logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 6 - Mencoba

"Kok kamu sekarang pandai banget sih bicaranya?" ujar Bintang seraya menatap Tisya yang sibuk di wastafel.
Tisya kemudian diam, sambil tetap menatap ke arah air yang mengalir. Ya, dia memang sudah tidak tahan lagi memendam sakit hati yang diciptakan oleh Bintang sejak awal mereka sah menjadi suami istri.
"Ya, karena aku sudah muak dengan yang namanya sabar. Semua sudah memiliki batas masing-masing termasuk sabar.
Kadang orang yang sabar itu memiliki amarah atau uneg-uneg yang dia pendam, suatu saat akan meledak," jelas Tisya tanpa melihat ke belakang.
Bintang maju---laki-laki itu berdiri di dekat Tisya. Memandang Tisya dengan diam, walau memang istrinya tidak melihat ke arah dia.
Tisya memutuskan untuk tidak menghiraukan Bintang yang berdiri di dekatnya, perempuan itu masih terus bermain air yang mengalir di wastafel.
"Dulu, D---"
"Deffi? Deffi lagi? Percuma ya, Mas. Aku cerita panjang lebar, kalau ujung-ujungnya Deffi terus yang menjadi prioritas di pikiran kamu," ujar Tisya sambil mematikan airnya.
Perempuan itu membiarkan kegiatan di dapur yang belum selesai, lebih tepatnya mengurungkan niat untuk memasak. Dia malah memilih untuk pergi kembali ke kamar, Bintang cepat mengejarnya.
"Oke, oke, aku memang butuh waktu untuk melupakan Deffi. Tidak secepat ini, jadi aku minta tolong kamu memaklumi," jelas Bintang sambil duduk di bibir ranjangnya yang sudah rapi.
"Sampai kapan? Ha? Sampai kapan?" tanya Tisya dengan menatap lekat-lekat suaminya.
Ini memang kali pertama Tisya terlibat perbincangan panjang dengan Bintang, walau bukan hal romantis yang mereka obrolkan. Melainkan sebuah pertikaian.
"Aku tidak tahu, cepat atau lambat," jelas Bintang dengan lirih.
"Berarti kamu tidak niat," sambung Tisya.
"Aku niat, tapi aku juga tidak tahu kapan Deffi benar-benar pergi dari pikiranku," jelas Bintang dengan sedikit ragu-ragu.
Tisya kemudian melihat gawai yang usang itu, dia mematikan alarm yang berdering dengan kencang, mengganggu obrolan antara dia dengan Bintang.
Bintang sedikit kasihan, melihat gawai milik Tisya, yang benar-benar sudah pengeluaran lama. Padahal dia baru saja menjadi seorang menantu dari konglomerat.
Nanti siang deh, aku belikan hp untuk dia. Batin Bintang saat melihat ke arah Tisya.
Tisya tidak mau berdebat terlalu jauh, karena memang percuma saja Bintang masih memikirkan Deffi. Perempuan itu memilih untuk segera melakukan salat.
Bintang melihat istrinya keluar dari kamar, laki-laki itu segera merebahkan diri dengan kedua tangan sebagai bantalannya. Ingin sekali dia ikut salat berjamaah, tetapi Bintang belum mandi.
"Deff, apa benar aku belum mencintai Tisya? Tetapi kapan waktu itu tiba?" ucap Bintang dengan sangat lirih.
Dia memandang langit-langit yang ada di kamarnya, kehidupan dia selepas menikah benar-benar campur aduk, tidak seperti pasangan pada umumnya.
Menikmati rasanya bulan madu, dan keharmonisan sebagai pengantin baru yang sangat erat bumbu-bumbu percintaan yang semerbak dengan wangi.
Bintang jadi sedikit iri dengan sahabatnya, Gaga, seorang laki-laki yang kini sekaligus menjadi rekan bisnisnya. Sama-sama pengantin baru, tetapi di dalam perut istri Gaga sudah dikaruniai seorang janin.
"Andai saja, ada Deff," Bintang kemudian tersadar dan mulai belajar melupakan Deffi.
"Andai saja, aku langsung jatuh cinta dengan Tisya, pasti kami sudah melakukannya," ralat Bintang dengan pandangan yang masih fokus ke atas.
Tidak berselang lama, Tisya masuk, kemudian dia melihat ke arah Bintang yang masih merebahkan dirinya. Laki-laki itu tidak mengetahui bahwa Tisya sudah selesai salat.
"Minggir, aku mau bersih-bersih kamar," ujar Tisya sambil berbicara sedikit lirih dan kaku.
Bintang bangkit dari posisinya, laki-laki itu langsung berjalan turun. Tanpa terlibat interaksi lagi dengan istri yang belum dia sentuh itu. Bersamaan dia sampai di lantai dasar, gawainya berbunyi.
Ada pesan masuk dari grup Keluarga Besar Raharja, Bintang segera membukanya, takut kalau ada sesuatu yang sedang terjadi di rumah sebelah. Karena yang mengirim adalah Mardina.
Mama: Anak-anak, jangan ada yang masak, sarapan di rumah Mama sama Papa saja. Kami masak banyak.
Bintang masih terus melihat grup tersebut, kemudian ada pesan baru lagi yang datangnya dari Kirana dan juga Anggun.
Mbak Kirana: Oke, Ma. Untung aku belum mulai masak. Tang, nanti ajak Tisya juga.
Mbak Anggun: Iya, Ma. Nanti Ayya dan adeknya juga biar sarapan di sana.
Bintang kemudian mengetikan sesuatu, tapi kalah dengan Tisya yang sudah lebih dahulu mengirimkan sesuatu di grup keluarga.
Tisya: Iya, Ma. Nanti aku dan Mas Bintang juga ke sana.
Bintang langsung menuju kembali ke atas, melihat ke arah kamar, Tisya sudah selesai bersih-bersih dengan sangat cepat. Dia sekarang duduk di sofa sekaligus ranjang tidurnya.
"Kamu tahu kan, nanti kita harus apa?" tanya Bintang memastikan kepada Tisya
"Ya, aku tahu, berpura-pura mesra selayaknya pengantin baru pada umumnya kan? Aku sudah hapal dengan peranku saat mengunjungi rumah Papa dan Mama," jelas Tisya seraya tersenyum lebar ke arah Bintang.
Ya, ini kali kedua setelah mereka resmi menjadi pasangan suami istri, yaitu sarapan ke rumah kedua orangtuanya. Di kali pertama mereka datang, Bintang benar-benar mengingatkan supaya Tisya bersikap mesra.
"Terus, jangan bawa ponselmu. Nanti siang atau sore, aku jemput ke rumah, kita pergi beli gawai ponsel baru," jelas Bintang.
"Oke," jawab Tisya dengan singkat.
Biru kemudian tanpa sungkan melepaskan kausnya dan mencari handuk yang berada di balkon kamar mereka. Dia akan melaksanakan kewajibannya, karena memang masih ada waktu, sebelum matahari benar-benar terbit.
Tisya yang sangat peka, kemudian dia membuka lemari dan mencarikan baju untuk salat Bintang. Entah, laki-laki seperti apa yang tidak bersyukur memiliki istri semacam Tisya.
Walau keberadaannya yang masih belum dianggap penuh oleh suaminya, perempuan itu masih tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri.
"Makasih, Sya," ucap Bintang saat dia sudah keluar dari kamar mandi.
"Ya," jawab Tisya singkat.
Bintang berganti pakaian dengan masih sama-sama di dalam kamar dengan Tisya, perempuan itu memilih untuk menundukan pandangannya.
Selepas berganti pakaian, Bintang langsung berjalan ke ruangan sebelah untuk melaksanakan salat.
Tisya memilih untuk membuka gorden dan pintu yang menuju ke balkon, supaya udara pagi hari yang segar bisa masuk ke dalam kamar tanpa ada gangguan.
"Segar sekali pagi ini, Tuhan," ujar Tisya saat menyandarkan kedua tangannya di pagar pembatas.
Walau memang langit masih gelap, Tisya bisa melihat kesibukan yang ada bawah sana. Banyak orang yang berjalan di area blok rumah ini.
Ketika Tisya berada di balkon memang ada suara dari masjid---menyiarkan bahwa ada salah satu warga yang meninggal dunia. Entah di blok mana. Karena, perumahan ini sangat luas.
"Umur seseorang memang tidak ada yang tahu, tetapi merelakan orang yang sudah tiada suatu keharusan bagi semua pihak keluarga," gumam Tisya.
Perempuan ini sangat menikmati udara yang begitu sejuk, walau tercampur oleh kabar duka. Kemudian perempuan itu merasakan pinggangnya dipegang oleh seseorang.
"Ngap--"
"St, diam," bisik Bintang yang berada tepat di belakang Tisya.
Tisya sedikit risih, karena memang ini kali pertama Bintang berperilaku romantis kepadanya. Apa ini hanya akting semata karena sebentar lagi mereka akan kerumah orangtuanya? Tisya tidak tahu.

Bình Luận Sách (156)

  • avatar
    Rafa Kusnaedi

    Sangat bagus ceritanya saya suka banget

    2d

      0
  • avatar
    AdrianFatah

    Ceritanya sangat bagus!

    28d

      0
  • avatar
    PutriFadila

    crta ny sgt menarik

    15/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất