logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

9. Testpack

"Ki, aku belum mens,"
Mampus. Sederet pesan yang kukirim lima belas menit yang lalu, belum mendapat balasan. Hanya sekedar info 'dilihat' pun juga gak ada.
Gelisah sendirian, hatiku gak tenang. Fikiranku kalut, memikirkan apakah ketakutan terbesarku akan terjadi.
Biasanya aku akan bersikap b aja kalo selama satu bulan atau lebih belum mendapatkan haid. Karena itu sudah menjadi kebiasaan, haidku gak teratur. Aku gak takut, karena aku gak melakukan sesuatu hingga menyebabkan haidku terganggu. Tapi kali ini berbeda.
Masalah itu sampai membuat kepalaku pening. Untuk mengobati, aku menyuruh Irsa membelikan obat di warung sebelah, tapi anak itu sampai sekarang belum juga datang.
Haruskah aku memakan nanas muda saja? Tapi, aku belum tau penyebab belum haidku dikarenakan hamil atau karena memang terlambat seperti biasanya.
Malam itu, kami berzina. Dengan gamblang aku jelas mengakui kalo yang kami berdua lakukan pada malam hari di kota orang satu bulan yang lalu adalah zina. Malam pertama sebagai pasangan kekasih, aku dengan mudahnya melepas 'mahkotaku' untuknya. Jangan katakan aku bodoh. Aku melakukan itu dengan sadar, dan aku menikmatinya.
"Ca, calon suami mu kesini,"
Bukannya datang membawa obat seperti yang kuminta, Irsa malah memberiku kabar yang menyumbat telinga. Menambahi rasa pening di kepala, ingin kubenturkan saja tempurung otak ini ke dinding karena sudah lelah memikirkan masalahku yang belum ada titik temunya.
"Caca, ada tamu,"  Ibu melongok dari depan pintu kamarku. Menyertakan kabar memperkuat berita yang dibawa Irsa, bahwa Irsa gak berbohong.
"Bukan tamuku," jawabku. Aku menelungkupkan diri di ranjang, menutup kepalaku dengan bantal, dan menekan kuat. Bertahan diposisi seperti ini kurang lebih seharian, mungkin keesokannya aku ditemukan sudah gak bernyawa.
"Adza Ca. Sendirian." Suara Ibu terdengar samar di telingaku yang tertutup bantal.
"Suruh dia pergi Bu. Aku udah nolak, aku gak mau nikah sama dia. Cepetan, biar tetangga gak ngeghibahin kita," pintaku. Suaraku teredam, tapi harusnya Ibu bisa mendengar.
Tanganku ditarik. Ibu memaksaku bangkit.
"Aku pusing, pengen tidur," Keluhku.
Wanita ini mengehela nafas, lalu berkata, "Temui dulu, sebentar saja. Hormati tamu Ca,"
Kalo aku menolak lagi maka urusannya akan  panjang, jadi aku memaksakan diri untuk menemui tamu yang harus dimuliakan versi Ibu.
"Bulannya baik buat nikah Dek,"
Sepertinya dia gak punya sopan santun. Aku baru saja datang, bukannya menyapa, malah membuka obrolan dengan tema pernikahan.
"Iya," jawabku ketus. Duduk di kursi yang berada di seberang tempatnya duduk, aku menyerongkan tubuh agar gak berhadapan dengannya.
Laki-laki ini gak gentar sekali datang kesini. Padahal sudah jelas aku menolak lamarannya. Jangan bilang, kalo tujuannya kesini untuk merayuku lagi agar mau menikah dengannya.
Beribu puluh tawaran serta beratus gram emas sebagai mahar pun, aku gak akan menerima lamarannya. Prinsipku, aku gak mau menikah dengan orang asing yang jelas gak aku suka.
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kutanyakan kepada laki-laki misterius itu. Salah satunya tentang darimana dia mengenalku, mengapa dengan berani mengajakku menikah. Aku ingin sekali memberondongnya sampai aku puas dengan jawaban yang dia berikan. Tapi, untuk saat ini, semua itu masih belum bisa kulakukan.
"Jadi gimana? Siap nikah bulan ini?"
Aku memang gak memperhatikan dia secara jelas, tapi ekor mataku menangkap gerak matanya yang menatapku dengan sorot tajam. Tubuhnya condong ke depan, sedikit mendekat ke arahku, lalu suara berikutnya keluar dari bibirnya yang di naungi segaris kumis tipis, "Sabrina Mazaya,"
Tubuhku bergetar saat suara serak basahnya menyerukan nama lengkapku.
Menenangkan diri, aku mencoba bersikap biasa saja.
Tangannya merogoh saku celana, lalu mengeluarkan kotak terbalut beludru hitam, membukanya, lalu meletakkan benda itu tepat di meja depanku.
Mataku terbelalak. Dua cincin putih perak tertata apik di dalam sana.
"Kamu mau kan nikah sama saya?"
Mataku beralih menatap sosok yang bersuara. Manik mata hitam legam itu menatapku sendu, alisnya bergerak seolah memintaku memberi jawaban.
Andai dia tau kalo aku sudah gak perawan, apakah dia masih tetap keukeuh mengajakku menikah? Aku menggeleng, menghilangkan fikiran tabu itu. Menarik nafas dalam, tanpa lama lagi, karena kepalaku tambah pusing dan ingin segera rebahan, bibirku dengan mudah menjawab, "Maaf Pak. Saya gak mau. Anda bisa menikah dengan perempuan lain selain saya,"
Raut wajahnya berubah menampakkan kekecewaan, tapi aku gak peduli. Tanpa pamit, aku pergi, dan berpapasan dengan Ibu yang tengah membawa nampan berisi teh.
Mari sudahi drama di dunia nyata, dan beralih ke alam mimpi. Semoga di sana, aku bertemu keajaiban yang akan memudahkanku dalam mengurus masalah dunia.
###
Malam ini, mungkin dingin bagi sebagian orang, tapi tidak bagiku. Rasanya, tubuhku panas, aku berkeringat banyak malam ini. Aku salah kalo keluar memakai hoodie malam ini. Harusnya aku memakai singlet saja lalu kubalut dengan cardigan tipis milikku.
Sudah tiga puluh menit, aku bersama Barikli duduk termenung di kursi teras Indomart. Cowok di depanku ini persis sepertiku, sama-sama termenung dengan fikiran melayang kesana kemari menyikapi masalah yang menerpa kami.
Aku pamit keluar ke indomart sebentar. Kali ini aku jujur pada Ibu, dan melenggang ke Indomart gak jauh dari rumahku. Sedikit was-was kalo saja keberadaanku berdua dengan Barikli ternotice tetanggaku, maka tamatlah riwayatku. Tudung hoodiku ternyata berguna untuk menutupi wajahku agar gak kentara bahwa ini Sabrina.
Susu kemasan yang kubeli semenjak menanti kedatangan Barikli, sudah kosong tinggal kemasannya saja. Mengamati raut wajah Barikli yang datar, tanganku terulur mengusap poni rambutnya yang menutupi kening.
"Jadi gimana?" tanyanya begitu aku selesai memindahkan poni rambutnya.
Sedari tadi, kami duduk termenung disini adalah mengumpulkan keberanian untuk masuk ke dalam, dan menanyakan apakah disana menjual barang yang kami perlukan.
Kalo gak ada, maka kami akan mendatangi tempat lain yang sekiranya menjual barang tersebut. Cukup mudah, tapi untuk menjalankan misi tersebut rasanya berat dan perlu meyakinkan diri beratus kali.
"Kamu yang masuk," kataku dengan bibir mengapit sedotan bekas susu.
"Aku malu Sab," jawabnya lirih.
"Kamu cowok Ki, kamu harus berani," kataku menggebu.
Barikli menatapku sebentar, lalu meraih tanganku, dan menarik mengajakku untuk masuk bersamanya ke dalam indomart.
"Kita lakuin sama-sama," bisiknya.
Begitu tiba di depan kasir, kami berdua hening. Indomart tampak sepi, hanya ada satu karyawan cewek disana tengah merestok barang, juga satu kasir cowok yang kini tersenyum kepada kami.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak Mas?"
Aku mendongak, menatap Barikli, meminta dengan sorot mataku agar cowok ini segera menanyakan barang itu. Sama halnya dengan Barikli, dia menatapku balik, lalu menggeleng, tanda bahwa dia gak sanggup untuk melakukannya.
Meremas kuat tangannya, aku menodongnya dengan tatapanku yang setajam belati. Cara ini berhasil. Dia maju satu langkah, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah kasir dan berkata, "Mas, ada testpack?" Pertanyaan itu terucap sangat lirih.
Sangat kentara, ekspresi terkejut tampak di wajah Mas Kasir, gak berselang lama, dia menjawab, "Ada,"
Dua buah testpack ada di hadapan kami. Lalu Mas Kasir menjelaskan, "Dua jenis Mas. Tiga puluh ribu, sama lima puluh ribu. Yang mana?"
Gak membiarkan Barikli membalas, aku menyerobot duluan, "Yang paling mahal, jelas yang paling akurat kan? Ambil yang itu," Setelah mengatakan itu, aku memakai tudung hoodie, lalu keluar tanpa menunggu Barikli yang masih menyelesaikan transaksi.
"Kalo positif gimana Ki?" tanyaku begitu Barikli keluar membawa kantong kresek berisi testpack.
Dia menatapku. Menyerahkan kantong kresek kepadaku, menarik tanganku menuju parkiran.
"Sesuai dengan janjiku Sab. Aku bakal nikahin kamu," jawabnya kemudian, lalu tangannya membelai pipiku. Menengok kanan kiri, gak ada orang, dengan kilat dia mengecup bibirku. Membuatku menegang karena perlakuannya yang mendadak.
Kembali aku terbayang dengan perzinaan kami malam itu.
Satu kecupan lagi, mendarat di keningku, cukup lama, hingga terdengar berdecap saat bibirnya terangkat.
"Tapi, semoga negatif ya Ki," kataku sayu. Harapan terbesarku semoga aku gak hamil. Agar bayangan buruk yang sudah kufikirkan gak pernah terjadi.
Samar, wajah Bapak dan Ibu terbayang. Mereka bersedih, meneteskan air mata melihat anaknya bersimpuh penuh air mata di kakinya, dengan perut membesar, mengandung anak haram. Ya Tuhan, semoga itu gak terjadi. Engkau boleh menghukumku akibat ulah hinaku, tapi gak dengan cara seperti itu. Aku mohon.

Bình Luận Sách (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    9d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất