Di Kalicilik tumbuh seorang gadis yang menjadi teman sekelas Subiyanto. Ratnayani lahir dari keluarga berada. Ayahnya menjadi orang yang paling berada di dusun yang berada di wilayah Kalicilik. Ia memiliki banyak sawah, sapi, kambing dan mempunyai tempat penggilingan padi yang terletak di pinggiran dusun. Ratna menjadi satu-satunya anak yang mengendarai sepeda ketika bersekolah. Dari pakaian yang dikenakan, ia terlihat sebagai anak dari seorang yang berada. Haji Sobirin menjadi satu-satunya warga dusun yang telah menunaikan rukun ke lima dari keyakinannya. Rumahnya terletak di ujung barat dusun itu dan terlihat paling besar serta sudah berdinding tembok dengan lantai ubin. Sebuah mushola berdiri di sebelah kanan halaman depan yang luas. Banyak warga dusun yang bekerja pada Sobirin terutama di penggilingan padi. Sedangkan di rumah, seorang perempuan menjadi pembantu rumah tangga. Ia bertugas membersihkan rumah, mencuci baju dan memasak. Karena status sosial itu membuat banyak warga dusun yang menaruh hormat dan segan kepada Sobirin dan keluarganya termasuk Ratna. Namun Jaelani dan Subiarsih berbeda dari warga dusun. Terhadap Sobirin, mereka bersikap sewajarnya saja. Ia menghormati namun tak sampai menghamba atau memandang berlebihan karena kekayaannya. Hal itu juga yang dilakukan Subiyanto pada Ratna. Karena kekayaan ayahnya, Ratna bersikap angkuh kala bersama teman-temannya di sekolah dan rumah. Banyak teman- temannya di sekolah yang mengharap Ratna berbagi bekal sekolahnya atau mentraktir jajanan sekolah. Ratna bagai seorang tuan dalam bersikap pada teman-teman. Ia juga senang memerintah teman-temannya. Namun Subiyanto menjadi satu-satunya orang di kelas yang tak bersedia diperintah Ratna walau ia menawarkan air sirup yang dibawa sebagai bekal atau sebagian jajanan yang dibeli di kantin sekolah. Ratna membenci Subiyanto karena anak Jaelani itu menjadi satu- satunya teman sekelas yang tak mau tunduk kepadanya. Walau diiming-imingi apapun, Subiyanto tetap tidak mau melakukan perintah-perintah Ratna. Pada hari pertama di tahun ajaran baru, Ratna dikerumuni teman sekelasnya karena ia membawa tas sekolah yang baru dan sepatu baru. Dengan bangganya, Ratna memamerkan tas dan sepatu barunya di kelas. Hampir semua teman sekelasnya mengelilingi dan mengagumi. Sedangkan Subiyanto, hanya duduk diam di bangku sekolah. Tak ada sedikitpun hati yang terpikat pada tas dan sepatu Ratna. “Subiyanto! Lihat sepatu dan tas ku! Kemarin bapak membelikan di Semarang waktu liburan.“ seru Ratna. Subiyanto tetap diam tak bergeming. “Subiyanto!“ teriak Ratna. Subiyanto tetap diam dan hanya memandang Ratna walau teman sekelasnya itu mempertontonkan sepatu dan tas barunya. “Ke sini! Nanti ku pinjami sepeda waktu pulang sekolah.“ bujuk Ratna agar Subiyanto mau mendekat untuk melihat barang barunya. Namun Subiyanto menggelengkan kepala, menolak tawaran Ratna. “Kenapa kamu sombong begitu?“ seru Ratna jengkel. Subiyanto mendiamkan teriakan Ratna dan tak membalas tuduhan itu. “Awas ya!“ ancam Ratna. Subiyanto tetap mendiamkan hingga kejengkelan Ratna berujung pada kemarahan. Anak perempuan Sobirin melempar kapur tulis pada Subiyanto. Dengan gesitnya, Subiyanto menangkap kapur tulis itu lalu meletakkan di meja. Ratna melempar sekali lagi. Namun Subiyanto kembali berhasil menangkapnya. Tindakan Ratna diikuti teman-temannya yang menghamba padanya. Subiyanto dengan cepat menangkap lemparan-lemparan itu lalu dengan mata tajam dipandangnya teman-teman sekelas yang membantu Ratna. Mata tajam itu meruntuhkan mental para pelempar. Mereka berhenti melempar. Ratna emosional sehingga langsung duduk diam di bangku sekolahnya. “Mengapa Subiyanto tak mau patuh padaku? Punya apa dia?“ batin Ratna. Ratna kembali mengejek Subiyanto ketika pulang sekolah. Subiyanto mendiamkan ejekan Ratna ketika ia berjalan kaki. “Subiyanto! Naik sepeda yuk?“ seru Ratna ketika melewati Subiyanto yang berjalan menuju rumahnya. Subiyanto hanya diam dan melihat Ratna berlalu darinya dengan sepedanya yang melaju cepat. Sekolah dasar negeri yang menjadi tempat Subiyanto bersekolah berada di luar perkampungan. Tepatnya di jalan desa yang mengarah ke jalan aspal yang menghubungkan kota Demak dan Wedung. Beberapa menit kemudian, Subiyanto mendapati Ratna menangis di tepi jalan desa itu. Tak seorang teman pun yang berada di dekatnya. “Mengapa menangis?“ tanya Subiyanto dengan sopan, tanpa dendam. “Sepeda ku..... Sepeda ku...... direbut anak-anak kelas 6 SD Inpres. Itu mereka di lapangan SD Inpres.” Ucap Ratna di tengah isak tangisnya. Mereka memakai sepeda Ratna bergantian. Subiyanto melangkah mendekati anak-anak SD kelas 6 yang merebut sepeda Ratna. “Hei! Kembalikan sepeda itu!“ teriak Subiyanto lantang. Anak-anak itu mendiamkan sambil terus memainkan sepeda itu. “Hei! kembalikan sepeda itu!“ teriak Subiyanto lebih keras. “Wah ada jagoan nih.“ balas Tono yang berjalan mendekati Subiyanto. Dari balik pintu gerbang halaman SD Inpres, Ratna memandang Subiyanto yang meminta kembali sepedanya. Ia mengharap Subiyanto dapat mengambil kembali sepedanya. Walau di hati kecil timbul perasaan ngeri bila terjadi perkelahian. Tanpa banyak kata Tono melayangkan pukulan pada Subiyanto. Walau Subiyanto berbadan kecil, ia mampu menangkap tangan Tono lalu menelikungnya hingga Tono kesakitan. “Ah..... Aduh....“ teriak Tono. Teriakan itu membuat tiga kawannya menghentikan sepeda itu dan meletakkannya di tanah lalu berjalan menuju ke arah Subiyanto yang menelikung Tono. Ketiganya segera mengeroyok Subiyanto. Melihat situasi SD Inpres yang sepi, Subiyanto segera merapal saipi angin. Maka dengan cepat, ia bergerak memberi pukulan beruntun ke wajah ketiga pengeroyoknya. Ke empat anak itu tak menyerah. Tono yang terlepas dari telikungan, ikut mengerubuti Subiyanto dan mengomandoi untuk menyerang. Dengan saipi angin, serangan ke empat anak itu menemui ruang kosong karena Subiyanto dapat dengan cepat ke luar dari kepungan dan berdiri di belakang anak- anak itu. Ia menjejakkan kaki pada punggung Tono. Ketiga temannya terpana melihat Tono tersungkur. Mereka mengambil langkah seribu ketika melihat kekuatan Subiyanto. “Jangan mengganggu dia lagi! Awas kalau kamu melakukannya lagi! Aku bisa membuatmu menangis.“ ancam Subiyanto pada Tono yang belum bangkit. Subiyanto segera mengambil sepeda itu lalu menyerahkan pada Ratna. “Cepat pulang!“ kata Subiyanto yang segera berlalu dari Ratna. Ratna memandang berlalunya Subiyanto sambil membatin, “Maafkan aku.“ Ia segera mengendarai sepedanya lalu berlalu dari tempat itu. Sore hari Ratna mendatangi Subiyanto yang berada di gubug untuk menggembalakan kambing dan menjaga sawah keluarganya. “Subiyanto.“ teriak Ratna. “Mengapa kamu ke sini?“ balas Subiyanto. “Maafkan aku!“ ucap Ratna. “Aku sudah memaafkan kamu sejak tadi.“ balas Subiyanto. “Aku berjanji tak akan mengulangi perbuatan ku lagi.“ janji Ratna. Subiyanto memberi senyum pada Ratna. Ratna pun menjadi lega melihat Subiyanto memberi senyuman. “Sebentar. Aku mengikat kambing dulu agar tak memakan tanaman.“ kata Subiyanto sambil berlari menuju kambingnya yang berjalan ke arah tanaman di sawah. Ratna pun memandang dengan senyum. “Bolehkah aku berteman dengan mu?“ tanya Ratna sekembali Subiyanto ke gubug itu. “Kenapa mau berteman dengan ku? Aku orang miskin. Kita bagai langit dan bumi.“ jawab Subiyanto. “Subiyanto.“ lirih Ratna. “Benarkan? Kamu anak pak haji yang kaya, sedangkan aku anak Pak Jaelani tukang bangunan.“ balas Subiyanto. “Subiyanto.“ kata Ratna yang hampir menangis. “Janganmenangis! Kalau cengeng aku tidak mau berteman dengan mu!“ sergah Subiyanto. “Aku tidak akan menangis dan cengeng asal kamu mau berteman dengan ku.“ pinta Ratna. “Baik. Tapi satu lagi, kamu tidak boleh sok kaya dan harus rajin sholat dan mengaji!“ balas Subiyanto. “Baik. Aku berjanji akan mengubah kelakuan ku. Aku juga mau rajin sholat dan belajar mengaji dengan ibu mu.“ janji Ratna. “Sekarang lebih baik kamu pulang. Aku mau pulang karena hampir maghrib.“ suruh Subiyanto. “Ok! Aku pulang. Aku akan sholat. Besok kita bertemu di sini lagi ya?“ balas Ratna sambil mengajak Subiyanto untuk bertemu di gubug itu lagi. Kesokannya, Ratna sudah berada di gubug sawah milik keluarga Subiyanto. Ia menunggu kedatangan Subiyanto. Di tangannya sekantong kacang ditentengnya. “Kenapa lama? “ seru Ratna kala Subiyanto muncul. “Aku harus membantu ibu dulu.“ balas Subiyanto. “Kenapa membantu ibu dulu?“Kan aku lama nunggunya.“ sanggah Ratna. “Membantu orang tua itu kewajiban anak yang sholeh. Apakah kamu tidak pernah membantu Ibu mu atau ayah mu?“ balas Subiyanto. “Tidak! Kanada mbak Suti.“jawab Ratna. “Itu sebabnya kamu jadi anak manja dan maunya diladeni. Kalau mau jadi anak yang sholeh, harus berbakti pada orang tua selama mereka hidup.“ saran Subiyanto. “Oooo begitu ya.“ respon Ratna. “Ya. Ibu ku mengajarkan seperti itu.“ lanjut Subiyanto. “Aku mau seperti kamu. Jadi anak sholeh.“ seru Ratna. Sore itu, Subiyanto dan Ratna mulai menjalin pertemanan. Perbedaan strata sosial menghilang dan berganti dengan kebersamaan. Ratna selalu ingin dekat dengan Subiyanto. Subiyanto pun selalu melindungi Ratna dari gangguan anak lelaki yang mengganggu. Keduanya selalu pulang bersama seusai sekolah. Ratna tak lagi memakai sepeda ke sekolah. Ia lebih senang berjalan kaki bersama Subiyanto. Lalu setelah berberes di rumah, ia menyusul Subiyanto ke sawah untuk mengerjakan pekerjaan rumah, belajar, bermain dan ikut menjaga sawah serta menggembalakan kambing. Perubahan terjadi pada Ratna. Ia rajin sholat dan mengaji serta ikut membantu Suti dalam mengerjakan pekerjaan di rumah. Semua yang dikatakan Subiyanto dilakukan sehingga Ratna menjadi anak yang menyenangkan semua orang. Kedua bocah berlawanan jenis itu menjadi kian akrab bahkan nyaris tak terpisahkan dalam keseharian. Tetapi Subiyanto tidak memanfaatkan keadaan ini untuk mendapatkan keuntungan. Ia tetap mengingat pesan Subiarsih untuk menjaga kesopanan.
Cảm ơn
Ủng hộ tác giả để mang đến cho bạn những câu truyện hay
99+
21/08
0keren bisa jadi dana
14/08
0sangat bagus
02/08
0Xem tất cả