Senja yang kering terhampar di Mutih. Laki-laki paruh baya berdiri tegak memandang hamparan sawah yang kering kerontong dan tak sebatang padi yang tumbuh di sana. Burung-burung yang beranjak menuju peraduan, tak menggoyahkan pandangan mata dan hati yang dipenuh dengan kepedihan dan kegelisahan karena tak setitik air hujan yang menerpa persawahan itu hingga bulan ke sembilan pada tahun ke tujuh sejak negeri ini memiliki penguasa baru. Beberapa kali ia menghela nafas. Terkadang mata kirinya mengecil dengan keryit di dahi. Kekeringan yang menghantam persada Mutih menimbulkan hela nafas karena ia sangat memahami dampaknya bagi orang-orang yang tinggal di Mutih. Terkadang kedua tangannya menengadah ke langit seakan memohonkan kepada Penguasa langit untuk menyudahi kekeringan yang meresahkan hatinya. Walau Sang Penguasa langit seakan membisu namun ia tak berhenti menengadahkan tangannya. Hingga akhirnya suara adzan maghrib yang terdengar dari perkampungan Mutih membuatnya pergi dari tempatnya berdiri. Langkah kaki menuju perkampungan Mutih diiringi dengan hela nafas panjang. Melangkah dengan hati yang tak tenang melihat kenyataan alam dan ketetapan Sang Penguasa langit. Kepulangannya untuk menunaikan sholat maghrib disambut Sulastri -perempuan yang telah mendampingi selama 40 tahun dan memberikan empat anak laki-laki dan sepasang anak dara dengan beberapa cucu yang masih belia. “Pak. Sarmin datang dan menunggu di depan. Ia dan keluarganya tak makan sejak pagi tadi.” Kata Sulastri. “Aku sholat dulu!“ jawab Sapuan dengan hela nafas panjang. Sulastri segera menuju serambi depan rumahnya. Ia melangkah dengan cepat ke arah serambi depan melewati ruang tengah rumahnya. Rumah desa jawa yang terlihat rapi dan asri. “Mas Sarmin! Diajak sholat berjamaah bapak.“ kata Sulastri segera setelah menemui Sarmin. “Ya Bu! Saya wudhu dulu.“ balas Sarmin terus melangkah menuju mushola kecil di samping rumah Sapuan. Maghrib itu, mushola kecil yang didirikan Sapuan di samping rumahnya, dipenuhi dengan seluruh anggota keluarga dan Sarmin. Kekhusukkan terasa di maghrib itu. Sapuan menjadi imam sholat berjamaah itu. Keempat anak lelaki dan dua orang menantu laki-lakinya berjajar di belakangnya. Sedangkan istri, anak perempuan dan menantu perempuannya berjajar di barisan belakang. Tak lama ia mengajak Sarmin duduk di ruang tamu rumahnya seusai sholat. Dengan beralaskan lantai yang diplester semen, ia duduk bersila di hadapan Sarmin. Sulastri segera menyuguhkan kopi hangat dengan singkong rebus. “Min! Di minum dulu kopinya. Hanya ada singkong!” sapa Sapuan. “Terima Kang!“ jawab Sarmin diikuti sruputan kopi. “Bu! Ambilkan beras di lumbung!“ kata Sapuan kepada Sulastri yang duduk di belakangnya. Sulastri segera beranjak dari duduknya bersama Jaelani menantu lelakinya yang selalu siap sedia membantu mertuanya. Ia mempercayai suaminya bahwa di lumbung terdapat beras walau sesungguhnya mereka tak memiliki persediaan beras. Sapuan memang bukan kepala desa namun warga desa Mutih memiliki kepercayaan padanya. Bukan sekali ini saja warga desa yang mengalami rintangan dan hambatan menjadikan Sapuan sebagai tempat mendapatkan pertolongan. “Ini berasnya pak!“ kata Jaelani sambil meletakkan beras yang di wadahi dunak. “Pulang min! Bawa beras ini! Beri makan keluargamu!“ kata Sapuan. “Terima kasih Kang! Ini lebih dari cukup. “Jawabnya. “Jangan lupa! Sholatnya jangan bolong-bolong. Hanya Allah yang bisa menolong dari kemarau panjang ini“ balas Sapuan. “Ya Kang! Saya dan keluarga akan melakukan wejangan Kang Sapuan” kata Sarmin yang segera berlalu dari rumah Sapuan. Rumah yang hanya diterangi lampu minyak segera hening. Sulastri segera membereskan sajian yang disuguhkan tadi. Sedangkan Jaelani berpamitan untuk kembali ke rumahnya yang terletak di ujung kanan belakang rumah Sapuan. Tempat tinggal Sapuan memang bertanah luas. Rumahnya menjadi induk dari rumah keluarga anak-anaknya. Masing-masing anak dan menantu dibuatkan rumah yang berdiri sejajar di samping kanan dan kiri serta belakang rumahnya. Tak lupa ia membuat mushola yang didirikan di sebelah kiri halaman depan tempat tinggalnya. Di tengah keheningannya di serambi depan rumah, Sapuan mendengar suara dari halaman rumahnya. “Assalamualaikum.“ sapa laki-laki paruh baya bersama dua orang laki-laki yang lebih muda usianya. “Waalaikumsalam. Kok janur gunung Pak Inggi.“balas Sapuan, sambil berdiri menyambut kedatangan tamunya. Petinggi adalah sebutan bagi orang yang menjadi kepala desa di desa-desa di JawaTengah. Orang di Desa Jawa Tengah biasa memanggil Petinggi dengan panggilan inggi. Mereka segera berjabat tangan. Sapuan menyambut para tamunya. “Silahkan. Pak Inggi. Silahkan duduk. Bu. Pak Inggi datang ke sini.“ seru Sapuan diiringi dengan duduknya Faisal dan kawan-kawan di ruang tamu. Sulastri segera muncul dari tirai kain yang menutup kamar tidurnya. Ia memberi salam kepada Faisal dan kawan-kawan dengan cara menyatukan telapak tangan dan menyentuhkan ujung jari ke ujung jari tangan Faisal dan kawan-kawannya. “Pak Inggi kok tumben malam-malam kemari.“ sapa Sulastri. “Ya. Nyi ini penting buat Mutih.“ balas Faisal. Nyi adalah sapaan untuk perempuan yang dituakan atau sebutan istri lelaki jawa yang memiliki status sosial tertentu di jaman penjajahan hingga sekitar tahun 70an. “Buatkan kopi buat Pak Inggi!“ kata Sapuan. Sulastri segera berdiri dan berlalu menuju dapur. “Bagaimana Pak Inggi? Apa ada yang ingin dibicarakan. Saya siap membantu.“ lanjut Sapuan. “Begini lho Kang. Sejak Maret hujankan tidak pernah turun, sungai sudah kering, sumur-sumur juga sudah tak berair lagi.” Kata Faisal. Faisal mengajak Sapuan yang mencari jalan ke luar bagi warga desa Mutih karena kemarau tahun 1975 sedemikian panjang. Mula-mula persawahan dan ladang menjadi tak berfungsi maksimal karena tanaman padi tak mungkin ditanam bila tak memiliki air yang cukup. Warga desa Mutih beralih menanam palawija, jagung dan keledai. Namun itupun hanya dapat berhasil satu panenan saja karena air yang kian langka tak mungkin dipakai untuk menyirami tanaman lagi. Mereka lebih memilih untuk menggunakan air untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan kondisi seperti itu, warga desa Mutih mengandalkan beras dan bahan pangan yang diperoleh di masa musim penghujan. Pada setiap rumah desa di Jawa Tengah terdapat lumbung untuk menyimpan hasil tanaman di masa penghujan. Beras, jagung, dan kedelai disimpan untuk di pakai untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga atau sebagian dijual. Namun panjangnya kemarau kali ini membuat bahan pangan itu menipis hingga akhirnya tak bersisa. Warga desa Mutih beralih ke gaplek dan singkong untuk mencukupi kebutuhan pangannya. “Jadi saya datang ke sini untuk meminta saran dan jalan ke luarnya Kang. Kasihan orang-orang di sini yang harus mengambil air di tempat yang jauh di sungai besar.“ terang Faisal. “Aku sangat memahami keadaan ini Pak Inggi.“ balas Sapuan dengan menghela nafas. Ia juga mencintai warga desa Mutih walau bukan Petinggi. Sapuan memang bukan kepala desa tetapi warga desa Mutih sangat menghormati dan menyegani. Sapuan memiliki kelebihan yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Kelebihan yang dimilikinya tak dipakai untuk tujuan buruk atau menyombongkan diri. Bagai padi yang menunduk kala berisi. Sapuan tak membangga-banggakan kelebihannya. Ia menggunakannya untuk kepentingan warga desa Mutih khususnya dan semua orang yang membutuhkan pertolongan. “Silahkan Pak Inggi, kopinya disruput.“ kata Sulastri kala ia muncul dari ruang belakang rumahnya dan menyajikan empat gelas kopi tubruk ala desa-desa JawaTengah. “Terimakasih Nyi. Kok merepotkan.“ balas Faisal. “Tidak perlu sungkan. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri. Silahkan dicoba kopi buatan Nyi Sapuan.“ kata Sulastri dengan nada gurau. “Silahkan Pak Inggi. Diminum dulu kopinya.“ujarnya Sapuan dengan kewibawaannya. Faisal dan kawan-kawan segera menikmati kopi buatan Sulastri. Kopi tubruk ala desa-desa di JawaTengah memang memiliki ciri khas tersendiri. Biasanya agak berminyak karena ketika diolah, biji kopi sedikit diberi parutan atau potongan kecil kelapa yang tua. Rasanya tak kalah dengan kopi buatan pabrik manapun. Itulah sebabnya warga desa di Jawa Tengah masih banyak yang mengolah sendiri biji kopi daripada membeli kopi buatan pabrik. “Enak sekali Nyi kopinya. Kopinya nikmat dengan gula yang pas.“ puji Faisal pada Sulastri. “Halah... Pak Inggi bisa saja. Bilang saja kopinya tak enak. Jangan muji-muji gitu lho.“ balas Sulastri. “Bener lho Nyi. Saya bicara apa adanya. Nih saya nyruput lagi.“ tegas Faisal. “Sudahlah kopi saja diributkan. Sudah bu diam. Biar cepat selesai urusannya. Ini menyangkut warga Mutih.“ tandas Sapuan. Sulastri segera berdiam diri karena ia sangat menghormati suaminya dan memahami keadaan yang sedang melanda desanya. Ia bangga pada Sapuan yang sangat memperdulikan warga desa. “Apakah sekarang keadaannya makin berat Pak Inggi?“ tanya Sapuan. “Ya Kang. Banyak warga desa yang terpaksa memakai air sungai itu untuk minum dan memasak.“ jawab Faisal. “Akibatnya banyak yang menderita diare dan disentri karena mungkin tidak dimasak dengan benar atau memang air sungainya yang memang sangat kotor.“ tambah Imron, laki usia 30 tahun yang membantu Pak Inggi dalam menangani pengairan di sawah dan ladang. “Kalau pangan masih agak lumayan karena warga desa bisa mengkonsumsi gaplek.“ terang Sodik Yang menjabat sebagai Carik Desa Mutih. “Ya... Tetapi tidak semua bisa makan karena tidak semua orang punya gaplek. Ada yang tidak punya apa-apa lagi.“ sanggah Sapuan. “Lalu bagaimana jalan ke luarnya Kang? Kalau dibiarkan saja, orang akan kelaparan dan wabah penyakit cepat datang.“ tanya Faisal. “Kita harus meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Ia menurunkan welas-asihnya.“ jawab Sapuan. “Lalu?“ sergah Faisal. “Serukan pada warga Mutih untuk menjalankan sholat lima waktu dengan tepat. Jauhi perbuatan maksiat! Tahajudlah!“ jawab Sapuan. Ketiga menjawab serentak, “Ya.” “Insyaallah. Allah berkenan pada permohonan kita. Saya juga akan membantu.“ tambah Sapuan. “Terima kasih Kang! Semoga Allah berkenan pada doa kita.“ kata Faisal lalu berpamitan Kepada Sapuan dan Sulastri. Malam itu, Sapuan tak memejamkan matanya. Usai mengambil cemeti dari dalam peti dan mengisi kendi dengan air, ia berjalan menuju mushola. Ia bersholat dengan cemeti dan kendi diletakkan di sebelah kanan dan kiri. Setelah menjalankan 2 rokaat, Sapuan duduk bersila. Ia berdiam dengan bersila. Mata menatap tajam ke depan dengan berkomat-kamit mengumandangkan Dzikir. Menjelang tengah malam, ia berdiri sambil menenteng cemeti di tangan kanan dan kendi berisi air putih di tangan kiri. Ia melangkah ke punden desa Mutih yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya. Konon punden itu merupakan makam Syeh Abdul Rohman yang dipercayai warga Mutih sebagai sesepuh desa. Ia duduk bersila. Cemeti dan kendi itu diletakkan di hadapannya.
Cảm ơn
Ủng hộ tác giả để mang đến cho bạn những câu truyện hay
99+
21/08
0keren bisa jadi dana
14/08
0sangat bagus
02/08
0Xem tất cả