logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 2 - Pekara Sekolah

Tisya kaget, melihat Kirana tiba-tiba datang ke rumahnya dan menyaksikan Tisya sedang membersihkan taman yang berada di depan rumahnya.
"Mbak," sapa Tisya sambil melihat Kirana yang berdiri di area teras.
Rumah mereka memang bermodel sama, cuma dengan bagian gerbang dan ornamen pendukung dibuat berbeda oleh pemilik rumah masing-masing. Termasuk rumah Bintang---pagar di rumahnya sangat rendah.
"Tisya, Bintang mana?" Kirana bertanya dengan senyum ke Atisya.
Dia merasa bahwa kedua kakak iparnya, sudah mulai bisa menerima kehadiran dia secara tiba-tiba, sebagai anggota keluarga besar Raharja dalam barisan para menantu.
"Sepertinya, Mas Bintang belum bangun, Mbak." Ucap Tisya sambil berdiri tegak.
"Hah? Itu anak ternyata masih sama ya, molor terus. Padahal sudah punya istri." Gumam Kirana dengan nada gemas.
Sejurus kemudian, Tisya berjalan ke tempat cuci tangan yang ada di depan rumah. Dia menebak, wastafel ini sudah dipasang sejak awal pandemi dulu.
"Perlu aku panggilkan, Mbak Kirana?" Tisya menawarkan kepada Kirana.
"Eh, gak perlu. Sebenarnya aku mau minta tolong Bintang, buat ngantar Arav ke sekolahnya. Yasudah, biar sama supirnya Papa saja." Ucap Kirana sebelum dia kembali ke rumahnya.
Tisya berjalan masuk, menuju ke kamar mereka. Memastikan, Bintang masih terlelap---terbuai dalam mimpinya yang panjang sejak semalam.
Ketika pintu sudah berhasil terbuka, dia menemukan Bintang sedang berbaring sambil bermain gawainya.
"Tadi, Mbak Kirana ke sini," gumam Tisya sambil duduk di sofa.
"Astaga, ngantar Arav sekolah, kenapa kamu gak bangunin aku sih?!" Bintang menegakan badan sambil berbicara dengan nada yang sedikit tinggi.
Tisya kaget, dia tidak menyangka kalau reaksi dari Bintang berbeda dengan apa yang ada dipikirannya. Berterima kasih, menanyakan apa tujuannya ke sinisini.
"Aku mana tahu, Mas. Mas juga gak bilang kalau sudah mengatur janji dengan Mbak Kirana, Mbak juga gak bercerita kalau sudah menghubungi kamu semalam."
"Alasan saja kamu!"
"Mas juga kalau sudah bangun, tidak langsung turun." Gumam Tisya.
Inikah sifat asli dari Bintang? Keluar di waktu beberapa hari setelah mengucapkan akad nikah dengan dirinya? Tisya kemudian diam, begitu juga dengan Bintang yang kesal---membanting gawai miliknya ke atas kasur dengan kasar.
"Apa perlu aku ke rumah Mbak Kirana sekarang?" Tisya berbicara sambil mengeluarkan beberapa tetes air mata.
"Gak perlu, mungkin Arav juga sudah berangkat dengan supir Papa," ucap Bintang dengan suara datar.
"Kamu memang tidak sama dengan Deffi," sambung Bintang seraya menatap Tisya yang sedang duduk.
Deg! Hati istri mana yang tidak sakit ketika mendengar suaminya yang sah, membandingkan dia dengan perempuan lain yang notabene mantan kekasihnya sendiri.
Air mata Tisya semakin deras, dia hanya bisa menuduk sambil merasakan hati yang tiba-tiba sakit setelah mendengar perkataan dari Bintang baru saja.
Bintang mendengar suara sesenggukan Tisya yang keluar dari mulutnya dengan sangat pelan, dia baru menyadari bahwa perkataan tadi menyakiti hati Tisya.
Tetapi gengsi yang tinggi membuat Bintang malah pergi meninggalkan Tisya seorang diri di kamar, laki-laki itu memilih ke dapur untuk membuat secangkir kopi.
"Kalau Deffi, mungkin sudah membikinkan aku minuman, bukan aku yang bikin sendiri. Dasar istri yang tidak berguna," Gumam Bintang sambil menyalakan kompor dengan sangat kasar.
"Ya, aku memang tidak sebaik dan sesempurna Mbak Deffi, Mas. Mbak Deffi memang segalanya buat Mas Bintang."
Ternyata Tisya sudah berdiri di dekat dapur dan mendengarkan kalimat yang diucapkan Bintang baru saja. Bintang langsung menoleh ke arah Tisya.
"Terserah, emang kenyataanya seperti itu. Kamu tidak peka."
"Tidak peka apanya? Aku sejak tadi pagi di depan, nunggu tukang sayur sambil membersihkan taman. Kamu bilang itu tidak peka?"
Sebenarnya Atisya tidak mau durhaka kepada suaminya sendiri, tetapi dia tidak terima kalau dibandingkan dan dijelek-jelekan seperti sekarang. Harga dirinya menyuruh dia untuk berbicara.
"Kalau kamu tidak setuju dengan permintaan Mbak Deffi saat itu, kenapa kamu menerimanya kalau akhirnya menjadi sebuah keterpaksaan seperti ini?"
Bintang tiba-tiba kehilangan kata-kata, laki-laki itu membisu sambil menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam gelas yang sudah dia tuang satu bungkus kopi instan.
"Hei, aku sedang bertanya kepadamu. Kenapa kamu menghindar?" Ucap Tisya sambil melihat Bintang berjalan ke luar---duduk di sebuah gazebo di taman depan.
Tisya tidak mengikutinya, dia memilih untuk duduk di sofa yang ada di ruang santai. Perempuan itu benar-benar tidak menyangka kalau sifat asli Bintang seperti ini.
Dia jadi teringat dengan ucapan sahabatnya---Miftah Al Islah, perempuan yang menjelma sebagai selayaknya saudara.
Miftah, pernah berbicara empat mata dengan Tisya. Kalau sebuah cinta memang menjadi pondasi utama dalam rumah tangga.
"Miftah, sudah lama aku tidak menghubungi dia." Tisya menyeka sisa-sisa air mata yang masih tertinggal di pipinya.
Tisya lupa, dia menaruh gawainya masih di kamar. Mau tidak mau, perempuan ini harus masuk ke kamar untuk mengambil telepon genggam itu.
Pintu tidak tertutup, terbuka dengan sangat lebar. Bintang sedang duduk menghadap pemandangan di luar kamar. Jendela dan tirai kamar sangat lebar.
"Kamu cari apa?" ucap Bintang tanpa menatap Tisya.
Gawai milik dia sudah tidak ada di atas sofa, dia sampai mengangkat bantal dan selimutnya yang biasa dipakai tidur---nihil.
"Ponsel kamu aku taruh di atas nakas, baterainya habis. Mau aku cas, tapi gak lihat cas kamu." Perkataan Bintang ini masih tidak ada reaksi dari Tisya.
Tisya berjalan melewati Biru, menuju pada satu-satunya nakas yang ada di kamar milik mereka.
Tanpa basa-basi, Tisya langsung keluar dan kembali ke bawah. Cas dia memang disimpan di dekat televisi digital.
"Aku coba hubungi Miftah kali, ya, siapa tahu dia sudah pulang dari tempat kerjanya di panti asuhan."
Sahabatnya itu mengabdi di panti asuhan yang menampung anak-anak dengan segala latar belakang dan status sosial serta permasalahan yang berbeda dari para orangtua mereka.
Tisya: Kamu masih di panti Mif? Kalau sudah santai kabari aku ya, aku pengin main ke sana.
Pesan itu berhasil dikirimkan oleh Tisya untuk Miftah. Kemudian dia mendengar tukang sayur yang biasanya berkeliling sudah tiba dan berteriak memanggil pembeli.
Tidak menunggu lama, Tisya sudah kembali dengan barang belanja yang terbilang cukup banyak untuk hari ini saja. Karena Bintang setiap hari, minta berganti menu.
Hingga proses memasak yang memakan waktu cukup lama, akhirnya selesai. Bintang juga sudah turun karena mencium bau masakan milik Tisya.
"Masak apa?"
Tisya tidak bersuara, padahal Bintang sudah tahu sendiri karena sudah matang dan siap di atas meja makan yang berbentuk lingkaran dengan warna putih.
Satu kelebihan yang ada dari dalam diri Tisya adalah dia pandai memasak, tetapi Deffi tidak bisa. Batin Bintang seraya mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
Entah kurang apa masakanku, sampai dia lama sekali mengunyahnya, Batin Tisya juga sambil memakan masakannya---walau dia tidak duduk satu meja dengan Bintang
Perempuan itu bingung, dengan hubungan rumah tangga yang hambar, tidak seperti Miftah dan teman-teman Tisya lainnya. Harmonis dan romantis kepada pasangannya. Lantas sampai kapan seperti ini?

Bình Luận Sách (156)

  • avatar
    Rafa Kusnaedi

    Sangat bagus ceritanya saya suka banget

    2d

      0
  • avatar
    AdrianFatah

    Ceritanya sangat bagus!

    28d

      0
  • avatar
    PutriFadila

    crta ny sgt menarik

    15/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất