logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

3. Terpaksa

Tubuh Megan merosot perlahan. Dia tak mampu lagi berkata-kata. bahkan dia tak tau apa lagi yang perlu dia katakan. Hanya tangis yang begitu menyayat saat lagi-lagi dia harus terpisah secara paksa dengan orang-orang yang dia kasihi.
Bedanya, jika dulu dia yang ditinggalkan, kali ini dia sendiri yang harus meninggalkan Mayang. Jika dulu keadaan yang memaksa, kali ini seorang Nadine yang memaksanya.
Mayang beringsut memeluknya. Wanita renta itu, jujur saja tak rela harus membiarkan Megan pergi. Dirinya juga tak siap berpisah dengan seorang cucu yang telah lama hidup bersamanya, menemaninya. Namun lagi-lagi dengan alasan yang sama. Semua ini demi cucunya itu.
"Megan, nggak mau, Uti ... Megan, nggak mau ninggalin, Uti sendirian," Megan meraung. Isak pilunya bahkan terdengar sampai ke depan, dimana Nadine menunggu di dalam mobilnya.
Tangis yang sejak tadi dia tahan, kini akhirnya luruh begitu deras. Dia biarkan mengalir begitu saja seiring gambaran masalalu yang mulai muncul bagai proyektor di depan mata.
Saat itu, jika dirinya tak melakukan hal yang begitu bodohnya, semua tak akan jadi begini. Keluarganya tak akan terpecah belah seperti ini. Semua terjadi karena kesalahannya, kebodohannya.
*"Mas, tunggu Mas, aku bisa jelaskan semuanya,"* Tergopoh Nadine mengejar Gusti, berusaha mensejajarkan langkah dengannya. Nadine yang tak sabaran meraih lengan Gusti yang lalu dihentak kasar oleh lelaki itu. Dirinya hampir terpelanting karenanya.
*Apa? Apa lagi yang perlu kamu jelaskan? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Nad! Kamu berpelukan sama dia, laki-laki berengsek itu, ha!"* Gusti mengusap wajahnya kasar. Lengkingan suaranya tak ayal membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian umum. Menyadari hal itu, Gusti tak ingin berdebat lagi yang semakin memancing perhatian. Dia berjalan cepat meninggalkan Nadine yang enggan lagi menyusul.
Wanita itu merasa sia-sia terus mengejar. Merasa telah kehilangan kepercayaan suaminya. Daripada menyusul dan berusaha menjelaskannya berulang kali tanpa hasil, Nadine memilih duduk di sebuah bangku halaman resto, tempat dimana dia membuat janji temu dengan seseorang yang akhirnya memicu pertengkaran dengan Gusti. Menangkupkan kedua tangan di wajah, Nadine menangis tanpa suara. Berbagai kemungkinan yang tidak-tidak membelesak masuk bergantian ke dalam pikirannya.
Setelah puas dia menangis, Nadine memutuskan kembali masuk ke dalam resto. Memilih diam beberapa saat disana untuk menenangkan diri. Termenung begitu larut.
Nadine baru terhenyak saat dering ponselnya membuyarkan lamunannya.
Nomor tak dikenal tertera disana.
*" ... "*
*"Betul, dia suami saya. Ada apa ya? Dan ... Maaf, ini dengan siapa?"*
*" ... "*
*"Apa?!"* Antara percaya dan tidak, yang pasti saat ini Nadine sangat terkejut. Pergerakannya yang berdiri cepat menimbulkan suara derit kursi yang didudukinya. Dia bahkan tak peduli berapa banyak pasang mata yang saat ini tengah menatapnya.
Mendadak dia seperti orang linglung. Otaknya tak mampu bekerja dengan signifikan. Pikirannya kacau. Dalam hati tak berhenti merutuki dirinya sendiri atas kesalahannya.
Mengapa dia tak mengejarnya? Mengapa dia tak langsung mengikutinya saja?
Berbagai kemungkinan yang sedari tadi terus membayanginya, nyatanya apa yang terjadi saat ini lebih buruk dari yang dia takutkan sebelumnya.
Seseorang baru saja menghubunginya dengan membawa kabar buruk. Kabar yang tak pernah dia pikirkan sama sekali, bahkan setelah pertengkarannya dengan Gusti.
Nadine pikir, sesampainya di rumah dia akan berusaha lagi menjelaskan apa yang telah suaminya lihat. Namun terlambat. Sudah sangat terlambat. Orang yang hendak dia cecari nantinya, dia telah pergi. Seseorang yang bicara dengannya melalui telepon tadi adalah pihak berwajib, yang mengaku telah mendapat laporan atas terjadinya kecelakaan. Mobil yang dikendarai korban ringsek, membelesak masuk sebagian ke bawah truk muatan. Korban telah dipastikan meninggal di tempat.
Ruang dimana Nadine berada begitu lenggang, tapi terasa begitu sesak. Seakan udara tengah menjadi rebutan yang sewaktu-waktu bisa habis, dan dia tidak kebagian sedikitpun.
Kabar itu bagai godam yang menghantam begitu keras, hingga membuat kepalanya kebas, lalu semua berubah gelap.
***
Satu hentakan saat pintu mobil dibuka menarik kembali Nadine pada kenyataan. Disampingnya Megan duduk dengan raut muka yang begitu dingin meski Nadine telah menyambutnya dengan senyum yang mengembang.
"Anak Mama, udah gede, ya," Mobil baru berjalan beberapa meter dari rumah Mayang, saat Nadine mencoba memutus rasa canggung di antara keduanya.
Hening. Megan sama sekali bergeming. Gadis itu enggan menjawab. Tidak, meski hanya untuk satu katapun. Menatap lurus ke depan dengan raut wajahnya yang tetap datar tak bereaksi.
"Mama, tau, kamu nggak akan nolak tinggal sama, Mama. Karena Mama, juga tau kalo anak Mama, ini kangen," Nadine tak gentar. Sikap diam Megan tak sekonyong-konyong membuatnya bungkam. Wanita itu terus mencoba akrab dengan puterinya yang terlanjur menganggap dirinya sebagai orang asing.
Tak dipungkiri, seketika hatinya berdenyut nyeri menyaksikan Megan mendengkus tak suka sembari memutar kedua bola matanya, sebelum akhirnya membuang arah pandangan ke samping. Pemandangan di luar sana tampak lebih menarik bagi Megan.
Lagi-lagi, Nadine tersenyum. Namun kali ini adalah senyum tipis sarat akan kepedihan. Bukan senyum sumringah seperti sebelumnya saat dirinya menyambut Megan yang sudi berada dalam satu Mobil dengannya. Terlebih satu tujuan.
Nadine tak pernah mengira, hati puterinya akan sekeras ini. Dia tak menduga bahwa akan membutuhkan waktu untuk meluluhkan hati puterinya. Yang tadinya dia pikir, setelah kedatangannya akan diterima dan setelah kata maaf terucap maka selesai, ternyata tidak. Nyatanya Nadine salah besar tentang itu.
Dia salah mengira jika puterinya adalah sosok yang akan mudah dibujuk rayu.
Disepanjang jalan, Nadine memutuskan untuk tidak bicara lagi. Sedikit memberi ruang untuk Megan, dia tak mau terkesan memberi rasa tak nyaman pada puterinya. Terlebih lagi, ini adalah kali pertama kebersamaanya dengan Megan, setelah sekian lama. Dia tidak ingin kalau nantinya, Megan menjadi tak menyukai dirinya lebih dari ini.
Tujuannya membawa Megan adalah untuk memperbaiki kesalahan, pikirnya. Menebus segala kebodohan yang pernah membuatnya menyesal, kali ini Nadine tak mau jika sampai mengulanginya lagi. Itu adalah tekatnyanya.
Nadine. Tak ada yang tau apa yang akan terjadi di masa depan.
---
Keheningan masih berlangsung di antara keduanya selama beberapa jam. Hingga mobil memecah jalanan menuju sebuah perumahan elite, barulah keheningan di antara mereka berakhir saat mobil berhenti di depan sebuah pintu gerbang rumah mewah, menunggu satpam membukanya.
"Kita sudah sampai, ini rumah Mama, dan rumah kamu juga." Megan tak bersuara. Matanya memindai setiap sudut halaman rumah. Gadis itu terhenyak saat Nadine mengucapkan sebuah fakta yang sangat mengejutkan baginya. Hal yang belum pernah Megan ketahui sebelumnya.
"Di dalam, Adik dan Kakak kamu, sudah menunggu. Ada Ayah juga," Senyum mengembang Nadine persembahkan saat Megan menoleh cepat ke arahnya. Nadine tentu bukan tak tau apa yang gadisnya pikirkan. Tapi Nadine tak ambil pusing. Seiring berjalannya waktu, mereka akan saling mengenal satu sama lain pikirnya. Terlebih usia Marsha, puteri lainnya tak berbeda jauh dari Megan.
Ya, Marsha adalah puteri sambung Nadine dari suami barunya.

Bình Luận Sách (84)

  • avatar
    MeilinaRadinka

    buku yang baik dan sangat mudah untuk dibaca sangat di mengerti

    18d

      0
  • avatar
    แย่มาก

    ihhh ceritaa nyaa baguss, sukaaaa🖤

    14/08

      0
  • avatar
    Fyra Azzahra

    Ceritanya sangat menarik dan bagus

    08/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất