logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

9 - Dia dan Dia

“Dan! Dan! Udah jam enam nih!”
Maya berusaha membangunkan Daniar dari tidurnya yang panjang. Bagaimana tidak, Daniar sudah memejamkan matanya sejak pukul tujuh semalam, meninggalkan Maya yang masih menontin film horror di kamarnya.
“DANIAR!”
Teriakan dan guncangan Maya tidak mampu menggoyahkan posisi Daniar. Maya melihat temannya dengan tatapan kesal dan kasihan. Ia tahu Daniar terlalu lelah dengan kehidupannya di kampus bahkan rumahnya, namun Daniar sendiri yang mengatakan bahwa ia ada kelas yang wajib diikuti jam tujuh,
Maya mengelengkan kepala, kesal.
Kini Ia memilih menyiratkan air kepada temannya ini agar segera membuka mata. Maya mengambil air dari westafel kemudian menatapnya Daniar kembali. “Daniar, kalau kamu nggak bangun sekarang. Aku bawakan sesuatu untukmu..”
Kalimat ancaman Maya secara sempurna tidak digubris, bahkan Daniar mengubah posisi tidurnya menjadi memunggungi Maya.
“Sial.”
Maya benar-benar melakukannya. Ia menyiratkan setetes demi setetes air ke mata Daniar yang tertutup. Responnya cukup menggembirakan.
“MAYA! ASTAGA! APAAN NIH PAKAI NYIRAM SEGALA?!” Daniar terbangun, akhirnya.
Maya tidak memedulikan amukan Daniar. Dia hanya menunjuk sebuah jam dinding.
“Astaga! Udah jam enam lebih! Gawat! Kok kamu nggak bangunin aku sih!” Daniar beranjak dan bergegas untuk mandi.
Maya hanya terdiam melihat apa yang terjadi, bagaimana bisa disalahkan padahal sedari tadi ia berusaha membangunkan Daniar yang asyik merajut mimpi tanpa tahu waktu? Maya menggelengkan kepala lagi.
Daniar keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru. Ia melihat lemari pakaian Maya. “Aku pinjem kemeja ini ya?”
“Bukannya kamu bawa baju?”
“Bajuku jelek. Hehe.”
“Baiklah. Roti tawar ada di kulkas kalau kamu mau sarapan,” tawar Maya kepada Daniar.
Tiba-tiba ekspresi wajah Daniar berubah. Ia tidak ingin pergi ke kampus. Ia tidak ingin keluar dari sini.
“Kenapa, Dan?” tanya Maya.
“Aku pingin nggak kuliah dulu.”
Maya tertegun dengan ucapan Daniar. “Kamu masih takut, ya?”
“Iya. Aneh ya? Padahal aku nggak ngelakuin apa-apa. Tapi Siena dan kawan-kawannya bisa buat aku tersudut dan bersalah.”
“Kabar dari temanmu yang kecelakaan itu gimana?”
“Tulang kakinya patah. Dia ambil cuti mungkin sampai dua semester,” jawab Daniar.
“Kamu pasti nggak nyaman, ya? Apa perlu aku anter ke kampus? Aku ada kuliah jam sepuluh, sih.”
“Aku nggak mau ngerepotin kamu,” ujar Daniar.
“Kamu selalu ngerepotin aku, kenapa sekarang sungkan?”
“Sialan!” Mereka berdua tersenyum. “Aku serius.”
Maya memahami apa yang dimaksud oleh Daniar. “Jadi, apa yang bisa kubantu?”
“Entahlah. Aku merasa nggak terima diperlakukan seperti ini.”
Maya mengangguk, memahami bagaimana perasaan Daniar. “Kamu selesai kuliah jam berapa?”
“Sekitar jam satu sih, kenapa?”
“Gimana kalau aku anter kamu hari ini, nanti aku jemput. Sekalian kita nonton bareng.”
“Nonton bareng? Aku nggak ada duit. Bokek.”
“Tenang, aku beli tiket buy one get one. Hahaha.”
“Kok bisa?”
“Semalam, aku nggak bener-bener nonton film. Ada promo gitu di aplikasi ini, lihat deh!” kata Maya memperlihatkan struk pembelian tiket. “Jadi seratus pembeli pertama setiap hari dapat gratis tiket. Aku iseng dong nungguin sampai jam dua belas malem buat beli, ternyata dapet. ”
Daniar menyunggingkan senyum, sahabatnya ini memang selalu beruntung.
***
Daniar baru saja sampai di depan jurusannya setelah turun dari motor milik Maya. Awalnya Maya ingin mengendarai mobil, tapi kondisi bahan bakar di dalam mobilnya sedang tipis.
“Sorry ya. Jadi nganterin kamu pakai motor, deh,” kata Maya meminta maaf.
“Nggak apa-apa, makasiih,” ucap Daniar yang sangat berterima kasih kepada teman terbaiknya
“Sama-sama. Nanti aku jemput jam dua belas, ya.”
“Oke!” Daniar membalikkan badan untuk berjalan menuju kelas. “May, tungguin di Kedai Kale di kantin pusat aja, gimana? Aku baru selesai kelas mungkin jam setengah satu.”
Maya mengangguk kemudian meninggalkan Daniar dalam perasaan takut yang muncul kembali.
Daniar memasuki area jurusannya dan mendapat tatapan yang tidak menyenangkan. Seakan-akan, Daniar telah melakukan kesalahan terburuk sepanjang masa. Daniar merasakan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Ia menarik nafas panjang kemudian mengeluarkannya perlahan. Ia melihat ponselnya untuk memeriksa pesan yang baru saja masuk.
[Erik: Bisa ketemu di kantin elektro?]
Pesan dari Erik membuat Daniar semakin takut.
[Daniar: sekarang? Kan ada kelas?]
[Erik: kelas ditiadakan Dan, bisa segera ke sini?]
Daniar bingung. Kelas ditiadakan mengapa ia sampai tidak tahu.
[Daniar: kok aku nggak tahu?]
[Erik: Ke sini dulu, nanti aku jelasin.]
Daniar berbalik menuju kantin jurusan yang ada di sebelah gedung jurusannya. Ia berjalan sambil mendengarkan degup jantungnya yang mulai tidak beraturan.
“Kalau Erik sampai ngomong kayak gini, berarti ada sesuatu.” Daniar meyakini demikian. Ia menebak-nebak kemungkinan apa saja yang akan dikatakan oleh Erik.
Tetapi, yang pasti, hal itu berhubungan dengan kecelakaan Farhan yang berimbas pada dugaan pelaporan ospek malam. Dan tersangka utamanya adalah Daniar.
“Tapi, aku nggak pernah ngelakuin itu!” Daniar meyakinkan diri. Ia teringat akan perlakuan Siena terakhir kali bertemu. Siena mengatakan bahkan meyakinkan semua orang, yang saat itu hampir semua anak perempuan angkatannya ada di sana. Seakan-akan Daniar berbohong dan terkesan tidak mau mengaku.
“Daniar!” Suara Erik terdengar sampai di ujung lorong Jurusan Teknik Elektro. Daniar melambaikan tangan pertanda ia mendengar suara dari Erik yang memanggilnya.
“Kamu udah makan, Dan?” tanya Erik membuka pembicaraan ketika Daniar mulai duduk di hadapannya.
“Belum, kenapa?”
“Kamu nggak makan dulu? Aku traktir. Hehe.”
Daniar menggelengkan kepalanya. “Nggak perlu, Rik.”
Erik masih memandang Daniar dengan tatapan yang bingung. “Aku mau ngomong sesuatu tapi tolong kamu jangan emosi, ya.”
“Aku udah emosi dari tadi, Rik.”
Erik sudah menduganya. “Gini Dan, Ospek malam sudah ditiadakan. Nggak hanya di jurusan kita aja, tapi semua jurusan.”
Daniar tidak merespon. Ia tahu bukan ini yang akan dikatakan oleh Erik.
“Para Senior, kamu tahu ‘kan, merasa kamu yang melapor ke pak sekjur.”
“Pak Sekjur itu yang mana sih? Aku nggak tahu.”
Erik menarik nafas. “Namanya Pak Ilham, kamu tahu ‘kan?”
Daniar menggaruk kepalanya. Ia benar-benar tidak tahu kalau di jurusannya ada posisi sekertaris jurusan. Ia hanya tahu orang yang menempati posisi kepala jurusan saja.
“Aku nggak tahu beneran, Rik. Aku juga nggak ngelapor.”
“Anggap aja aku percaya sama kamu, Niar. Tapi –“
“Anggap? Berarti kamu nggak percaya sama aku?”
“Gini, aku ‘kan sudah bilang. Tolong, jangan emosi dulu.”
“Gimana aku nggak emosi, Rik? Aku dituduh dengan sesuatu yang tidak aku lakukan? Dan.. nggak ada yang belain aku?”
“Makanya dengerin dulu, Niar. Aku tahu posisimu sulit. Makanya aku ajak kamu buat ke sini. kalau di jurusan, kamu bakalan lebih emosi. Ayo semangat! kamu pernah cerita ‘kan pingin lulus tiga setengah tahun?”
Daniar mulai terisak.
“Dengerin aku dulu, pasti sulit buat kamu. Tapi aku berusaha bantu kamu biar bisa bertahan di sini. kamu tahu kan, yang jadi kambing hitam seperti kamu sekarang, akan mendapat banyak kesulitan di masa depan?”
“Iya, Siena selalu membanggakan itu. Membanggakan kalau dia anggota ormaju yang setia dan manfaat-manfaat yang ia terima, kedekatan dengan alumni, dan lain-lain. Karena dia mengikuti setiap permintaan seniornya dengan baik. Dan barang siapa yang tidak mau mengikuti apa yang mereka perintahkan kemudian menjadi anggota hitam atau blacklist, pasti kesulitan untuk akses laboratorium, ya ‘kan? Karena para anggota ormaju juga punya afiliasi sampai lab.”
“Kamu tahu kalau kamu masuk blacklist?” Kalimat Erik barusan mulai menakutkan dan mengagetkan untuk Daniar hingga matanya terbelalak. “Tapi aku nggak ngelakuin apa-apa.”
“Makanya kamu dikeluarkan dari grup chat.”
Daniar semakin terkejut.
“Dan membuatmu nggak tahu kalau hari ini kelas ditiadakan.”
Daniar merasakan sesak yang mencekik. Ia menarik nafas berkali-kali. Namun, ia merasa tidak ada udara yang masuk ke dalam rongga dadanya.
***
Raya keluar dari ruangan kelas. “Sip, sudah mau jam dua belas. Aku ke KK (Kedai Kale) dulu saja, ya?” timbangnya sambil melihat arloji yang melingkar tepat di pergelangan tangannya.
“Sabda udah selesai kelas belum, ya?”
Raya melangkahkan kaki menuju gedung jurusan Teknik Mesin yang terletak cukup jauh dari gedung jurusannya, Statistik. Namun, kampus ini sangat hijau. Pepohonan diletakkan di banyak titik sehingga para mahasiswa ataupun orang lain yang memilih berjalan bisa menikmati pemandangan di sekitar.
Raya melewati taman yang memisahkan antara gedung statistik dengan gedung elektro. Taman itu memiliki danau dan jembatan untuk membantu Raya menyeberanginya. Setelah sampai di gedung teknik elektro, Raya harus berjalan lagi untuk sampai ke gedung teknik mesin.
“Sebentar, perasaan aku mau ke KK? Kenapa aku malah jalan ke mesin?” Raya baru menyadari bahwa perjalanannya tidak sinkron dengan apa yang ia rencanakan.
“Sekangen ini aku sama Sabda? Padahal kemarin udah nonton bareng.”
Raya tetap melanjutkan perjalanan menuju tempat di mana Sabda sedang berkuliah. Ia sudah merencanakan akan menunggu Sabda di kantin jurusannya.
“Kalau nggak salah, Sabda kelasnya di sini.” Tetapi Raya melihat seisi kelas kosong, tidak ada orang.
“Ke mana orang-orang?”
Raya mulai menghubungi Sabda. “Sab, kamu di mana?”
“Kuliah, kenapa?”
“Aku di jurusanmu. Kamu di mana deh?”
“Aku ngerjain kuliah di KK Ray, take home test ini.” Take Home Test atau biasa disebut THT adalah istilah untuk ujian harian yang dapat dikerjakan atau dibawa pulang.
“Kamu minta Mas Liam buat ngerjain?”
“Ya Enggak lah.”
“Aku ke KK sekarang.” Raya kesal karena rencananya untuk bertemu dengan Sabda lebih cepat urung terjadi. Bukannya menuntaskan rindu, Raya harus memiliki tenaga lebih karena harus berjalan kembali ke arah gedung statistik karena KK berada di dekat jurusannya.
Raya masih merasa kesal. Ia berjalan dengan cepat karena ia merasa Sabda membohonginya. Tetapi, kebohongan mana yang dimaksud oleh Raya? Apakah karena ia tahu Sabda sedang ada kelas tetapi malah mendapati kelas kosong? Padahal, Sabda tetap kuliah walaupun metodenya tidak berada di kelas.
Raya semakin kesal. Entah, ia belum mendefinisikan kebohongan yang ia sangka kepada Sabda dengan tepat.
Apakah karena Sabda tidak memberitahukan Raya bahwa ia sudah berada di KK? Mungkin.
Yang jelas, Raya kesal. Masih sangat kesal.
Raya mempercepat jalannya, bahkan setengah berlari. Ia tidak ingin melewatkan sedetik pun waktu bersama Sabda. Walaupun Sabda berulang kali mengatakan bahwa mereka hanya berteman, tetapi bagi Raya semua ini hanya masalah waktu.
Raya telah sampai di depan Kedai Kale yang memiliki nuansa vintage. Ia mengintip di balik kaca jendela luar yang memang cukup terawang. Dia melihat Sabda sedang serius di depan laprtopnya.
“Masuk, Ray! Mau aku bikinin teh peach? Lagi promo loh!” Tiba-tiba Liam datang dan sudah berada di belakang Raya.
“Mas Liam! Aku kaget!”
“Aku tahu. Ayo masuk!”
“Sabda daritadi nungguin aku?”
Liam tersenyum. “Sabda pernah nungguin orang, Ray?”
Raya tersenyum sinis, benar juga. Mana mungkin Sabda yang angkuh itu mau menunggu orang lain?

Bình Luận Sách (411)

  • avatar
    Aulia pratiwiNikens

    sangat keren😍🤩

    26/06

      0
  • avatar
    AnjainiAndita

    sangat keren

    14/06

      0
  • avatar
    MeliaAmel

    bgusss crtanya

    18/04

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất