logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Narasi 02

Raden diam melipat kedua tangannya di depan dada sembari mengamati maket yang ada di depannya. Ia mengurut bagian kening, kebiasaannya ketika berpikir dengan serius. Sudah nyaris satu jam ia mengamati hasil coretan kliennya dan mencocokkan dengan maket yang ia buat. Lelah. Langit mulai menjingga dan jarum pendek menunjukkan pukul lima sore.
Seseorang masuk ke ruangannya dengan membawa segelas kopi untuk dirinya sendiri. "Hectic banget si lo, ngopi aja dulu. Gak cape apa itu pala buat mikir mulu."
Raden mendengus dan tersenyum miring. "Gak ada kerjaan apa lo?" ia berdiri tegak dan berkacak pinggang mendapati rekan kerjanya yang sama-sama belum berniat meninggalkan kantor.
"Gak perlu pamer lah, gimana banyaknya kerjaan gue sampai rasanya kepala mau meledak," jawabnya sambil menyeruput kopinya.
Raden berjalan mendekat dan mengambil alih gelas kopinya, "gak buatin buat gue gitu."
"Sampis! Punya gue aja masih lo embat." Okta merebut kembali gelas kopinya sembari mendelik gemas.
"Cowok lo ga dateng jemput, Ta?"
Oktarima Ayu, rekan kerja Raden menggeleng. "Mati kali dia."
Raden berdecak, "kalo iya, lo nangis satu bulan penuh tanpa jeda, Ta." Raden menggeleng kecil lalu mengembalikan gelas kopinya.
"Gue mau balik ikut nggak?" tawar Raden basa basi.
Okta menggeleng lagi, "males bangunin singa bobok, Den. Maket dari project personal udah mulai digarap?"
"Belum, tapi udah mulai prepare juga, Ta. Project bareng dulu yang digarap."
Okta mengangguk, ia berjalan ke salah satu jendela ruangan Raden. Ruangan yang tidak terlalu luas, berada di lantai tiga. Tidak begitu memaparkan keindahan namun cukup untuk menghilangkan penat dengan melihat keramaian.
Okta bersender di tembok sebelah jendela, "jadi, cerita yang kemaren lo wasap gimana?" jadwalnya yang padat hingga ia baru sempat menanyakan hal ini pada lelaki di depannya. Si Dzaki juga sama, sedang sibuk mengurus beberapa hal.
Raden ikut menyadarkan badan dekat meja kerjanya, kini mereka berjarak sekitar satu sampai dua meter. Raden menyembunyikan kedua tangan di balik saku celana kain. "Gue gak tau, sebenernya pas Ayah ngomong kemaren gue emang murni bercanda."
Alis Okta menyatu seolah tidak percaya lontaran kalimat Raden.
"Oke, emang gak bercanda murni. Cuma gue ceplas-ceplos aja, tapi berakhir maut," jawab Raden yang diikuti gedikkan bahu.
"Mampus lo, suruh kawin bandel. Suruh pacaran juga sok-sokan ga mau diseriusin. Kena karma, kan."
Raden memutar bola matanya malas, "please deh, gue ga butuh judgement lo."
Okta menyeruput kopinya lagi, "mau buat rencana buat gagalin? Atau sok-sokan dandan jelek biar ilfeel!? If you remember, how old you are." Okta tertawa hambar, "gak lucu."
"Lo pikir gue sebodoh itu? Males aja gue dateng ketemu cewe pilihan Bunda," jawab Raden diikuti decakan dari bibirnya. Raden melipat kedua tangannya di depan dada, "biar gue ketemu dia dulu deh, toh dia cantik di fotonya."
"Kayak apa sih? Penasaran."
Raden mengedikkan bahu sebagai jawaban, "pengen ngrokok."
"Inget, ini kantor!" ketus Okta.
"Becanda kok, Ta, jangan dibawa serius. Bibir gue sepet kalo gak ngrokok sehari, siang meeting gak enak kalo ngerokok."
"Kurang-kurangin kek ngerokoknya, bibir lo sampe item gitu. Kasian juga paru-paru lo."
Raden tersenyum masam, "gak usah sok peduli deh."
Oktarima hanya memutar bola matanya malas, dia tidak paham kenapa Raden selalu mengatakan kalimat seperti itu jika ia mencoba untuk peduli apapun tentang dirinya. "Balik aja deh gue daripada sama lo."
Kemudian Okta melenggang keluar dari ruangan Raden.
Raden menghela nafas lega, "keluar juga itu syaiton." Kemudian ia membalikkan badan dan membaca berkas kerjaan yang Raden yakin dibawa Okta tadi. "Mau naroh kerjaan tapi bacotnya suka berkelana."
"Heh! Gue denger ya! Awas kalo lo besok minta curhat gue lagi, gak gue dengerin! Sono curhat sama sohib lo, jangan gue!"
Raden terkesiap mendengar suara lantang Okta, dia tidak tau Okta belum kembali ke kubikelnya. "Edan, itu cewek. Untung sayang."
Iya, sayang sebagai teman dari bangku kuliah.
.baekharuu.
Akhir pekan. Hari minggu khususnya adalah hari yang paling di nanti Raden, dia hanya akan tiduran sambil menghabiskan waktu dengan menonton film atau benar-benar hanya rebahan tanpa kegiatan.
Suara langkah terdengar di telinga Raden. Paling hanya Bundanya yang sibuk di hari minggu karena Ayahnya pun libur bekerja. Ayah Raden, Brahmana, meski umurnya sudah menginjak kepala lima tidak ingin berhenti bekerja sampai anak bungsunya lulus sarjana.
Raden kira Bundanya sibuk mengurus dapur, namun sekarang justru tengah berkacak pinggang di dekat pintu. "Den, kamu gak pengen mandi? Tiduran terus, mumpung Ayah dirumah tuh keluar ngopi kek atau ngobrol."
Raden yang masih tergolek malas menjawab, "Iya, bun. Biar Raden mandi dulu baru ke Ayah."
"Yauda buruan, biar Bunda masakin soto santen."
Raden menggumam, "sama teh anget manis ya, Bun." Kemudian Sukma berteriak mengiyakan. Raden berdiri dari tidurnya dan pergi ke kamar mandi.
.baekharuu.
Raden keluar kamarnya dengan setelan rumahan. Hari ini ia libur kerja, beruntung juga tidak ada meeting apapun hari ini.
"Gimana kerjaan kamu, Den?"
Raden berjalan mendekat, menyalami dan mencium tangan ayahnya. Ayahnya benar-benar masih tergolong sehat dan gagah di usia yang tidak lagi muda. "Biasa aja, Yah, meeting, buat sketsa terus ke maket, dan yaudah."
Brahmana mengangguk-anggukkan kepalanya, "terus ndak lupa cari jodoh kan?"
Raden menghela nafas pendek, "masih pagi banget, Yah."
"Lah kenapa? Ayah kan cuma nanya."
"..."
"Udah liat perempuan yang mau dikenalin kamu?"
"Ayah lapar? Raden kebetulan udah laper, mau Raden ambilin sekalian?"
Brama menarik salah satu lengan putranya, "duduk dulu, Mas."
Raden menurut tanpa berpikir, ia duduk bersama Ayahnya di teras. Di depan rumahnya memiliki lahan yang tak terlalu luas namun Bunda dengan telatennya merawat tumbuhan dan bunga untuk mengisi di beberapa sisi guna menyibukkan diri.
"Ayah sama Bunda memang membebaskan kamu dari kecil memilih apa yang kamu mau, Mas, bahkan mainan semahal apapun akan kami belikan. Ayah waktu kecil sudah diatur sama Eyang Kakung kamu, memilih ndak pernah bebas. Mainan, teman, jurusan kuliah semua yang memilih beliau tapi ayah menurut aja.
Ayah ndak mau maksa kamu buat cepet menikah dengan wanita sembarang. Ayah juga ndak masalah kalo kamu menikah tiga atau empat tahun ke depan, Mas.Tapi inget, Mas, kita hidup di masyarakat. Kita dituntut melakukan adat dan tradisi, kalo ndak kita dianggap aneh, nyeleneh. Kasian Bunda kamu, Mas."
Raden berdecak pelan, pelan banget agar Ayahnya tak mendengarnya. Alasan Ayahnya menyuruh ia untuk menikah bukan karena dirinya, bukan karena ia telah mapan, bukan karena ia telah berumur dua puluh delapan tapi karena Bundanya. Bundanya. Padahal yang menjalani dan menghadapinya adalah dirinya, Raden Bayu Lesmana.
Raden sengaja tak menjawab, ia mengambil sebatang rokok di atas meja kecil yang telah membuat jarak antara Ayah dan anak. Raden menaruh di sela jarinya, mendekatkan dengan bibirnya dan menyalakan pemantik.
"Jawab, Mas."
Raden mengeluarkan asap dari bibirnya, bibirnya yang kecil mungil dan menggiurkan.
"Yah, kapan Raden punya nilai di mata Ayah?"
Ayahnya berdeham, "kamu ngomong opo seh, Mas?"
"Nggak."
"Intinya Ayah mau yang terbaik."
Bramana memutus pembicaraan dan masuk ke dalam rumah.
Ayahnya, Brahmana, akan selalu seperti itu jika ia menuntut pengakuan dari beliau.
Bikin badmood, anjir.

Bình Luận Sách (3)

  • avatar
    KeysaAmalia

    sangat baguss

    16/02/2022

      0
  • avatar
    Ferry Septiardy

    mantul

    25/01/2022

      0
  • avatar
    Setiawan

    bagus sekali

    25/01/2022

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất