logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

MEGAN

MEGAN

Ellea Mayo


1. Mimpi yang sama

*"Ayah ...! Ayah ...!" Suara sosok gadis kecil itu bak tertelan suara petir yang menyahut. Tubuh mungilnya menggigil menahan kebas di sekujurnya. Sesekali tangan kecil itu terangkat mengusap wajah demi memperjelas pandangan yang mengabur terhalang air hujan. Berlari kesana-kemari mencari sosok Ayah yang tak kunjung ditemukan, gadis kecil itu celingukan sebelum memutuskan untuk benar-benar menyerah.*
*Bukan keinginannya, melainkan tubuh kecilnya sudah tak sanggup lagi bertahan. Mati rasa.*
*Di tengah derasnya gemericik hujan, bibirnya yang telah membiru berhenti bergetar. Perlahan matanya terpejam bagai tersihir. Bahkan gelegar petir yang bersahutan seolah bergemuruh menyerukan namanya untuk membuatnya bangun.*
*Sayangnya, gadis kecil itu sama sekali tak terusik. Gadis itu tergeletak membawa asa dan harap yang tak kunjung datang*
***
Di tepian ranjang, di dalam sebuah kamar yang bernuansa serba putih, Mayang menatap prihatin sosok cucunya yang terbaring gelisah. Tubuhnya yang sedari tadi bergerak tak menentu, sesekali menghentak kuat-kuat. Keringat dingin yang membasahi wajahnya seolah menjadi saksi bisu atas mimpi buruk yang menyiksa.
Berkali-kali Mayang menepuk pipinya, tapi Megan tak kunjung sadar. Mayang hampir kehilangan cara merampas mimpi darinya.
"Ya allah, gusti ... Bangun, Nduk," Mayang mengesah panjang.
Ini bukan pertama kali. Sudah kesekian kalinya Megan mengalami mimpi yang sama setiap malamnya, tapi ini pertama kalinya Megan mencapai kondisi yang seperti ini. Biasanya, Megan akan segera sadar dari mimpinya, bahkan dengan sendirinya tanpa harus menghentak-hentak gelisah begini.
Mayang yang semula tenang mulai terpancing panik. Dirinya menjadi tak sabar.
Pikirannya yang berkecamuk terus berputar hanya pada hal itu-itu saja yang tak juga dapat dia temukan jawabannya.
Bagaimana dan apa lagi yang harus dia lakukan, agar cucu terkasihnya itu tidak terus menerus terkungkung dengan masalalu yang merenggut masa kecilnya. Masalalu yang telah membawanya pada trauma yang berkelanjutan sampai saat ini. Itu saja. Hanya itu yang terus dia pikirkan.
Tak ada yang tau apa yang dirasakan seorang Megan. Secara fisik dia memang tak terlihat seperti orang sakit, tapi secara mental bahkan Mayang sekalipun tak cukup memahaminya.
Bukan berarti tak mau tau. Mayang hanya tau bahwa cucunya sangat menderita saat bangun tidur dalam keadaan seperti ini. Hampir setiap malam yang dilalui Megan tak pernah tenang menurutnya, tapi ternyata hari ini lebih parah dari biasanya.
"Ayah ...!" Mayang nyaris memekik kaget. Di depannya, Megan tiba-tiba bangun terduduk menjerit panjang. Napasnya tersengal dengan mata melebar, menatap lurus ke depan.
Oh, Megan. Butuh waktu beberapa saat baginya untuk menyadari keadaan sekitar, sebelum akhirnya berhambur memeluk Mayang setelah menyadari keberadaannya.
"Megan, rindu, Ayah, Uti" erangnya tertahan. Remasasan di bahu Mayang mengiringi tubuhnya yang bergetar menahan tangis.
Jika biasanya Mayang akan menenangkan Megan, tapi tidak untuk sekarang. Saat ini bahkan Mayang terlalu lemah untuk meredam tangisnya sendiri lantaran terbawa suasana prihatin dan khawatir atas apa yang terjadi pada cucunya itu.
"Sudah, Nduk ... Lupakan semua itu. Mau sampek kapan kamu seperti ini? Uti nggak tega liatnya, Nduk, duh gusti ...," Lagi, Mayang mengesah. Dia sudah tak tahan dengan keadaan Megan yang terus seperti ini. Sudah sebisa mungkin dilakukannya segala cara untuk membuat Megan melupakan masalalunya, tapi tetap terasa percuma. Bahkan Mayang rela meninggalkan satu-satunya rumah peninggalan mendiang suaminya demi menghapus jejak kenangan yang menyedihkan itu.
Tak ada yang menyadari sebelumnya bahwa peristiwa beberapa tahun silam menggores luka batin seorang Megan. Gadis kecil yang dimana saat itu di usianya masih sangat membutuhkan kedua orang tuanya. Namun dengan egoisnya sang Ibu justeru memilih pergi tanpanya, dan memulai hidup barunya dengan seorang duda pengusaha beranak satu. Sejak saat itu Mayang memutuskan untuk merawat Megan seorang diri setelah kecelakaan tunggal yang merenggut satu-satunya cinta pertama Megan. Ayahnya.
Tak ada cara lain. Sesak yang dirasakan Mayang mau tak mau mengharuskannya mengambil keputusan berat. Keputusan yang sering dia pikirkan dengan mempertimbangkan keadaan Megan. Keputusan yang semestinya dia lakukan sejak dulu, yang terhalang rasa takut dan juga rasa tak rela dibenaknya.
----
Megan bukan tak tau hari ini hari apa. Dia bahkan sudah siap dengan seragam Almamater sekolahnya.
Gadis itu hanya tidak tau ini disebut hari buruk atau hari yang menyenangkan.
Megan terpaku di ambang sekat pembatas antara ruang tamu dan ruang makan. Langkahnya yang semula mantap keluar dari kamarnya mendadak berhenti di tempat. Tatapannya lurus menghujam seorang wanita yang dengan anggunnya duduk di ruang makan bersama Mayang.
Seolah menembak wanita itu dengan pertanyaan apa yang dia lakukan disini, tatapan Megan lebih seperti menantang.
Dengan langkah gemulai, wanita itu berjalan ke arah Megan. Senyumnya anggun mengembang. Satu tangan dibiarkannya tetap terlipat seolah memegang sekat diafragmanya bak puteri Indonesia. Satu tangan lagi terangkat ke puncak kepala Megan hendak mengelus kepala puteri semata wayangnya.
"Kamu, sudah bangun, Say-"
"Megan, berangkat dulu, Uti."
Nadine tertegun.
Megan, puterinya berlalu begitu saja, seakan tak peduli dengan kehadirannya. Gadis itu bahkan tak mengucapkan sepatah katapun padanya. Tidak untuk sekedar menyapa setelah sekian lamanya tak bertemu.
Gadisnya kini sudah besar. Nadine sepenuhnya menyadari kesalahannya. Sangat sadar. Dalam hatinya, Nadine akan merasa lebih baik jika seandainya Megan memaki, mengumpat dan, berteriak kepadanya daripada diam seperti ini. Nadine merasa dirinya sudah tak dianggap sebagai seorang Ibu lagi.
"Kamu, nggak sarapan dulu?"
"Megan, nggak laper, Uti,"
Secepatnya Nadine menarik tangan yang mengatung diudara. Dirinya tersentak saat Megan beranjak keluar setelah mencium punggung tangan Mayang.
Nadine berlari mengejar ke teras rumah, namun tak sempat. Gadisnya telah berlalu pergi mengayuh sepeda mini.
Jika Nadine tak salah ingat, sepeda itu adalah hadiah ulang tahun Megan yang ke 10 tahun, pemberian darinya. Meski tak langsung dirinya sendiri yang mengantarkan sepeda itu untuk Megan, tapi Nadine sendirilah yang memilihkan sepeda itu untuk gadisnya.
Salahnya yang saat itu Nadine lebih memilih jasa antar barang untuk mengirimkan sepeda berwarna ungu, yang kini telah sedikit memudar warnanya.
Salahnya juga jika sejak saat itu tak pernah lagi dia kirimkan hadiah di setiap bertambahnya usia Megan.
Nadine menyesal.
Nanar matanya menatap kepergian puterinya yang semakin menjauh. Tetes demi tetes bulir bening yang lolos begitu setia menemaninya berdiri di teras, hingga siluet sesosok Megan semakin mengecil, lalu benar-benar hilang dari pandangan di pertigaan jalan setapak perkampungan.
"Masuk, Nad. Anakmu itu butuh waktu ... Bertahun-tahun itu bukan waktu yang sebentar," Nadine terhenyak. Diusapnya tangan Mayang yang bertumpu pada bahunya. Sedangkan tatapannya masih lurus ke depan, sejenak Nadine terpikirkan sesuatu.
"Tidak, Bu. Hari ini juga, saya harus membawa Megan pulang bersama saya," Sekilas Nadine beradu tatap sendu dengan Mayang, untuk sekedar saling meyakinkan. Detik berikutnya Mayang menghela napas berat, pasrah, sesaat setelah Nadine bergegas masuk ke dalam.

Bình Luận Sách (84)

  • avatar
    MeilinaRadinka

    buku yang baik dan sangat mudah untuk dibaca sangat di mengerti

    18d

      0
  • avatar
    แย่มาก

    ihhh ceritaa nyaa baguss, sukaaaa🖤

    14/08

      0
  • avatar
    Fyra Azzahra

    Ceritanya sangat menarik dan bagus

    08/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất