Seminggu setelah panen ketika menjelang subuh, Subiarsih telah bangun. Setelah sholat subuh, ia membangunkan Subiyanto lalu diperintahkan untuk bersholat. Seusai sholat, Subiarsih mengajak Subiyanto ke halaman belakang rumah. Mereka berhenti di bawah pohon asem yang besar. “Biyanto. Mulai hari ini, ibu akan mewariskan ilmu yang dulu dimiliki Mbah Sapuan.“ kata Subiarsih yang berdiri di depan anaknya. “Yabu. Insyaallah Biyanto siap.“ jawab Subiyanto. “Bagus! Kamu harus berusaha untuk menguasai ilmu Mbah Sapuan karena menurut Mbah hanya kamu satu-satunya cucu yang pantas dan mampu menerimanya.“ balas Subiarsih. “Mengapa begitu bu?“ tanya Subiyanto. “Menurut Mbah Sapuan, kamu adalah satu-satunya cucu yang memiliki kekuatan cakra yang kuat dan unggul bila dibandingkan cucu yang lain.“ jawab Subiarsih sambil memegang bahu Subiyanto. “Ooo begitu!“ balas Subiyanto. “Tapi ingat! Menurut Mbah Sapuan, selama kamu menjalankan sholat dan menjauhi laranganNya. Maka kekuatan ilmu itu akan menjadi positif dan akan berguna bagi sesama.“ tegas Subiarsih. “Biyanto akan mengingatnya.“ sahut Subiyanto. “Sekarang, ibu akan mengajarkan ilmu yang pertama. Ilmu ini disebut Saipi Angin. Kegunaannya untuk meringankan tubuh. Ia akan berguna untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. Jadi kamu dapat berlari dengan cepat atau melawan gravitasi bumi kalau mampu menguasainya.“ terang Subiarsih. “Biyanto memahami ibu.“ balas Subiyanto. “Untuk menguasai saipi angin, kamu harus bertapa di atas pohon ini selama 40 hari. Kamu hanya boleh memakan sebuah pisang emas dan minum air putih. Ibu akan memberikan semua itu menjelang mahgrib.“ jelas Subiarsih. “Biyanto siap.”jawab Subiyanto. “Kamu hanya boleh duduk bersila di dahan itu saja dan tak bergerak. Hanya tanganmu yang boleh dipakai untuk mengambil pisang emas dan air minum yang akan ibu berikan dengan galah itu.“ lanjut Subiarsih sambil menunjuk galah yang bersandar di pohon asem itu. “Ya bu.“ jawab Subiyanto. “Kamu tidak boleh tergoda oleh apapun dan harus mampu menahan hawa nafsu serta menahan rasa bosan dan sakit di badan.“ terus Subiarsih. Menjelang matahari terbit, Subiyanto memanjat pohon asem dan duduk bersila di salah satu dahannya. Dengan diawali dengan ucapan bismillah, ia mulai menjalani puasa 40 hari sebagai usaha menguasai saipi angin. Tak lupa ia melafalkan rapal saipi angin yang diajarkan ibunya. Pada pagi hari menjelang matahari terbit dan ketika matahari terbenam, rapal saipi angin diucapkan. Tak lupa ia menjalankan sholat lima waktu secara tayamum. Pada hari pertama hingga ke lima terasa berat karena Subiyanto harus melawan hawa nafsu dan menguji kekuatan fisik. Deraan panas di siang hari dan dingin di malam hari menyiksa tubuh mungilnya. Ketika matahari tepat di atas kepala, panas terasa menyiksa walau rimbunannya dedaunan pohon asem sedikit menaungi. Sedangkan ketika malam, dinginnya angin malam menyusup hingga ke tulang sumsum sehingga menimbulkan gigil di tubuh. Namun setelah melewati lima hari pertama, Subiyanto menjadi terbiasa untuk menahan panas sinar matahari, dingin angin malam dan lapar di perut. Dengan ketenangan dan semangat tinggi, ia menjalankan latihan. Niat hati tertuju pada saipi angin. Ia memiliki keyakinan untuk menggapainya. Namun ujian belum usai, cobaan mulai datang dari mahkluk kasat mata. Pada awalnya, Subiyanto mendengar suara tangis dari rimbunan pohon bambu yang lebat. Tak lama, ia mendengar tangisan bayi. “Jangan hiraukan siapapun dan apapun yang menghalangi niat hatimu!“ pesan ibunya terngiang di telinga. “Aku harus mampu menyelesaikannya!“ batin Subiyanto. Selang beberapa menit, ia mendengar suara yang mirip suara ibunya yang memanggil dirinya. “Biyanto! Ke sini nak! Ibu minta tolong.“ seru suara itu dari rerimbunan bambu. Berkali-kali, suara yang mirip suara ibunya menggema bahkan suara itu menjadi suara yang menyayat hati. Subiyanto hampir berdiri untuk turun dari pohon asem itu untuk menolong ibunya. Namun ia kembali teringat pesan ibunya, “Biyanto. Apapun yang terjadi kamu jangan turun!“ Memang benar, kalau suara itu hanyalah cobaan. Ketika Subiyanto mengabaikan dan tetap berkonsentrasi dengan saipi angin, suara itu berubah menjadi tawa mengerikan dan menyeramkan. Hingga tiba-tiba angin berhembus kencang di malam itu. Lolong anjing melengking di halaman depan rumahnya. Tiba-tiba di hadapannya berdiri mahkluk kasat mata berwujud perempuan berambut panjang dengan mata tajam. Wajahnya menyeramkan dan ia tertawa hingga Subiyanto melihat giginya yang kehitaman. Walau bulu roma berdiri, Subiyanto tetap duduk bersila. Ia mulai melafalkan ayat-ayat kursi digabung dengan rapal saipi angin. Wajah perempuan itu menjadi bengis kala mendengar ayat kursi dilafalkan. Tangannya yang berkuku tajam diayunkan untuk mencabik leher Subiyanto. Namun cabikan itu seperti membentur benda keras. Kuku tajamnya tak mampu menyanyat kulit leher Subiyanto. Ia melakukannya berulang-ulang bahkan ia melakukannya dengan ke dua tangannya. Dari depan, samping kanan dan samping kiri, ia berusaha merobek kulit Subiyanto diiringi tawa keras yang menyeramkan. Tetapi tawa keras itu berubah menjadi suara mengaduh kala kukunya hendak menyentuh kulit Subiyanto. Cabikan itu tidak hanya membentur benda keras tetapi juga menimbulkan sakit pada tangannya sendiri. Setelah mencoba berkali-kali dan mengalami kegagalan, mahkluk itu pergi meninggalkan Subiyanto sambil tertawa. Ia lega dan bersyukur pada Allah lalu kembali berkonsentrasi dalam semedi untuk menguasai saipi angin. Angin dingin yang berhembus telah mampu diatasi. Tubuh mungilnya tak menggigil lagi. Cahaya bulan yang menyinari bumi memberi sedikit penerangan dan menerpa tubuh Subiyanto. Ia memejamkan mata dan pikiran dalam konsentrasi. Sayup-sayup terdengar lolong anjing bersahut- sahutan di kejauhan.Tiba-tiba seekor burung hantu hinggap di dahan yang berada di depan Subiyanto. Matanya menatap tajam. Subiyanto pun menatap mata burung hantu itu. Ia menunggu apa yang akan dilakukan burung hantu itu. Tubuh burung itu tak terlalu terlihat jelas namun bola matanya begitu jelas terlihat. Subiyanto tetap berkonsentrasi dalam semedi namun ia tetap mewaspadai burung hantu itu. Tak lama berdiri di samping burung hantu itu, seorang kakek yang wajahnya mirip dengan Sapuan. “Biyanto.“ sapa kakek itu. Subiyanto diam tak menjawab. Hatinya penuh dengan Tanya. “Siapakah kakek ini? Benarkah Mbah Sapuan?“ batinnya. “Jangan ragu! Aku menyukai tekad mu!“ ucap kakek itu lagi. Subiyanto hanya memberi senyum namun ia tetap menjaga hati untuk tidak meninggalkan semedinya. “Biyanto. Saipi angin menjadi landasan bagi ilmu yang lain. Kalau siang kamu menyerap energi panas dari matahari, sedangkan malam kamu menyerap energi dingin dari bulan. Itu merupakan upaya menyatukan dua energi dalam tubuhmu. Penyatuan keduanya akan menjadi kekuatan dasar.“ terang kakek itu. Subiyanto tak menjawab namun ia menganggukkan kepala. “Biyanto. Janganlupa! Kamu harus menjalankan sholat lima waktu dengan tekun. Alquran dan sholat adalah landasan bagi mu dalam mendarma-baktikan semua ilmu yang pernah kakek miliki.“ lanjut kakek itu. Subiyanto hanya mengangguk. Ia tetap berkonsentrasi dalam semedinya sambil mendengar semua pesan kakek itu dalam hati. Ia ingin berdiri dan memeluk kakek itu. Hatinya merindukan Sapuan yang telah lama meninggal. Subiyanto tak akan melupakan kebersamaannya dengan Sapuan. Lagipula, Subiyanto sangat mengidolai ayah dari ibunya itu. “Simpan saja keinginan hati mu. Kakek tahu kamu ingin memeluk tetapi tetaplah berkonsentrasi. Ingat! Kelak kalau kamu menguasai ilmu kakek. Maka kamu harus membela kebenaran dan kaum yang lemah.“ kata kakek itu. Subiyanto mengangguk. Tiba-tiba kakek itu menghilang dari pandangan. Walau hati terasa berat karena kepergian kakek itu, Subiyanto tetap menjaga semedinya. Ia memberi senyum pada burung hantu yang masih bertengger. Senyum itu berbalas dengan suara kicau burung hantu yang menggema. Lalu ia juga pergi meninggalkan Subiyanto. Bulan purnama yang kian ke barat menampakkan keindahannya. Sinarnya menerpa tubuh Subiyanto di antara sela-sela daun pohon asem. Sementara Subiyanto sedang mewarisi ilmu Sapuan. Jauh di desa Mutih, pertarungan sedang terjadi antara Suntoro dan Sudarsono. Persawahan yang usai dipanen menjadi medan tarung dua saudara kandung itu. Suntoro merupakan kakak sulung Sudarsono. Keduanya adalah kakak Subiarsih. Kakak-beradik itu sedang memperebutkan tanah warisan Sapuan. Dulu keduanya yang memprakarsai untuk merebut hak waris Subiarsih dan adik perempuannya. Lalu kedua menguasai tanah warisan Sapuan. Ketika mereka berhasil menguasainya bersama dua adik lelakinya yang lain, Keduanya menampakkan keserakahannya. Kedua saling berebut untuk mendapat bagian yang lebih banyak. Sutadi -adik lelaki yang terkecil- melepaskan haknya setelah melihat keserakahan kakak- kakaknya. Ia memilih untuk pindah dari rumah yang dibangunnya di tanah ayahnya. Dengan bantuan, Subiarsih dan adik perempuannya. Ia berhasil memiliki rumah dan sawah di Bungo bersama istri dan ketiga anaknya. Tak lama, tiga bersaudara itu mendengar perselisihan antara tiga bersaudara. Suntoro yang menjadi anak sulung ingin mendapat bagian yang paling banyak. Sedangkan Sudarsono dan Sulikhin meminta untuk dibagi dengan adil. Ketiganya sempat bertarung, Suntoro dikeroyok 2 adik lelakinya. Ia tak dapat dirobohkan walau dikeroyok. Namun ia tak dapat merobohkan lawannya. Pertarungan berakhir seri. Mereka membubarkan diri dari persawahan itu. Kemudian terjadi perang dingin di antara dua kubu. Hingga akhirnya Sulikhin memilih untuk meninggalkan tanah warisan ayahnya juga setelah Subiarsih memberi nasihat. Sutadi dan Sulikhin memohon ampun pada Sulastri dengan sujud-sungkem. Sulikhin pindah ke Desa Jetak, Demak. Ia ikut bekerja bersama Jaelani menjadi tukang bangunan di Semarang. Sedangkan Suntoro dan Sudarsono melanjutkan perseteruannya. Masing-masing bersikukuh pada kehendaknya. Maka perang dingin itu berlanjut dengan pertarungan malam itu. Suntoro yang lebih kuat mendapat perlawanan sengit dari Sudarsono yang membawa belati. Sudarsono sadar kekuatan Suntoro dan tak mampu menghadapinya dengan tangan kosong. Maka ia membawa belati yang dulu Pernah dipakai ayahnya untuk bekerja di ladang. Pada awalnya, ia mencoba melawan kakaknya dengan tangan kosong. Namun setelah mendapat bogem didagu dan tendangan didada, ia menggunakan belati. Dengan dada yang sedikit sesak, ia membabatkan belati ke arah kakak sulungnya. Sabetan yang mendadak itu membuat luka di lengan Suntoro. “Bangsat kamu Darsono!“ seru Suntoro ketika belati Sudarsono menggores lengannya. Sudarsono hanya diam dan tak memperdulikan makian Suntoro. “Letakkan belati itu kalau kamu jantan!“ teriak Suntoro lagi. Sudarsono tetap tak memperdulikan teriakan itu. Ia kembali menyerang Suntoro dengan belatinya. Perut dan leher menjadi sasaran serangan itu. “Bajingan! Ku patahkan leher mu!“ ancam Suntoro sambil terus menghindari serangan Sudarsono. Suntoro hanya dapat berkelit dan tak mampu membalas serangan karena belati menjadi penyebabnya. Walaupun ia memiliki kemampuan kanuragan di atas Sudarsono. Namun dengan tangan kosong, ia tak berdaya dan hanya bertahan dan menghindar. Hingga menjelang subuh, pertarungan masih berlangsung. Serangan keduanya sudah melemah karena tenaga terkuras. Suntoro sudah berani membalas serangan walau lemah tenaganya karena gerak belati Sudarsono juga melambat. Keringat yang mengucur deras tak menghentikan niat keduanya untuk saling menjatuhkan dan membunuh lawan. Suntoro berusaha untuk menjatuhkan belati itu agar dengan mudah melumpuhkan adiknya. Ia tak dapat menemukan apapun di sekitar lokasi perkelahian karena gelapnya malam. Ia tak melihat dengan jelas walau bulan purnama menerangi persawahan itu. Walau sempat menemukan benda panjang seperti sepotong bambu. Namun ketika berhasil diraihnya ternyata hanya pelepah daun pohon pisang yang usai dipakai sebagai mainan anak-anak. Babatan belati Sudarsono membuat pelepah daun pohon pisang terpotong. Ia kembali bertangan kosong dalam menghadapi adik kandungnya. Sabetan Sudarsono sempat melukai lagi lengan kirinya. Ia sempat putus asa untuk menuntaskan pertarungan itu. Tetapi akhirnya ia menemukan cara untuk mengimbangi belati Sudarsono. Di tengah perkelahian itu, ia melepaskan kaos yang dikenakan lalu memakainya sebagai senjata. Puntiran kaos yang digenggam kedua ujungnya menjadi kekuatan menahan sabetan belati. Beberapa menit kemudian puntiran kaos itu berhasil melilit lengan Sudarsono yang memegang belati ketika ia mencoba menusuk perut kakaknya. Dengan berkelit Suntoro menghindar lalu puntiran kaos di tangan dililitkan pada pergelangan tangan Sudarsono lalu menariknya. Sudarsono yang tak menyangka tarikan dan lilitan itu terkejut dan tertarik mendekat ke arah kakaknya yang sudah menyiapkan bogemnya. Dengan cepat belati yang dipindah ke tangan kiri dan dihujamkan ke jantung kakaknya dengan memanfaatkan tenaga tarikan kakaknya. Suntoro tak mampu mengantisipasi serangan itu karena Sudarsono memanfaatkan tenaga tarikannya dan memindahkan belati dari tangan kanan untuk dibenamkan ke tubuh Suntoro dengan tangan kiri. Belati menghujam ke jantung Suntoro. Namun ia masih memiliki tenaga. Belati yang terhujam direbut dari tangan kiri Sudarsono lalu dengan belati itu ia menusuk jantung Sudarsono yang mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri kakaknya yang kuat. Belati menghujam dengan cepat ke jantung Sudarsono. Keduanya tersungkur. Sudarsono terkulai sambil memegang dadanya yang terhembus belati. Sedangkan Suntoro masih mampu bangkit lalu mendekati adiknya. “Kita berdosa pada bapak.“ kata Suntoro pada adiknya. “Juga kepada ibu, Subiarsih, dan yang lain.“ tambah Sudarsono. Suntoro mencabut belati dari dada Sudarsono lalu membuangnya. Ia membantu Sudarsono berdiri lalu keduanya saling memapah untuk berjalan ke pemakaman desa Mutih. Kadang-kadang keduanya jatuh terjungkal lalu bangun kembali untuk melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai ke pemakaman. Keduanya tersungkur di hadapan Nisan Sapuan. Masing-masing mengucap doa dan memohon pengampunan karena perilaku yang tak terpuji. Sudarsono menjadi orang pertama yang meletakkan kepala untuk selamanya di sisi kiri makam Sapuan. Suntoro masih sempat melihat adiknya yang meregang nyawa lalu diam untuk selamanya. Ia menyusul kemudian. “Honocoroko. Dotosowolo. Podojoyonyo. Mogobotongo.“ desis Subiarsih ketika mendengar berita kematian dua kakak lelakinya. Ia bersama saudara lelaki dan perempuannya membantu memakamkan keduanya di sisi kanan dan kiri makam Sapuan. Walau Subiarsih adalah perempuan, namun ia dipercaya kakak lelaki dan adik perempuan untuk menaikkan doa agar kedua kakaknya diterima dan sampai dengan sempurna di sisi Allah. Subiarsih memang memiliki kelebihan dalam ilmu agama bila dibandingkan saudara sekandung lainnya. Di Kalicilik, ia juga memberikan pengajian kepada warga dusun. “Semua itu karena gila harta.“ kata Subiarsih pada saudara kandung ketika berkumpul di mushola rumah ayahnya. Mushola yang tak terawat karena penghuni lahan itu mengabaikan sholat dan ibadah sepeninggal Sapuan. “Maafkan aku ya dik. Dulu aku ikut-ikutan ngusir kamu dan Sukarti dari Mutih.“ ujar Sutadi -Kakak Subiarsih. “Sudahlah! Yang sudah tak perlu diingat lagi. Sekarang lebih baik memikirkan yang di depan.“ respon Subiarsih. “Lalu bagaimana sekarang?“ tanya Sukarti. “Terus terang! Dulu bapak memberikan warisan berupa perhiasan kepada ku dan Sukarti. Jadi aku tak punya keinginan apa pun.“ jelas Subiarsih. “Karena dulu, aku serakah maka sekarang aku usul agar rumah dan tanah ini dijual dan dibagi rata kepada semua anak bapak. Tentang perhiasan pemberian bapak, itu rejeki kalian karena kalian tidak serakah.“ usul Sulikhin. “Aku setuju.“ tegasSutadi. “Terserah kalian tapi aku minta supaya anak-istri Kang Toro dan Kang Darsono juga menerima haknya dengan adil. Atau kalau mereka tetap mau di rumah ini, lebih baik kita berikan saja. Kita jual yang memang tak akan tinggal di sini lagi.“ balas Subiarsih. Akhirnya, rumah warisan Sapuan dibagi untuk semua ahli warisnya. Subiarsih yang menerima haknya tak mempergunakannya. Ia menyimpan saja. Ia dan Jaelani bersepakat untuk memberikan warisan Sapuan pada anaknya sebagai bekal bagi anak-anak untuk mengarungi kehidupan. 10 hari setelah pertarungan berdarah itu, Subiarsih mendatangi Subiyanto yang masih bertahan di atas pohon asem. Hatinya berbahagia karena anaknya mampu bertahan hingga hari ke 39. Subiarsih semakin diyakinkan bila Subiyanto memang pantas menerima ilmu warisan ayahnya. Jelang maghrib, ia memberikan sebuah pisang emas dan sebotol air minum pada anaknya. Subiyanto menerima makanan buka puasanya. Dengan cara tayamum, ia bersholat maghrib lalu menikmati pisang emas dan air putih itu. Kemudian ia kembali melanjutkan semedinya. Kali ini ia berhadapan dengan rasa kantuk yang berat karena 39 hari ia tak memejamkan mata. Semangatnya masih membara namun kekuatan fisik mulai menggapai titik puncaknya. Sehari kemudian, usai imsak, ia tak mampu lagi menahan kantuk hingga dalam semedi ia tertidur. Ketika terbangun, ia terkejut karena sudah berada di atas ranjang dengan Subiarsih yang duduk di sampingnya. “Ibu.“ lirih Subiyanto. “Kamu berhasil nak.“ balas Subiarsih. “Apanya yang berhasil? Aku terjatuh!“ balas Subiyanto. “Coba kamu bercerita apa yang terjadi?“ perintah ibunya. “Biyanto bertemu 2 orang berjubah putih dan menyeret masuk lorong panjang.“ cerita Subiyanto. “Hmmmmm lalu?“ tanya Subiarsih. “Lalu Biyanto diletakkan di padang rumput ketika ke luar dari lorong itu. Di padang rumput itu, ada jurang di kedua ujungnya. Di seberang ujung yang satu, terdapat padang rumput yang dipenuhi banyak orang berjubah putih.“ jelas Subiyanto. “Ini minum dulu biar agak kuat.“ kata Subiarsih sambil memberikan segelas minuman racikannya. Subiyanto segera meminumnya dengan perlahan lalu meletakkan gelas di meja dekat peraduannya. “Sedangkan di ujung lain juga ada padang rumput yang sepi. Tiba-tiba, Biyanto terjatuh ke jurang itu. Ketika sadar sudah berada di peraduan ini.“ kata Subiyanto. “Kamu memang sudah menguasai saipi angin. Ibu berpesan agar kamu tidak boleh mempergunakan dengan sembarangan dan mempertontonkan di hadapan orang banyak.“ pesan Subiarsih. “Baik bu. Biyanto akan melakukan semua pesan itu.“ jawab Subiyanto. “Tidurlah! Kamu harus memulihkan kekuatan supaya bisa bersekolah 3 hari lagi“ kata Subiarsih lalu berlalu dari dekat anaknya. Subiyanto pun meraih guling lalu terlelap dalam senyum.
Cảm ơn
Ủng hộ tác giả để mang đến cho bạn những câu truyện hay
99+
21/08
0keren bisa jadi dana
14/08
0sangat bagus
02/08
0Xem tất cả