Namun kedewasaan membuat hubungan dini terjadi. Subiyanto dan Ratna tak canggung lagi untuk bergandengan tangan. Ratna juga mulai berani menyandarkan kepala di bahu Subiyanto. Bahkan mereka sering berpelukan. Berulang kali, keduanya memberi kecupan di pipi. Hingga akhirnya perbuatan terlarang terjadi. “Mas. Besok jam 10 ke rumah ku.“ pinta Ratna. “Belum waktunya Rat. Nanti kedua orang tua mu marah.“ balas Subiyanto. “Besok semua orang rumah pergi ke Semarang karena sepupu ku menikah.“ terang Ratna. “Mau apa aku diajak ke rumah mu?“ balas Subiyanto lagi. “Pokoknya mas harus datang.“ tegas Ratna. Subiyanto tak menjawab. Ia memikirkan tujuan ajakan Ratna itu. Di tengah getar cinta dalam hati pada Ratna, Subiyanto tetap memikirkan dampak dari ajakan Ratna itu. Sedangkan Ratna tak memikirkannya. Ia kian membenamkan kepala di dada Subiyanto yang berbaring dilincak gubug sawah itu. Nafasnya memburu pertanda libido keperempuannya meningkat. Namun ia tak berani untuk melangkah lebih jauh karena Subiyanto tak bereaksi apapun. Minggu pukul 9 pagi Ratna sudah menunggu Subiyanto di pagar rumahnya. Ia sudah memerintahkan Suti pulang ke rumah karena ia yang akan mengerjakan sisa pekerjaan Suti. Seluruh keluarga Ratna telah meninggalkan Kalicilik sejak pukul 7 pagi menuju Semarang. Lama Subiyanto tak muncul, kegelisahan menyelimuti dada Ratna. “Ayo ke sini.“ batin Ratna sambil menengok ke kanan dan kiri untuk melihat kemunculan Subiyanto. Namun sang pujaan hati tak muncul hingga pukul 10.30. Semua hal yang buruk yang bercampur dengan kecemasan menggeliat dalam benak Ratna. “Mungkinkah mas Subiyanto tak datang? Mungkin ia malah kembali ke Fathaillah? Mungkin ada gadis lain yang juga memikat hatinya? Mungkin ibunya melarangnya datang?“ gelisah Ratna. “Ratna!“ seru Subiyanto dari balik pohon bambu kuning yang tumbuh subur di samping rumah Ratna. Ratna pun menoleh. Hatinya girang melihat Subiyanto. Ia segera berlari ke tempat Subiyanto berdiri lalu memegang tangan Subiyanto dan menariknya masuk ke dalam rumahnya. Subiyanto mengikuti tarikan Ratna. Matanya memandang sekeliling ruang tengah rumah Ratna. Ia baru pertama kali masuk ke rumah Ratna. Bagai orang udik, ia memandang sekelilingnya dengan terperangah. Ia melihat kemewahan Rumah Haji Sobirin. Ratna terus menarik Subiyanto memasuki kamarnya. Ia yang sedang terpana melihat isi rumah orang kaya tak menyangka dibawa masuk ke dalam kamar. Ratna melepas genggaman tangannya dan tiba-tiba ia memeluk Subiyanto. Ia membenamkan kepala di dada Subiyanto yang membidang. “Aku sayang sekali dengan mu. Aku mau kita hidup bersama. Kamu jadi suami ku dan aku jadi istrimu.“ desis Ratna. “Insyaallah! Itu juga doa ku.“ balas Subiyanto yang membiarkan Ratna memeluk erat dirinya. Tak disangka, Ratna melepaskan pelukan itu lalu mengulum bibir Subiyanto. Subiyanto yang awam dengan cumbu, terkejut namun tak dapat mengelak karena bibir Ratna telah mengulum bibirnya. Ia juga merasakan kenikmatan dalam ciuman itu. Subiyanto meraih tubuh Ratna dan merangkulnya. Libido Ratna yang bangkit membuatnya kian berani. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong tubuh Subiyanto keranjangnya lalu menindihnya diikuti ciuman mesra yang dalam. Akal nalar Subiyanto menghilang dan imannya runtuh. Ia membalas ciuman mesra itu. Rok Ratna yang tersingkap membuat terlihat jelas dicermin yang menempel di lemari pakaian. Tangan Subiyanto pun merabanya. Usapan pelan dan lembut membuat Ratna kian membara. Hawa nafsu yang sudah membara membuat Subiyanto melupakan keyakinannya. Subiyanto melupakan segalanya. Dalam benaknya hanya ada satu, dirinya mencintai Ratna dan akan menikahinya. Subiyanto dan Ratna memperoleh pengalaman baru. Keduanya menyatu sebagai suami-istri walau tanpa pernikahan. Cinta yang membahana dalam dada kedua insan itu yang menyebabkan hubungan dini. Ratna mengusap-usap wajah Subiyanto sebagai ungkapan sayang dan ingin segera menjadi pendamping Subiyanto. Dalam hati Subiyanto berjanji tak akan meninggalkan Ratna. Ia berjanji untuk bertanggung jawab atas peristiwa yang usai terjadi. Dendang jam dinding di ruang tengah rumah Ratna menjadi tanda lembaran baru terjadi dalam hubungan antara Subiyanto dan Ratna. Hubungan intim itu menjadi awal dari keintiman yang berikutnya ketika Subiyanto pulang ke Kalicilik. Gubug sawah menjadi saksi keintiman itu. Subiyanto dan Ratna tak lagi bertemu sore hari, tetapi usai imsak. Mereka memadu kasih di gubug sawah itu dengan keintiman. Hubungan intim yang berkali-kali terjadi membuat keduanya kian erat dan seakan tanpa pembatas lagi. Namun semua itu berakhir ketika hubungan kasih keduanya tercium oleh kedua orang tua Ratna. “Man. Aku memberi tugas!“ kata Sobirin kepada Manto, orang kepercayaannya. “Tugas apa pak haji.“ tanya Manto. “Aku memberi tugas pada mu untuk membuntuti Ratna ketika sekolah dan ke mana saja ia pergi. Tiga hari lagi laporkan pada ku.“ perintah Sobirin. Manto segera melaksanakan tugas yang diterima dari juragannya. Ia membuntuti Ratna ketika berangkat dan pulang sekolah. Bahkan ia mengikuti ke mana pun Ratna pergi tanpa diketahui oleh Ratna dan Subiyanto. “Kalau pulang sekolah Ratna berboncengan dengan Subiyanto, anak Jaelani sampai ke dekat Kalicilik. Lalu Subiyanto kembali ke Demak dengan kanuragannya. Ia bisa berlari dengan cepat dalam sekejap.“ lapor Manto di siang itu. “Hmmmmmmm lalu?“ tanya Sobirin. “Mereka berpacaran pak haji. Mereka terlihat akrab di mana saja. Bahkan kalau di sekolah, mereka selalu berdua. Aku yakin mereka pacaran pak haji.“ lapor Manto. Laporan itu membuat Sobirin mulai mengawasi Ratna. Ia menemukan foto-foto Subiyanto di lemari pakaiannya. Kemudian dengan mata kepala sendiri ia melihat Ratna berduaan di gubug sawah seusai imsak hingga jam 9 malam. “Bagaimana bu? Sepertinya Ratna berpacaran dengan Subiyanto, anaknya Jaelani.“ tanya Sobirin pada istrinya. “Jaelani, tukang bangunan yang rumahnya dekat makam desa itu?“ respon Sumirah. “Ya bu. Apakah kamu setuju menikahkan Ratna dengan Subiyanto?“ tanya Sobirin. “Apa tidak baik dicegah dulu pak supaya tidak terlanjur? Aku tidak setuju Ratna dinikahi Subiyanto. Kalau bisa Ratna mendapat suami yang setaraf dengan kita.“ sahut Sumirah. “Aku sependapat. Tapi jangan terlalu mencolok karena ibunya Subiyanto itu disukai banyak warga dusun.“ simpul Sobirin. Nasib hubungan Subiyanto dan Ratna berada dalam genggam tak restunya Sobirin dan Sumirah. Mereka tak menyadari keputusan itu akan membuat luka di hati Subiyanto dan Ratna. Manto tak bisa menyembunyikan hal yang dilihatnya. Ia bercerita pada istrinya tentang Subiyanto dan Ratna. Kemudian istri Manto menceritakan pada tetangganya kala ngrumpi sambil mengasuh anaknya. Maka kisah cinta Subiyanto dan Ratna menyebar kemana-mana dengan berbagai bumbu penyedap. Hingga akhirnya sampai ke telinga Ngatinah, nenek Ratna. “Coba kamu cerita ke aku tentang Ratna dan Subiyanto.“ selidik Ngatinah pada Suti, pembantu rumah tangga di rumah Sobirin. Dengan rasa segan, Suti menceritakan berita dari mulut ke mulut tentang Subiyanto dan Ratna. Usai mendengar cerita Suti serta-merta, Ngatinah berdiri dan berjalan menuju rumah Jaelani dan Subiarsih. Sedangkan di rumah, Subiarsih sedang memastikan berita hubungan antara anaknya dengan Ratna. “Benar bu. Aku dan Ratna saling menyayangi.“ aku Subiyanto. “Lalu?“ tanya Subiarsih. “Aku ingin menikah dengan Ratna.“ jawab Subiyanto. Belum sempat Subiarsih membalas perkataan anaknya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu diiringi,“ Assalamualaikum.“ Subiarsih menyahut, “Waalaikumsalam.“ Lalu berdiri dan membukakan pintu. “Bu Ngatinah. Kok janur gunung mampir ke rumah. Mari masuk!“ ajak Subiarsih. “Tidak usah, di sini saja.“ jawab Ngatinah dengan emosional. Subiarsih melihat gelagat tak baik. “Masuk saja bu. Tak enak kalau dilihat orang.“ bujuk Subiarsih. “Tidakperlu! Biar semua orang mendengar. Mana Subiyanto?“ ketus Ngatinah dengan nada tinggi. “Itu Biyanto!“ jawab Subiarsih sambil menunjuk Subiyanto yang duduk di kursi dekat jendela. “Sini!“ panggil Ngatinah dengan suara keras. Suara itu menarik perhatian tetangga dekat Subiarsih hingga mulai memperhatikan percakapan Ngatinah dengan Subiarsih. “Biyanto. Ke sini nak.“ seru Subiarsih. Subiyanto pun segera mendekat ke Ngatinah dan Subiarsih yang sedang bercakap di serambi depan. Dengan berkacak pinggang Ngatinah langsung berkata pada Subiyanto, “Putu ku Ratna ora tak kawinke karo keturunan kere. Ojo mimpi iso kawin karo putu ku! Cebol kok arep gayoh lintang!“ Cucu ku Ratna tidak akan dinikahkan dengan keturunan orang miskin. Jangan mimpi menikah dengan cucu ku! Orang cebol kok ingin meraih bintang. Perkataan itu keras dan tajam untuk mempertegas sikap keluarga Ratna terhadap jalinan cinta itu. Subiarsih tak sempat menanggapi perkataan yang menghina karena Ngatinah pulang tanpa permisi. Hal itu menimbulkan rasa malu dan amarah namun Subiarsih mampu mengendalikan diri. Ia kembali mengajak Subiyanto berbicara. “Kamu sekarang tahu siapa diri mu dan siapa Ratna.“ kata Subiarsih. “Tap ibu, di mata Allah kan tidak ada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin.“ sanggah Subiyanto. “Memang benar nak! Tapi hal itu tidak bisa dijalankan oleh semua orang. Walau ia bergelar haji.“ balas Subiarsih. “Lalu Biyanto harus bagaimana bu? Biyanto dan Ratna saling mencintai. Biyanto tidak pernah memaksa Ratna untuk mencintai Biyanto.“ Subiyanto beragumentasi. “Kamu harus menyadari kalau keluarga Ratna itu memang kaya. Sedangkan kita jauh di bawah Keluarga Ratna.“ terang Subiarsih. Subiyanto tertunduk lesu. Hatinya penuh dengan pergolakan dan amarah. Di satu sisi, ia sungguh mencintai Ratna dan berharap dapat menikahinya. Namun di sisi lain, ia sakit hati dan marah atas Penghinaan nenek Ratna terhadap keluarganya. “Aku harus kaya! Kalau aku kaya maka aku akan dapat meminang dan menikahi Ratna.Tetapi bagaimana cara untuk punya banyak uang?” batinnya dalam hati. “Biyanto! Ibu sangat memahami perasaan mu tetapi kamu harus menerima kenyataan kalau kita tidak setaraf dengan keluarga Ratna. Biarlah Allah yang menentukan.“ nasehat Subiarsih pada anaknya. Kata-kata Ngatinah itu sangat tajam menusuk kalbu Subiyanto. Namun ia tak berani mengungkapkan. Cinta yang mendalam dan hubungan yang telah jauh melampaui batas norma kesusilaan membuat pergumulan dalam hati Subiyanto. Sementara itu, Ngatinah juga mendatangi cucunya Ratna untuk menumpahkan sikap tak restunya. “Ratna! Subiyanto itu tidak setaraf dengan keluarga kita. Kamu tidak boleh menikah dengan Subiyanto.“ kata Ngatinah. “Ada apa sih nek? Nenek tidak boleh melarang Ratna. Ratna mau menentukan sendiri.“ tolak Ratna. “Ya nenek tahu.Tapi jangan Subiyanto. Bapaknya hanya tukang bangunan. Sedangkan bapak mu juragan. Apakah bisa anak tukang bangunan itu memberi mas kawin?“ Ngatinah berargumentasi. “Tapi di mata Allah tidak ada perbedaan. Semua sama!“ bantah Ratna. “Nenek mu benar nduk!“ sahut ibu Ratna yang ikut nimbrung dalam percakapan antara Ngatinah dan Ratna. “Ibu ini malah membela nenek.“ respon Ratna. “Ibu tidak membela nenek. Tapi itu demi kebaikanmu. Kalau kamu jadi istri Subiyanto, mau hidup dengan apa?“ jelas ibunya. “Mas Subiyanto pasti bisa menghidupi Ratna. Mas Subiyanto itu baik! Apalagi ia santri.“ balas Ratna. “Tapi tetap saja, di bawah kita. Apa dia bisa memberi emas kawin yang layak? Paling Al-quran dan seperangkat alat sholat!“ tegas Ngatinah. “Nenek itu kan sudah berhaji, kok perilakunya sama seperti orang musrik? Allah tidak membedakan manusia karena hartanya. Harta itu titipan Allah.” balas Ratna tajam. “Pokoknya bapak dan ibu tak merestui kalau kamu menikah dengan Subiyanto.“ tandas ibunya. Air mata Ratna jauh berlinang. Ia sangat mencintai Subiyanto dan berharap dapat membangun keluarga walau hidup dalam kesederhanaan. Sekarang harapan itu terhalang oleh tak restunya keluarga. Kesedihan hati membuat Ratna tak mau beranjak dari kamarnya. Air mata terus berderai. Tasbih pemberian Subiyanto digenggam erat karena semua foto Subiyanto telah diambil ibunya. Ia juga tak lagi bersepeda ke sekolah. Manto mengantar dan menjemput kala pergi dan pulang sekolah. Ia juga dilarang bepergian ke luar rumah. Ratna tak memiliki kebebasan lagi kecuali di sekolah. Subiyanto dicarinya setelah peristiwa yang memilukan hatinya. Ratna memanfaatkan kebebasan ketika jam sekolah. Ia mencari Subiyanto ke sana-ke mari ketika jam istirahat berdentang. Wajahnya yang ayu tergurat kesedihan. Tangis ingin ditumpahkan namun ia mampu menahannya. Sesekali, air mata yang meleleh diusapnya. Ia bertanya kepada semua temannya tentang keberadaan Subiyanto. Namun tak seorangpun mengetahui keberadaan Subiyanto. Mereka mengatakan Subiyanto ke luar Kelas dengan cepat ketika bel istirahat berdentang. “Biyanto berjalan ke belakang sekolah.“ kata salah seorang anak kelas 3. Info ini membuat Ratna mencari Subiyanto di belakang sekolah. Subiyanto melihat Ratna yang berjalan ke sana-ke mari. Ia tahu kalau Ratna mencarinya. Rasa cinta yang membuatnya memanggil Ratna dari balik rimbunannya pohon yang tumbuh subur di seberang lapangan olah raga milik sekolah. Ratna yang sangat mengenal suara itu langsung melihat Subiyanto yang berdiri di balik pepohonan itu. “Kemarin nenek mu ke rumah mengungkapkan tak setuju dengan menghina keluarga ku.“ kata Subiyanto. “Keluarga ku juga tak merestui kita. Tapi aku tak ingin berpisah!“ balas Ratna. “Aku juga tidak ingin berpisah, tapi ibu meminta untuk menjauhi kamu.“ ucap Subiyanto. Ratna menuduk dan airmata jatuh berderai. Hatinya sedih. “Saran ibu ada baiknya. Kita jaga janji kita tetapi kita tak perlu bertemu dulu agar suasana panas tidak semakin membuat kisruh. Kita diam dulu dan cari peluang.” sahut Subiyanto. “Nenek bilang apakah bisa memberi mas kawin? Ia tahu bahwa tak mungkin mengharap mas kawin seperti kakak-kakak iparku. Mereka memberi uang dan emas sebagai mas kawin. Walau aku sebenarnya tak mengharapkan itu dari keluarga mu.“ ungkap Ratna. Ungkapan itu justru memberi pengharapan bagi Subiyanto untuk dapat menikahi Ratna. “Aku harus punya uang banyak untuk memberi mas kawin.” Batin Subiyanto. Subiyanto berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari jalan dan berusaha mendapatkan mas kawin seperti yang diterima kakak Ratna. “Aku akan berusaha agar kita bisa menikah. Untuk sementara kita tidak usah bertemu. Agar keluarga mu tak semakin benci. Aku berjanji akan menjaga cinta ini.“ tegas Subiyanto memberi pengharapan. Ratna memandang wajah Subiyanto. Secercah harapan terpancar di matanya. “Aku juga akan menjaga cinta kita.“ ucap Ratna sambil menghapus air matanya. Keduanya berpisah kala bel istirahat sekolah berakhir. Ratna memberi kecupan di pipi Subiyanto lalu berjalan menuju ke ruang kelasnya. Sedangkan Subiyanto menyusul kemudian. Keduanya menggunakan surat sebagai media komunikasi. Jam sekolah dipergunakan untuk memberi- menerima surat. Pengharapan tetap digantungkan untuk menyatukan rasa cinta dalam biduk rumah tangga. Keduanya menggunakan media sholat, tahajud dan doa untuk memohon restu ilahi. Ratna memohonkan kemudahan bagi Subiyanto untuk mendapatkan rezeki guna menyediakan mas kawin. Sedangkan Subiyanto meminta jalan dan cara untuk mendapatkan uang banyak untuk memenuhi janjinya pada Ratna. Hal itu menggelisahkan Subiyanto karena hingga menjelang akhir kelas 3, ia belum menemukan jalan. Kebingungan itu bersentuhan dengan pikatan Riza dan ibunya. Bukan hanya Riza yang berupaya untuk memperoleh cintanya tetapi Sriatmi memberi sinyal-sinyal restu pada Subiyanto untuk menikahi putrinya. Subiyanto sering mendapatkan masakan yang dibuat Sriatmi dengan Riza sebagai pengantarnya. Tak jarang Subiyanto juga memperoleh panganan dari Sriatmi. Riza pun makin menebar daya pikat dengan sejuta pengharapan dari rasa cintanya pada Subiyanto. Namun Subiyanto tetap pada pendiriannya untuk menjaga kesetiaannya pada Ratna meskipun ia belum memiliki jalan untuk dapat memperoleh uang guna memberi mas kawin kepada keluarga Ratna. Akhirnya Riza mengirimkan surat untuk mengungkapkan isi hatinya. Subiyanto menerima surat Riza dan sudah menduga isinya. Ia sudah tahu jawaban yang harus diberikan namun ia berdebar karena menguatirkan dampak dari jawaban itu. “Aku harus jujur apa pun resikonya!“ desisnya tegas. Ia membalas surat Riza. Riza berbunga kala menerima surat itu. Namun kegembiraan itu berubah leleh air mata. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Subiyanto hanya menganggapnya sebagai adik. Patah hati diekspresikan dengan kebencian. Ia tidak lagi bersedia mengantar makanan kepada Subiyanto. Perubahan sikap itu menarik perhatian ibunya. “Ada apa kok sekarang tak mau bertemu Subiyanto?“ tanya Sriatmi pada Riza. Riza hanya diam tak mau menjawab. “Ayo terus terang pada ibu, nak. Siapa tahu ibu bisa membantu.“ ujar Sriatmi lagi. Riza tak menjawab, ia memberikan surat Subiyanto pada ibunya. Sriatmi membacanya. Wajahnya berubah jadi serius ketika ia membaca penolakan cinta anaknya pada Subiyanto. Ia mengembalikan surat itu pada Riza lalu berjalan menuju ke kamar Subiyanto. “Kamu itu anak desa! Jangan sok jual mahal! Apa kurangnya Riza? Apa kurangnya sikap baik Riza? Aku juga merestui! Mengapa kamu berkirim surat seperti itu? Orang miskin saja kok sombong!“ kata Sriatmi emosional. Subiyanto hanya diam dan menundukkan kepala. Ia sudah menduga dampak dari suratnya pada Riza. Hatinya tetap tegar walau kembali mengalami penghinaan. Untuk kedua kalinya, Subiyanto dihina karena kesederhanaannya. Sekarang penghinaan diperolehnya dari istri gurunya.
Cảm ơn
Ủng hộ tác giả để mang đến cho bạn những câu truyện hay
99+
21/08
0keren bisa jadi dana
14/08
0sangat bagus
02/08
0Xem tất cả