logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

10. Gak Mungkin Aku Hamil

Andai aku tau kalo hidupku akan begini, aku memilih untuk gak diselamatkan saja tiga belas tahun yang lalu. Harusnya aku berhenti hidup waktu itu, dan gak menjalankan kehidupan yang bejat seperti sekarang.
Terbayang betapa Ibu dan Bapak sangat menderita saat tau aku divonis  berpenyakit sesak nafas setelah meminum minyak tanah.
Waktu itu usiaku masih enam tahun. Aku terbangun di tengah malam saat Bapak yang di sampingku terlelap. Aku merengek meminta minum, dan Bapak menyuruhku untuk meminum air yang ada di dalam botol dekat cerek. Perkiraan bapak waktu itu, di dalam botol tersebut adalah air. Tapi, setelah aku minum dan kejang-kejang, barulah beliau sadar bahwa aku telah keracunan. Botol itu berisi minyak tanah.
Aku masih ingat, tubuhku dibopong ke rumah sakit dan tiba disana saat subuh. Aku ingat jelas perawat yang merawatku seorang laki-laki bertubuh sangat tinggi, hingga tingginya hampir menyentuh pintu kamar rumah sakit.
Dokter yang menanganiku sering bergurau dengan saudaraku yang saat itu menjagaku menggantikan Ibu.
Setiap aku merasa bosan berada di kamar, Ibu selalu mengajakku keluar. Menggendongku, sembari mengangkat infus, kami berdua menyusuri lorong rumah sakit. Mengunjungi banyak burung warna warni yang berkicau di dalam sangkar besar, mereka membuatku terhibur.
Temanku satu kamar, yang bangsalnya bersebelahan dengan bangsalku adalah seorang perempuan yang seumuran denganku. Aku masih ingat dia, karena saudaraku membelikanku baju yang sama dengan miliknya. Sebuah dress selutut bergambar dora, berwarna pink, sementara miliknya berwarna hijau daun.
Entah berapa lama aku dirawat disana, hal yang paling mengesankan yang masih kuingat hingga sekarang adalah sebuah becak yang dikayuh pria paruh baya, membawa beban kami sekeluarga. Bapak, Ibu, dan aku pulang dari rumah sakit menaiki becak itu. Melewati jalanan kota, dan Ibu berbisik kepadaku saat melewati sebuah tempat perbelanjaan terbesar di kotaku waktu itu. "Itu alga." katanya. Aku hanya menatap gedung perbelanjaan itu hingga tempat itu mengecil dari radarku.
Setiap bulannya aku masih perlu rontgen, kembali mengunjungi rumah sakit, lalu pulangnya membawa oleh oleh berupa foto rontgen hitam putih yang aku gak faham sama sekali foto apa itu.
Foto itu masih ada hingga sekarang, dan aku sudah tau apa gambar yang berwarna hitam putih yang dulu kuanggap gak jelas itu. Itu foto tulangku. Pantas saja, setiap kali rontgen dokter menyuruhku melepas baju, dan melepas kalung emasku.
Perjuanganku untuk hidup panjang dan rumit sekali. Terlepas dari itu, Ibu dan Bapak adalah sosok pahlawan yang membantuku untuk bertahan hidup. Semua yang mereka lakukan, juga doa yang mereka panjatkan untukku gak pernah absen mereka haturkan.
Secuil memori yang masih kuingat, Ibu menangis tersedu sembari tangannya menengadah berdoa. Sementara aku di sampingnya, terbaring lemas berusaha bernafas, meskipun terasa berat dan terdengar bunyi 'ngik ngik' setiap kali aku menarik nafas.
Air mataku mengalir deras mengenang kembali memori itu. Terlebih ingat betapa kerasnya perjuangan Ibu dan Bapak membesarkanku hingga sekarang. Betapa sabar dan banyak pengorbanan yang mereka lakukan. Aku yang mereka harapkan tumbuh besar dengan baik, hidup dalam jalan lurus, dan jauh dari kehinaan, telah meruntuhkan harapan itu.
Aku merasa gak pantas menjadi anak Bapak. Tingkah lakuku melenceng gak sesuai dengan materi dakwah yang Bapak gemborkan setiap pengajian. Haruskah aku bunuh diri saja, agar kedua orang tuaku gak menanggung malu atas apa yang kuperbuat?
Hilang kesucian, menanggung dosa, dan mengandung bayi haram. Hina di mata Tuhan, hina di mata masyarakat, juga hina di matanya sendiri. Gak ada yang diharapkan dari perempuan seperti itu. Hanya mempermalukan keluarga, mengecewakan orang yang menyayanginya, menghancurkan masa depannya sendiri.
Gak ada gunanya aku hidup.
Hal yang membuatku langsung jatuh lemas gak berdaya, bukan karena mendapat nilai kosong saat ulangan matematika saat masih di bangku SMK. Alat itu menunjuk dua garis merah, dan aku sangat tau apa artinya itu.
Kepalaku langsung berputar, mataku merebak bulir air mata menatap benda sialan di tanganku. Garisnya gak berubah meski aku menatapnya tanpa kedip dalam waktu yang lama.
"Aku hamil," kataku disela isak tangis yang belum berhenti semenjak aku mengetahui alat uji kehamilan menunjukkan dua garis merah. Kini, alat itu tergeletak di meja depanku.
"Ini beneran?" tanyanya dengan sorot mata gak percaya. Mata itu menatapku setelah sekian detik menatap testpack yang kubawa untuk kutunjukkan kepadanya.
"Aku gimana Ki? Aku gimana?" Air mataku mengalir deras. Bayangan Ibu yang menggendongku sambil mengangkat infus berputar di kepalaku. Dalam genangan air mata, kulihat cowok di depanku menatapku sayu.
"Ini anak kamu," kataku lagi di sela air mataku yang terus mengalir.
Dia mengacak rambutnya frustasi, tampak kebingungan di raut wajahnya.
"Bisa jadi alat ini rusak," katanya lalu berdiri. Diambilnya tespeck itu, digenggamnya kuat.
"Kamu tunggu disini, aku mau cari alat yang lebih akurat," Setelah itu, Barikli pergi.
Mungkin Barikli benar. Testpack itu tidak akurat. Aku bodoh kalo mempercayai dengan mudah hasil dari alat tes kehamilan itu.
Mari hilangkan semua fikiran negatif. Menanamkan kepercayaan kalo alat itu yang rusak, dan aku gak hamil.
Mengusap air mataku, mataku tajam menerawang. Membangun kembali harapan masa depanku yang tadi runtuh, aku meyakinkan diri dan kembali menumbuhkan harapan itu.
Setengah jam, cowok itu baru kembali dari penjelajahannya mencari alat akurat menurutnya.
"Aku beli banyak, gak mungkin semuanya rusak," katanya lalu meletakkan lima testpack berbagai merk di meja.
"Kenapa banyak banget?" tanyaku kaget.
"Biar lebih akurat,"
Barikli menatapku dengan lesu, menyibakkan rambut yang menutupi sebagian keningnya, lalu tangannya meraih sesuatu dari dalam kantong kresek yang dibawanya. "Buat kamu," katanya sambil meletakkan sekotak susu strawberry ditanganku.
###
'plak plak plak'
Bunyi itu terus berdendang di telingaku. Diiringi rasa sakit yang menjalar di bagian pipi, pantat,dan menjalar ke bagian tubuh yang lain. Air mataku gak berhenti mengalir, didukung dengan suara isakku yang kencang, sebagai tanda bahwa aku kesakitan.
Tangan itu masih terus memukul, dan yang dipukul hanya diam sembari menangis tersedu. Kuanggap ini adalah balasan atas perbuatan hina yang kulakukan.
"Ibu melahirkan, membesarkan kamu dengan mati-matian. Begitu kamu besar, kamu malah mengecewakan. Malu-maluin. Ngrendahin derajat orang tua. Ya Allah Ya Rabb, gimana kamu bisa kayak gitu Ca,"
Pukulan itu terhenti, lalu berganti kalimat panjang penuh penyesalan. Isak tangis kemudian terdengar, dengan sedikit keberanian aku mendongak, menatap Ibu yang bersimpuh di sebelahku dengan masih memegang sapu di tangannya, beliau menangis tersedu.
Rasa sakit akibat pukulan ini gak seberapa dibandingkan rasa sakit yang dirasakan Ibu setelah tau bahwa anak perempuan satu-satunya telah berzina. Banyak ilmu agama yang diajarkannya kepadaku sama sekali gak berguna, hingga aku memilih jalanku sendiri melenceng dari jalan lurus itu.
"Kamu hamil sama siapa Ca? Sama siapa?" Bahuku diguncangkannya dengan kencang, mata Ibu yang berkaca-kaca menatapku penuh kebencian.
"Pacarku Bu," jawabku lirih.
"Dimana dia? Suruh kesini. Suruh kesini secepatnya,"
Aku sudah menyiapkan dugaan-dugaan yang akan terjadi kalo orang tuaku tau aku hamil. Aku sudah menguatkan jiwa ragaku untuk menerima kenyataan ini sebelum ini terjadi. Aku sudah kuat, dan aku siap menjalankan apa keputusan selanjutnya,tapi ternyata,aku gak sekuat yang kubayangkan.
Air mataku masih mengalir deras, isak tangisku bahkan lebih kencang,gak peduli kalo tetangga sebelah mendengar, nyatanya seiring waktu namaku akan menjadi perbincangan mereka. Sebentar lagi satu desa akan gempar tentang berita kehamilanku, dan aku akan menjadi artis dadakan.
Kalo yang terlibat hanya aku, aku gak papa, tapi Bapak dan Ibu pasti akan terlibat dengan perbuatan hinaku. Orang orang satu desa pasti akan mengolok-olok Bapak, mengambil kembali kepercayaan yang mereka berikan kepada Bapak, menghapus nilai baik yang mereka berikan kepada Bapak,dan mereka akan meninggalkan Bapak sebagai panutan.
Aku benci dengan semuanya. Aku benci dengan diriku. Seandainya aku gak terbuai dengan apa yang kami lakukan malam itu, kenyataan pahit ini gak akan pernah terjadi.
"Ibu gak mau lagi punya anak seperti kamu Ca. Kamu bukan anak Ibu,"
Kalimat itu terasa nyata, menyambar gendang telingaku, menusuk kalbu. Aku terbangun dengan nafas tersengal, keningku basah dengan keringat, dengan raga belum sepenuhnya sadar, aku merintih pedih, "Ibu, maafin aku,"
Lalu air mata gak bisa kubendung, mengalir meski gak sederas dalam mimpi. Mataku menyipit menerima sinar matahari yang masuk lewat celah jendela kayu kamarku.
Bayangan mimpi tadi masih tergambar samar meski aku sudah berada di dunia realita.
Masih dalam posisi terbaring, tanganku mencari keberadaan handphone yang kuletakkan gak jauh dari tempatku tidur.
Membuka ruang chat Facebook dan menemukan balasan yang sudah dari tadi malam kunanti.
"Jam 9 ketemuan ya Sab. Kita pergi ke dokter,"
Balasan dari Barikli setelah aku mengirim foto kelima testpack pemberiannya yang semuanya menunjuk garis merah dua. Menurut alat tes kehamilan itu, aku dinyatakan positif hamil. Sulit untuk menyangkal kalo alat itu rusak. Gak masuk akal kalo terus kekeuh menyatakan kelima alat itu gak akurat.
Membaca pesan itu, aku segera mengetikkan balasan setuju. Kehamilanku masih abu-abu, dan aku yakin kalo aku memang benar gak hamil. Aku perlu periksa ke dokter, dan harus mendapatkan pernyataan bahwa aku negatif. Aku harus mendapat pernyataan itu. Kenyataan samar itu masih kusimpan rapat, dan selalu mengharap bahwa hasil alat tes kehamilan itu salah. Aku gak mau buru-buru menyimpulkan lalu mengatakan ke Ibu bahwa aku telah hamil di luar nikah. Gak akan pernah, sekalipun nantinya kehamilan itu terjadi padaku, aku akan menutupi semua itu hingga Barikli sah menikahiku. Tapi tetap, harapan utamaku, kehamilan itu semoga gak terjadi padaku.
Pukul sembilan lewat tiga puluh menit, cowok yang mengajakku bertemu di jam sembilan tepat, nyatanya belum terlihat. Setengah jam aku menanti, sembari was-was kalo ada tetangga yang melihatku duduk termenung di depan indomart.
Aku berbohong lagi pada Ibu, beralasan kalo keluarku kali ini untuk cap tiga jari ke sekolah.
"Ayo," katanya begitu tiba di depanku. Aku hanya diam dan mengawasi dengan mataku begitu tadi ada sebuah motor parkir dengan pengendara yang kukenal jelas siapa dia. Tanpa mengucap sepatah kata, aku menanti hingga sosoknya menghampiriku.
Aku pernah membayangkan, suatu saat aku akan merasakan ini. Pergi ke dokter kandungan, ditemani suamiku, yang sebelumnya kami berdua tersenyum bahagia karena tau aku berbadan dua. Mengandung buah hati yang kami nantikan dari sebuah pernikahan atas dasar cinta.
Ya, tapi nanti, bukannya sekarang, yang malah gak ada ikatan pernikahan.
Bariki membawaku ke sebuah rumah sakit di  Tulungagung. Cowok itu tau apa yang kuinginkan, tanpa kuberitau lebih dulu. Bahaya sekali kalo aku pergi ke dokter kandungan di kotaku. Berita tentang kehamilanku pasti akan lebih mudah tersebar di telinga orang-orang terdekatku.
Aku duduk diantara para Ibu hamil yang sedang menunggu antrian. Semua dari mereka, didampingi suami masing-masing. Tanganku mengepal, meredakan debaran jantungku yang serasa balapan. Aku takut. Bukan takut sama dokternya, ataupun omongan orang-orang mengapa ada anak belasan tahun pergi ke dokter kandungan sendirian. Telingaku sudah kupersiapkan untuk kuat menampung nyinyiran itu.
Aku berharap Bariki secepatnya datang. Cowok itu pergi setelah aku mengatakan bahwa aku lapar, karena tadi gak sempat sarapan, terburu-buru untuk segera datang menemui Bariki dan ternyata cowok itu malah terlambat.
Seorang anak kecil berhenti di sebelahku, menebar senyum, lalu berkata kepada seorang wanita yang berdiri di sebelahnya, "Bunda, duduk sini aja ya?"
Yang dipanggil Bunda mengangguk. "Ikutan duduk ya Mbk," katanya padaku. Aku mengangguk mengiyakan.
Anak kecil yang duduk disamping kananku, melirikku lalu mendekat pada bundanya, dan berbisik dengan suara yang bahkan bisa kudengar, "Bunda, kakak disebelah cantik banget ya. Nanti dedek bayi di dalam perut bunda, kalo cewek pasti cantik kayak dia,"
Aku menutup bibir buat menutupi senyumku yang merekah. Bukan karena aku tersipu akan pujian yang anak kecil itu berikan, tapi terhibur dengan suaranya yang kencang yang  bahkan gak bisa dibilang kalo itu adalah bisikan.
"Lama ya? Antri banget soalnya," Barikli datang membawa kantong kresek hitam yang berisi makanan.
Aku menggeser duduk, memberikan ruang agar Barikli bisa duduk di sebelah kiriku.
"Bunda, bunda. Nanti kalo dedek bayinya cowok, pasti ganteng kayak dia," Lagi suara anak kecil itu sangat nyaring, hingga membuat aku dan Barikli menoleh ke arahnya. Merasa gak bersalah, dia melemparkan senyum ke arah kami, lalu memeluk tubuh bundanya erat.

Bình Luận Sách (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    9d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất