logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

6. Axelio Ruxion (Ale)

"Tau nggak sih, kak ... Dia ngeselin banget anaknya, sok famous gitu. Padahal anak-anak lain pada ngetawain dia di belakang," Megan hanya menghela napas. Sejak pulang sekolah tadi Marsha tak berhenti bercerita tentang kejadian yang menimpanya di sekolah. Megan menangkap ceritanya lebih seperti curahan hati. Meski begitu, Megan tetap setia mendengarkan Marsha.
Dia tidak sedang menjadi pendengar yang baik saat ini. Sejujurnya dia tak begitu peduli, apa lagi tertarik. Dari sekian banyak yang Marsha ceritakan tak ada satupun yang dia tanggapi.
Mulai dari Zaviera yang suka merundung dirinya. Dari sosok Galih yang selalu membelanya saat dirinya dirundung, yang pada akhirnya membuat Marsha terpesona dengan jiwa kepahlawanan seorang Galih. Marsha tak tau saja, bahwa seorang Galih memang sosok yang selalu peduli terhadap siapapun. Marsha hanya salah mengartikan perhatian sosok Galih padanya.
Megan sama sekali tak peduli. Dia bergeming, memilih asik dengan buku gambar dan spidol warna yang dia genggam. Menorehkan mimpi demi mimpi yang terlintas di imajinasinya. Menyalurkan segala keinginan yang belum tuntas.
"Iya kan, kak?," Megan tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali saat tiba-tiba Marsha melompat ke ranjang tidurnya yang menimbulkan guncangan disana.
Entah apa yang dia ceritakan yang membuatnya begitu antusias. Gadis itu sedang mondar-mandir di depan Megan tadinya. Bercerita sambil wajahnya sesekali mendongak ke atas seolah tengah membayangkan sesuatu. Gadis itu selalu tersipu saat sesekali menyebut nama Galih.
Megan tak begitu memperhatikannya, sebab terlalu sibuk dengan hobynya.
"Apaan, sih?," Datar respon yang Megan berikan membuat Marsha sontak mengerucutkan bibir, kesal lantaran tersadar cerita panjang kali lebarnya tak di dengarkan oleh Megan. Gadis itu lantas mendengkus. Manja.
"Kakak! Nggak dengerin aku, ya?" pekiknya kesal. Marsha mengguncang tubuh Megan gemas. Sesekali tangannya memukul pelan punggung Megan yang telungkup di ranjang.
"Udah capek-capek cerita panjang lebar, juga, ih!," sambungnya, beranjak dari ranjang Megan. Berjalan ke arah ranjangnya sendiri sambil menghentak-hentakkan kaki kesal. Lebih terlihat merajuk sebenarnya.
Megan mengedikan bahu tak peduli. Bodo amat, pikirnya.
Gubrakk!!
"Sha ... Saka, mana?"
Baik Megan maupun Marsha, mereka sama-sama tersentak. Marsha bahkan sampai memekik saking kagetnya. Keduanya saling pandang dengan sarat tatapan yang berbeda.
Sejurus kemudian Marsha menatap tajam ke arah manusia yang dijulukinya tak berakhlaq itu.
"Lo, kira ini kamar Saka, apa? Jantungan nih, gue! Lagian lo, salah alamat nyari dia disini," makinya.
Laki-laki yang terbilang sepantaran dengan sosok yang dicarinya lantas menyengir tanpa rasa sungkan.
"Ya, sory. Gue cari di kamarnya nggak ada, tuh,"
"Ya, mana gue tau, Ale," Marsha mengesah.
Megan yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua, lantas memutar bola matanya jengah.
Jelas gadis itu tak berminat terlibat di antara keduanya.
Dia beranjak. Membawa buku gambar dan spidol warnanya pergi, keluar dari kamar.
Tanpa mengucapkan apapun gadis itu melenggang begitu saja melewati Ale.
Ale mengejar dengan pendangannya, mengikuti kepergian Megan, sebelum akhirnya berbalik menatap Marsha, bertanya.
"Siapa, Sha?" tanya Ale. Suaranya dibuat sepelan mungkin hampir bersbisik yang masih bisa di dengar oleh Marsha.
"Kenapa? Jangan naksir, lu! Kakak gue, tuh,"
"Becanda lu, kan?" Ale terkekeh tak percaya. Laki-laki itu lantas berjalan mendekati Marsha.
"Nggak percaya?"
"Enggak, lah. Sejak kapan om Diego punya anak cewe selain, lo?"
"Papa, emang nggak punya ... Tapi, Mama Nadine, punya. Namanya kak Megan," terang Marsha. Gadis itu terlihat bangga saat menceritakan tentang Megan. Tangannya berkacak pinggang sambil mendongak membayangkan sosok Megan.
Bukan apa-apa. Selama ini Marsha memang ingin sekali mempunyai saudara perempuan.
Hari dimana saat Nadine meneleponnya untuk memberitahukan kepada mang Darman agar menyiapkan kamar untuk Megan, Marsha memekik girang. Bahkan dia berkata pada Nadine, dia sendiri yang akan menyiapkan tempat tidur untuk calon kakak perempuannya. Dia juga yang meminta agar Megan sekamar dengannya, meski harus menambah fasilitas satu ranjang lagi di dalamnya.
Jika selama ini Marsha tak suka orang lain masuk ke kamarnya, maka hari itu pengecualian. Sebab tidak mungkin dia kuat mengangkat ranjang tidur sendirian.
Memikirkan hal itu, Marsha lantas tersadar saat teringat sesuatu.
"Ale!," Tiba-tiba saja Marsha memekik. Tak ayal hal itu membuat sang empunya nama berjengit. Pekiknya tak kalah melengking saking kagetnya.
Belum lagi laki-laki itu perotes, dia terpaksa kembali menutup mulutnya, tak jadi bicara saat Marsha lebih dulu menyahut.
"Lo, ngapain masuk kamar gue? Keluar lu," Marsha mendelik gemas. Herannya, segarang apapun dia berusaha galak, tetap saja di mata orang lain dia justeru lucu. Sandiego bilang, puterinya tak berbakat berperangai judes, apalagi galak. Wajah dan sikap manjanya tak mendukung sama sekali.
Setiap kali dia berbicara judas, orang akan melihatnya seperti marah dan merajuknya anak kecil.
"Sory deh, gue, kan tadi penasaran," Tak menunggu diusir ke dua kalinya, Ale berjalan keluar kamar. Meninggalkan Marsha yang memberengut gemas.
Saat melintas di ruang utama, Ale tak sengaja melihat pintu belakang rumah terbuka. Instingnya kuat untuk melihat keadaan halaman belakang.
Benar saja, ditemukannya sosok Megan duduk di ayunan taman, dengan buku Gambar dan spidol warna yang dia pangku. Kepalannya bersandar pada sisi tali ayunan. Pandangannya menerawang lurus ke depan.
Ale tau bahwa gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Tanpa basa-basi, Ale berjalan mendekat menghampiri Megan.
Tak seperti saat dirinya dihampiri Saka malam itu, kali ini Megan tak sadar bahwa seseorang tengah berjalan ke arahnya.
"Jadi, lo, anaknya tante Nad,? tembak Ale langsung saat berada di samping Megan. Laki-Laki itu berdiri dengan satu tangan memegang sisi tali ayunan dan satu tangan lagi masuk ke saku celana dengan kaki menyilang.
Megan sontak berdiri cepat. Gadis itu begitu terkejut hingga tak sadar buku gambar dan spidol warna yang dia pangku berhamburan jatuh.
Megan lantas menatap tajam ke arah Ale, sebelum akhirnya berjongkok. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya.
"Eh, sory, sory ... Gue nggak bermaksut ngagetin, lo," Ale berjongkok menyamai Megan. Niatnya ingin membantu memunguti spidol warna yang lolos dari kotak pensil Megan. Tapi Megan justeru berdiri lagi saat Ale menyamai posisinya. Gadis itu sedikit tersentak. Merasa tak nyaman jika harus berdekatan dengan lelaki. Terlebih yang belum pernah dia kenal sama sekali.
"Gue, bisa sendiri," ketusnya. Dia bertahan dengan posisinya berdiri sambil menatap lurus ke depan, tak ingin membalas tatapan heran Ale.
Ale lantas tersenyum.
"Nggak apa-apa, gue bantuin. Gue yang sal-"
"Gue, bilang gue, bisa sendiri," sahut Megan semakin dingin.
Sontak Ale mengerutkan alisnya. Senyumnya yang tadi dia pertahankan perlahan memudar.
Laki-laki itu tak mengerti apa salahnya? Dia hanya membuat Megan kesal karena mengagetkannya. Tapi dia tak mengerti kenapa Megan sedingin itu padanya.
Melihat Ale tak juga berdiri, Megan lantas mendengkus tak suka. Dia memilih berjalan menjauh. Kembali masuk ke dalam rumah meninggalkan barang-barangnya, dan juga Ale yang menatapnya dengan penuh rasa penasaran.
Kedua sudut bibirnya mulai terangkat.
"Menarik," gumamnya.
----
Saka baru saja datang dari Minimarket saat melihat Megan berjalan cepat dari arah belakang rumah. Tampak jelas jika gadis itu sedang kesal.
Saka yang tadinya hendak duduk mengurungkan niatnya. Dia berdiri dengan melipat ke dua tangannya di dada. Bersandar setengah duduk di belakang kepala sofa.
Megan sengaja melewati Saka begitu saja. Berjalan mantap ke arah tangga, dia tak peduli meski sadar Saka tengah menatapnya. Memperhatikan dirinya.
"Megan!"
Satu seruan yang memanggil namanya menghentikan langkahnya di ujung tangga. Tanpa menoleh ke sumber suara, Megan masih menunggu Saka mengatakan seusatu.
"Lo, kenapa? Kesel gitu?"
"Bukan urusan, lo!" ketusnya.
Saka mengernyit karenanya. Reflek kedua tangannya turun memegang kepala sofa. Dia tau gelagat Megan yang tak menyukainya, bahkan keluarganya. Dia hanya tak menyangka jika adik barunya itu akan secara terang-terangan menunjukkan rasa tak suka padanya.
Saka lalu menoleh lagi ke arah belakang rumah. Dengan posisi yang sama, Saka kembali melipat tangan di dada saat melihat Ale muncul setelah Megan berlalu.
"Habis ngapain, lo?" terkanya. Ale yang semula hendak menyusul Megan lantas membelot menghampiri Saka.
"Lo, dari mana, sih, huh?"

Bình Luận Sách (84)

  • avatar
    MeilinaRadinka

    buku yang baik dan sangat mudah untuk dibaca sangat di mengerti

    17d

      0
  • avatar
    แย่มาก

    ihhh ceritaa nyaa baguss, sukaaaa🖤

    14/08

      0
  • avatar
    Fyra Azzahra

    Ceritanya sangat menarik dan bagus

    08/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất