logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Penyemangat Paling Hebat

HERA🌈
Hera akhirnya sudah sampai ke sekolahnya, tak berselang lama setelah ia sampai, Andin sahabatnya yang entah sedari kapan sampai, sudah menyapanya saat bertemu hera di gerbang masuk sekolah.
"Hai, Ra, pagi?" ucap Andin, sambil menyunggingkan senyumnya.
"Ndin lho kok, lo gak masuk Ndin?" tanya Hera. Bukannya menjawab Andin, Hera malah balik bertanya. Andin pun demikian Bukannya menjawab ia malah tertawa tanpa sebab.
"Lho kenapa! Ada yang aneh sama gue?" tanya Hera lagi.
"Bukan Ra, bukan itu!" potong Andin.
"Lo liat gak Ra, Abang ganteng yang jualan bakso itu?" tunjuk Andin, pada lelaki yang sepertinya usianya seusia dengan mereka.
"Udah sejam setengah gue berdiri di sini, wk wk wk, cuma buat liatin Abang ganteng ntu," ucap Andin sambil tertawa.
Hera terdiam sejenak, ia pikir Andin mentertawakan dirinya yang hari ini tampak aut-autan. Ternyata Andin tertawa bahagia melihat Pangeran Bakso yang sedang mangkir tepat di depan sekolah mereka. Syukurlah, kalo tidak! Pagi yang sudah Hera bangun dengan kebahagiaan yang susah payah diciptakannya sendiri ini, bisa runtuh seketika, akibat terkena dua pisau sekaligus, pertama dari pelayan warteg yang tadi, saat ia ingin sarapan, dan kedua dari Andin sahabatnya sendiri. Namun, Andin bukanlah orang yang seperti dipikiran Hera.
"Dasar Andin! Kalo udah liat cogan dia langsung gila," gumam Hera dalam hati sambil tertawa.
Andin yang melihat Hera tersenyum-senyum sendiri merasa keanehan, "Ra napa lu? Jangan bilang lu ngakakin gue diem-diem dalam hati lu, ngaku!" selidik Andin yang mulai curiga.
"Gak kok, orang gue lagi mikirin anu," bantah Hera sambil menggaruk tenguknya yang sama sekali tidak gatal.
"Anu pa'an?" Andin mulai mengeluarkan tatapan sinisnya.
Ia kini mendekatkan wajahnya ke tubuh Hera, sambil mengendus-endus, seperti sedang ingin memecahkan sebuah peristiwa. Atau seperti layaknya adegan film 'Manusia Srigala' pada salah satu serial drama di tv.
"Andin, lo ngapain? Gak jeles amet lu!" ucap Hera di tengah aksi Andin yang mulai nyeleneh.
"Gue mencium bau-bau nasgor tiga piring, sepuluh ribu gorengan, dan tiga gelas es teh manis di dalem lambung lo!" ucap Andin.
Kini ia sudah merubah gayanya layaknya 'Roy Kyoshi' yang salah satu Indigo tapi Artis juga, entahlah, yang jelas, Hera gak kenal cuma tahu namanya doang.
"Dasar Andin hidung macam apa yang dia punya, kok dia tahu semua apa yang gue makan pagi ini! Apa jangan-jangan Andin beneran salah satu anggota Serigala yang di tv itu. Cuman, karena gak diajak buat ikut syuting makanya gak viral, awok awok!"! Lagi, Hera bergumam.
Lagi-lagi Hera tertawa tiba-tiba tanpa sebab apa-apa, "Gak lu salah! Orang gue cuma makan salad doang," bantah Hera.
"Masa? hidung gue gak pernah salah yah, dalam hal cium aroma masakan! Meskipun masakan itu udah ancur digiling sama mesin lambung lo," ucap Andin dengan yakin.
Ia memejamkan dua bola matanya sambil mengendus seperti tadi lagi, "Nyium bau aroma masakan aja gue gak pernah salah, apalagi rasa gue yang sudah terpaut tanpa sengaja, lewat pandangan pertama dengan Abang Tukang bakso, di sebrang sana!" ujar Andin membuka matanya kembali, sambil menunjuk ke arah sebrang.
Namun, nihil. Sosok berkulit putih dengan tinggi badan yang pas dengan tubuhnya itu, tadi berdiri tepat di mana telujuk Andin menunjuknya ... Namun, sosok itu kini sudah menghilang.
"Napa neng manggil saya?" Lelaki bertubuh jenjang, dengan jaket melilit di pundaknya itu, bertanya tanpa ragu. Tak salah lagi, si Abang tukang bakso sudah berada di samping Andin tanpa Andin sadari.
"Eh--eh ... eh anu! Orang, eh ... Bukan maksud sa--ya mas?" ucap Andin terbata-bata.
"Bukan mas, misi yah mas mau ke kelas dulu, eh ... iya mau ke kelas." ucap Andin malu. Ia celingukan ke kiri dan ke kanan sambil berjalan,.
Deg! Andin baru menyadari Hera sudah tidak berada lagi di sampingnya saat berjalan menunu kelas, Artinya sedari tadi, ia bicara sendirian? Lalu Abang tukang bakso ini, kok bisa pindah kesini? Andin bertanya-tanya? Kapan Hera berpindah tempat, apa Hera minta bantuan Jin Tomang, sampai bisa menghilang secepat itu.
"Hera KAMPRET!" Andin bergumam dalam hati.

****

Tak terasa hari-hari panjang di sekolah berlalu dengan cepat. Hera dan siswa siswi yang lain, kini sudah beranjak untuk pulang ke tempat masing-masing. Hera bernapas lega, hari ini tidak ada lagi yang mengatainya dengan sebutan 'Moster Jelek' atau menyebutnya dengan kalimat ' Istri Sumo yang Tersesat' dan hari-harinya berlalu penuh cekikian tawa dengan Andin sahabatnya.
Percayalah, di sekolahnya sendiri jauh lebih menyakitkan, dibanding dengan sakit hatinya kemarin saat berada di kelas tari yang kemarin ia kunjungi. Namun, kenapa ia begitu sedih dan terpuruk? Karena baru kali ini, seseorang menyebutnya atau tanpa sengaja menyamakannya dengan bintang. Percayalahdan itu amat menyakitkan, sangat menyakiti hati Hera.
Kini, Hera sudah berjalan di gang sempit yang mengantarkan ia menuju kosannya. Ia sudah akan hampir sampai. Kemudian, Hera tersenyum saat didapatinya sosok lelaki denga jaket berwarna putih yang menepel dipunggungnya, tengah berdiri di depan pintu kosnya.
"Abang!" Hera memanggilnya. Hera berlari berhambur ke pelukan yang tak lain adalah Abangnya sendiri.
"Akhirnya pulang juga," ucap Abangnya sambil tersenyum menatap adik kesayangannya.
"Maafin Hera ya Bang, bikin abang nunggu lama." ucap Hera, sambil tangannya fokus membuka kenop pintu yang masih terkunci rapat.
"Yuk masuk Bang! " ajak Hera, saat pintu kosnya sudah terbuka. Tanpa menjawab Anditia yang tak lain adalah Abangnya Hera itu pun, langsung masuk dan duduk di salah satu kursi yang ada di kamar kos Hera, yang memang sengaja Hera biarkan posisinya di situ, kalo-kalo ada temannya yang datang nantinya, atau ada orang lain yang mau mampir.
"Kok tumben, Bang Adit ke sini? Kan belum Hera telpon."
"Emang kenapa? Gak boleh? Yaudah Abang pulang aja." ucapnya.
"Eh, abang kok gitu ih, Hera tuh cuma nanya, biasanyakan, cuma kalo pas Hera minta uang jajan aja baru kesini."
"Iya, kebetulan hari ini pulang cepet jadi mampir kesini dulu. Sama deh tadi Abang juga cuma becanda," balas Adit tertawa. Hera pun, ikut tertawa melihat Abangnya.
Jika orang lain selalu meyebabkan Hera menangis, maka Abangnya layaknya malaikat tak bersayap, ia selalu mampu membuat Hera tersenyum, meski dengan kalimat sederhana. Sederhana, lebih tepatnya sederhana yang diseratai dengan kasih sayang.
"Ra, ini Abang tadi mampir di tempat makan, sekalian Abang beliin makanan buat kamu, kita makan yuk!" pinta Adit.
"Yaudah bentar ganti baju dulu," Hera beranjak menuju kamar.
"Jan di abisin, awas yah!" pintanya sebelum menghilang dibalik pintu yang tertutup.
"Dasar anak kecil, kalo kamu lama, ya bakal Abang abisin," canda Andit.
"Abaaaang ..!" Hera merengek dari dalam kamar.
"Iya ... iya ...!" ujarnya membuat Hera tersenyum dari dalam kamar.
"Tapi boong," timpal Adit lagi.
"Abang reze!" tukas hera lagi sembil teriak dari dalam kamar.
Ting! Hp hera berdering tanda ada sebuah pesan masuk. Hera yang sudah usai berganti pakaian, duduk di atas kursi yang biasa dipakainya untuk belajar. Ternyata pesan grup, yaitu grup di kelasnya. Hera membuka isi pesan grup itu.
'Kakak Kelas Rempong'
[Eh, tadi pada liat gak? Bajunya si 'Istri Sumo' kaya mau sobek?] Clara. ✔️✔️
[Dasar malu-maluin, emang bener Ra?] Anggun.✔️✔️
[Ya, benerlah! Orang gue liat sendiri, pas Hera ....... ]Clara. ✔️✔️
Hera membanting ponselnya, ia tidak sanggup lagi, membaca bagaimana lanjutan obrolan mereka, sakit rasanya diperlakukan seperti ini!Apalagi mereka semua tahu, Hera juga berda di grup yang sama dengan mereka.
Hera keluar dengan kaos pink ukuran XXL, ia berjalan mendekati Abangnya, tak mau membuat Bang Adit ikut sedih, Hera berusaha terlihat setenang mungkin.
"Sini ayuk! Gak di abisin kok," ucap Aditia saat melihat Hera datang.
"Mmm ... Hera gak jadi makan deh Bang," ucapnya sambil tertunduk.
"Lho kamu kenapa dek? " tanya Aditia. Hera nampak menyembuyikan sesuatu dari Adit.
"Hera takut ..! Kalo Hera makan, terus badan Hera gak kurus-kurus," ucapnya malu-malu.
Aditia sepertinya bisa menebak, ada sesuatu yang sepertinya tengah mengganggu Hera, ia tidak biasa seperti ini, Aditia menyunggingkan senyum di sudut bibirnya. Namun, kepalanya sibuk memikirkan sang Adik.
"Ra ..! Sekarang coba kamu kasih tahu Abang! Kenapa kamu pengen kurus?" tanyanya dengan penuh perhatian.
Hera menunduk, ia mulai bercerita kepada Abangnya bagaimana tentang orang lain melihatnya dengan sinis, bagaimana tentang kejadian di ruangan kelas tari kemarin, dan bagaimana dengan teman sekelas yang kebayakan tidak mau berteman dengan Hera, dan membicarkan drinya dengan sengaja. Ia terpaksa bercerita, karena ia tahu Aditia pasti akan terus menanyakannya.
Hera mengurai air mata, ia tak kuasa menahan bendungan cairan bening itu untuk tidak keluar di hadapan Kakak Lelakinya itu.
Aditia menghela napas panjang, matanya mulai berkaca. Hera tidak melihat Aditia karena Hera tengah menunduk sambil sesenggukan. Adit diam sejenak, ia mengerti betapa berat sakit yang dialami Hera, ini bukan hanya soal harga diri, rasa ingin dihargai, dan kebahagian-kebahagian yang belum pernah Hera rasakan. Namun, tentang banyaknya cacian dan hinaan yang melemahkan semangat Hera untuk menjalani hari-harinya yang seharusnya bahagia.
Di sinilah posisi Aditia sebagai seorang kakak/Abang Laki-Laki satu-satunya Hera tengah diuji. Bagaimana ia bersikap dan menasehati Hera, agar tidak terus terpuruk dalam sakitnya, dan kelak saat diperlakukan dengan sama seperti itu lagi, ia sudah bisa mengontrol emosi dan kesedihannya agar tidak terlarut-larut.
"Ra ..!" Adit memecah keheningan yang mulai tercipta diantara mereka.
"Abang tahu apa yang kamu rasain, Abang ngerti!"
"Kamu tahu gak Ra?" tanyanya. Hera yang sedari tadi menundukan wajah sambil sesenggukan, kini mulai mengangkat kepalanya.
"Apapun yang terjadi dalam hidup seseorang, itu semua tidak lepas dari penjagaan Tuhan! "
"Yang hari ini dengan jelas menghinamu terang-terangan di depan umum, kelak! Entah dua tahun, tiga tahun, atau bahkan sepuluh tahun mendatang, bisa jadi akan merasakan apa yang kamu alami saat ini, karena Tuhan selalu liat keadaan kamu, dan perbuatan jahat mereka," ucap Aditia sambil membelai lembut rambut adik kesayangnnya.
"Dan nanti, barulah mereka sadar, mereka salah telah membuatmu dan memeperlakukanmu seperti ini!"
"Kita gak pernah tahu Ra? hari ini kita terlahir seperti apa? Dengan siapa kita akan dibesarkan, dan bagaimana kisah hidup kita? Kita tidak pernah bisa memilih, tetapi kita dipilih untuk itu."
"Harini, Tuhan menguji kamu dengan tubuh yang besar, dan wajah yang sederhana, tapi! Kita gak pernah tahu. Kalau hari ini bisa jadi Tuhan juga sedang menguji seseorang dengan wajah yang cantik dan bentuk tubuh yang bagus, tapi usianya tak bertahan lama!"
"Semuanya udah diatur Ra, kamu cukup jalanin dengan suka rela, terima apadanya! Dan kalau pun kamu merasa sudah siap untuk berubah, berubah perlahan-lahan Ra, jangan nyakitin diri kita karena hanya ingin ngebuat orang lain merasa kita itu seperti dirinya."
"Mulut orang tidak akan pernah berhenti menghina kita, bahkan meski nanti bentuk tubuh kamu sudah sama bagusnya dengan mereka, pasti akan selalu ada kekurangan kamu yang terus-menerus mereka cari."
"Kamu tahu kenapa mereka begitu Ra? Karena kamu istimewa, orang lain tidak akan mampu sekuat kamu, mereka iri! Mereka tidak suka dengan apa yang sekarang kamu jalanin."
"Kamu tidak cantik, dan badanmu juga lebar, tapi kamu jadi kebanggaan Guru-Guru disekolahmu karena kecerdasaan kamu."
"Mereka yang cantik terlalu sibuk mengurus dirinya sampai lupa, kalau masa depan itu masih panjang."
"Hari ini wajah kamu tidak seputih dan secantik mereka, itu karena kamu sibuk belajar, menghabiskan setiap waktu luang yang kamu punya. Bukan karena sibuk mempercantik diri di hadapan orang lain, hanya untuk sekedar dipuji."
"Hari ini, badan kamu juga tidak seindah tubuh mereka, itu juga karena kamu lebih suka menghabiskan waktumu dengan makanan, dibanding harus sibuk mengurus dan membicarakn kekurangan orang lain! "
Hera menatap Abangnya dengan mata berkaca-kaca, "Kamu sempurna Ra, dengan bagaimana Tuhan mencipatakan kamu! "
"Kamu cantik, dengan bagaimana Tuhan meneguhkan sabar di hati kamu! "
"Dan kamu layak untuk dipuji, dengan bagaimana orang lain berusaha untuk menjatuhakanmu. Namun, kamu tetap bisa menerima itu tanpa mau membalas hal serupa!" Hera memeluk erat tubuh Aditia, isak tangisnya memang balum reda. Namun, hatinya seperti sudah sembuh dari banyaknya goresan luka, tidak ada lagi hati yang patah, semangat yang menghilang, dan bayangan hari-hari yang menyedihkan.
Ia bangga sekali bisa memiliki sosok Abang seperti Aditia, ia selalu mengajarkan untuk tetap sabar menerima apapun keputusan Tuhan tentang bagaimana kisah hidupnya, karena tidak ada yang namanya kebetulan, semua sudah diatur dengan amat rapi dan sempurna. Kini, tinggal bagaimana kita mensyukurinya, dan menjalaninya dengan bahagia.
"Sudah ya Ra! Adik abangkan kuat," ujarnya membhat Hera tersenyum menatap Aditia.
"Yaudah sekarang kita makan ya! nanti adek Abang yang cantik ini gak imut lagi ntar, gara-gara, gak dikasih sesajen nasgor, sama es teh manis." gurau Aditia.
"Abaaang ...!" Hera memukul-mukul pundak Abangnya geram sambil tertawa. Mereka pun sontak tertawa, berbarengan.

Bình Luận Sách (150)

  • avatar
    Dumpchive

    keren + bagus banget cerita nyaa , alurnya juga ga mudah di tebak , salut dehh

    04/01/2022

      1
  • avatar
    AzrilHaikal

    seru kak

    07/08

      0
  • avatar
    Siti Nurhafiza

    seruuuuuuuuu

    07/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất