus tertutup kembali , nampak Mas Iqbal melambaikan tangan dari arah dalam loby hotel. 
“ Langsung ke belakang aja , ganti baju dulu “ ucapnya sambil membantu membawa barang - barang milik Ibu - Ibu. Setelah melewati resepsionis , hotel yang dari luar nampak sepi ternyata ramai di dalamnya. Ada pusat berbelanjaan di dominasi oleh makanan dan kerajinan tangan di area Minami Uonoma, kids land, ada persewaan alat ski dan snowboard bahkan ekspedisi yang mengangkut koper - koper dan alat ski. Orang Jepang sendiri suka sesuatu yang praktis, salah satunya jika mereka liburan lebih memilih mengirimkan koper - koper mereka terlebih dahulu ke tempat tujuan alih - alih menentengnya sepanjang perjalanan. Nara memindai setiap sudut lantai satu hotel yang ramai dengan lalu - lalang orang. 
“ Ra , sudah sana ganti baju anak - anak di sini aja gantinya “ Mba Maya,istri Mas Fatah mencolek Nara. 
“ Oh ya udah, tinggal dulu ya Mba “ jawab Nara sambil meraih daypack miliknya.Di dekat vending machine dia berpapasan dengan wanita berjilbab yang berwajah Asia tak berbeda jauh dengannya.Nara melempar senyum tapi ternyata tidak di respon sesuai yang Nara harapkan. Mungkin Mbak nya buru - buru karena dia menangkap bayangan anak dan suaminya tengah menunggu tak jauh dari pintu tempat Nara berdiri.Lebih dari setahun menetap di negeri sakura membuat Nara bisa membedakan perbedaan antara resident dan turis asal Indonesia. Resident kebanyakan ramah ketika berjumpa dengan saudara setanah air. 
Setelah memakai baju khusus ski atau snowboard , Nara segera mancari rombongan kelurahan. Dia melihat Mbak Anis yang berada di dalam restaurant melambaikan tangan kepadanya. Mungkin Mba Anis mencari area yang hangat untuk baby Haruka. 
Nara segera membuka pintu kaca yang menghubungkan langsung ke area snowboard dan ski. 
“ Pemanasan dulu Ra “ Kang Gena mengingatkan . Yang ditanggapi dengan anggukan kepala. Beberapa teman - temannya sudah terlihat meluncur di kejauhan. Nara segera pemanasan sekedarnya dan memposisikan snowborad miliknya. Eh lebih tepatnya milik kelurahan yang di warisan secara turun temurun.
Tahun ini tahun kedua, tahun terakhir untuk bisa mencoba bermain snowboard. Setelah tahun lalu dia tidak banyak mencoba, selain masih mencoba mana yang lebih cocok baginya antara ski dan snowboard, waktunya pun tak banyak karena perkuliahan tahun pertama begitu padat. Tapi paling tidak dia sudah banyak peningkatan, sudah bisa ngerem dan mengatur kecepatan. Walau masih sulit baginya melakukan manuver, belok kanan kiri dengan cepat. Masih sering panik ketika mendapati banyak orang di depan jalur lintasanya. Atau ketika meluncur di jalur merah, jalur ekstrem dengan sudut kemiringan yang lebih curam.
Nara meluncur dengan tenang dari puncak bukit. Angin dingin menerpa wajahnya yang tidak tertutup google (kacamata khusus). Tapi hari yang cerah setelah salju lebat kemarin, membuat pemandangan di depannya terlihat begitu indah. Sesuai kabar orang - orang.Salju pun cukup tebal, sehingga dia bisa lebih percaya diri dengan kemampuan ngeremnya. 
Di depan sana tampak punggung Kang Gena di depannya tengah meluncur menuruni bukit. Begitu sampai ke bawah , Nara memanggul papan snowboard dan menaiki gondola menuju ke tempat semula lagi. Tempat kumpul warga kelurahan. Sampai di atas di lihatnya Najla tengah bermain sledge bersama anak-anak lain dan orang tua yang tidak berminat bermain ski atau snowboard. Nampak ibu - Ibu duduk - duduk di atas gelaran tikar Daiso seharga 100¥. 
“ Ke puncak bukit sana Ra “ Mba Maya mengarahkan telunjuk ke tiga bukit yang menangani untuk tempat meluncur . 
“ Gak berani ah Mba, belum se- expert itu “ jawab Nara sambil memasang kuda - kuda untuk siap meluncur . 
"Mau coba jalur panorama saja, katanya pemandangannya indah, cuma memang agak memutar, agak jauh"
"Dimana itu?"
"Di belakang sana" Nara menunjuk ke arah bukit paling besar di depan matanya.
“ Duluan ya Mba “ Nara melambaikan tangan, tak sempat menunggu balasan papan snowboardnya sudah meluncur membelah arena. Menuju gondola paling kanan, gondola dengan jalur paling jauh namun cukup ramai.
Dinara sudah sampai puncak bukit panorama. Jalur yang jika di musim gugur menjadi jalur favorit para pendaki. Dia pun mulai meluncur, dengan matanya tak lepas memandang pohon Pinus yang berbaris di kanan kiri.
Sebentar lagi percabangan, ke arah kanan, pintu masuk ke jalur yg agak landai, jalur bawah dimana banyak orang baru belajar bermain ski dan snowboard. Dia melihat jalur kanan sepertinya sangat padat. Adrenalinnya pun mulai meningkat, seiring rasa cemas apabila mendapati banyak orang di depan dan belakangnya
Akhirnya dia berbelok ke jalur kiri yang baginya lebih sepi. Tanpa dia sadari bahwa itu adalah jalur kuning. Lebih curam dan sempit, walau tidak seekstrim jalur merah. 
Awalnya dia masih meluncur dengan tenang,  namun akhirnya dia sadar keputusannya salah ketika setelah tikungan terpampang di depannya jalur yang mungkin hanya selebar 4 meter dan tidak landai seperti di jalur yang selama ini dia lewati. 
Dia berhenti, terduduk, beristirahat sambil mengumpulkan keberanian untuk menuruni jalur itu. Tentu saja, itu satu-satunya yang harus dia lakukan, meluncur turun, karena naik kembali ke percabangan jelas tak mungkin
“Huff... Ok, aku mesti bisa” gumam Nara . Dia mengingat - ingat yang diajarkan Kang Gena,tetap tenang. Tahan posisi untuk rem dan zigzag, jangan panik. walaupun biasanya dia butuh ruang yg lebih besar untuk zigzag. Semoga dia bisa melalui jalur sempit itu. 
Dia berdiri, dan mulai melaju. Dia sudah tak mempedulikan pemandangan yg lebih indah di jalur yang sepi itu. Tantangan di depannya membutuhkan konsentrasi tinggi. Dia mulai zigzag dengan posisi tubuh tetap menghadap depan, kaki bukit. Tak mungkin baginya zigzag dengan posisi berputar, dia belum bisa. Dia turun dengan perlahan, ketika dia sadari, jalur makin menyempit. Kemiringan makin curam dan jurang di kanan kiri makin meningkatkan kewaspadaan. 
Tanpa dia sadari seseorang melewatinya dengan cepat dari arah bukit  dan hampir memotong jalur zigzagnya. Nara kaget, hampir saja dia tertabrak. Keseimbangan dan konsentrasinya terganggu. Dia meluncur tidak terkendali ke arah jurang di sebelah kiri. Dengan panik dia geser keseimbangan ke arah kanan untuk berbelok. Sayangnya dia tidak melihat sedikit tumpukan salju di depan. Salju yang tidak rata membuat usahanya mengerem menjadi sia-sia. Satu yg ada di pikirannya, ketika posisi terdesak, Jatuhkan diri. Namun, yang dia lupa. Posisinya saat itu tengah berputar dan tersangkut gundukan salju. Dia terjatuh ke depan, tersungkur dengan kaki yang terkunci papan belum di posisi yang pas, membuat pergelangan kaki kanannya tertekuk. 
Dia tersungkur, masih di jalur. Tidak jauh dari jurang di sebelah kiri. Namun kakinya terasa nyeri, dia terkilir. 
Semua teori jatuh terlupa begitu saja. Beberapa peselancar langsung mengerem papan mereka dan mengerubungi Nara yang meringis kesakitan. 
“Daijobu desuka?” [ Apakah tidak apa - apa ] seorang nenek berjongkok di depannya dan memandang Nara khawatir. Dia mengangukan kepalanya sambil menahan nyeri di area lutut dan mata kaki. Busyet, kalah deh sama nenek - nenek. 
“ Haik....Daijobu ....Daijobu “ [ Ya tidak apa - apa] tapi nenek itu terus memandanginya khawatir. Begitulah orang Jepang. Khawatiran!!!Salah satu bapak -  bapak yang lebih muda juga berjongkok di sampingnya. 
“ Anata wa kokusai daigakusei desuka? “ [ Apakah kamu pelajar Univeritas Internasional?”] Nara kembali menganggukan kepalanya. 
“Sumimasen ....sumimasen” [ Permisi ....permisi ] Mas Iqbal dan Mas Faiq menyeruak kerumunan membuat dia bernafas lega. 
Setelah Mas Iqbal dan Mas Faiq menyakinkan wajah - wajah khawatir orang - orang di sekeliling Nara akhirnya kerumunan itu bubar. Salah satu orang berkata bahwa akan memanggil petugas patroli dan medis yang akan mengangkut Nara memakai snow motorbike. 
“ Nar kamu gapapa?Kuat berdiri?” Nara menggeleng. 
“ Kakiku sepertinya terkilir Mas,teorinya lupa. Aku bukannya menjatuhkan diri ke belakang malah ke depan. Eh kok Mas Iqbal sama Mas Faiq ada di jalur ini?”  ringis Nara. 
“ Tadi kita lihat kamu Ra,mikir Nara salah jalur Ni. Terus Faiq inisiatif ngikutin.Syukurlah feeling Faiq benar “ suara Mas Iqbal menyiratkan kelegaan. 
Tak berapa lama , seorang petugas patroli dengan sebuah motor besar khusus salju mendekat ke arah mereka. Dia menjelaskan mendapat laporan dari pengunjung tentang kecelakaan kecil dan bermaksud membawa Nara ke pos medis.Dengan di bantu Mas Iqbal, Nara segera naik ke atas motor salju.
“ Hati - hati ya Ra “ Mas Faiq menyerahkan papan snowboard untuk di jinjing. Nara hanya mengangguk. Nyeri sudah semakin menjalari kakinya. Main snowboard itu resikonya jatuh,namun jika dia tidak mencoba dan merasakan jatuh mungkin nanti ketika meninggalkan tempat ini dia akan menyesalinya karena tidak pernah mencoba.
🍁🍁🍁🍁🍁

Bình Luận Sách (302)

  • avatar
    HabibiHamdan

    mantap seru bgt

    1d

      0
  • avatar
    satrionorapi

    bagus sekalii certa nyaa

    12d

      0
  • avatar
    A20Samsung

    baguss

    12d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất