logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Menaklukkan Adit

"Pilihlah salah satu dari anak Tante untuk kamu jadikan suami."
"Hah?" 
Mata Tania membola mendengar penuturan stefi. Bagaimana mungkin dia bisa memilih salah satu dari ketiga lelaki itu sedangkan pertemuan pertama mereka sudah sangat menjengkelkan.
Yang bener saja? Masak aku disuruh milih salah satu dari tiga anaknya sih? Kenal aja belum, lagian apa mereka mau jadi suamiku? Tante ini benar-benar aneh.
"Maksud Tante, kenali dulu pribadi mereka. Kira-kira siapa nanti yang paling cocok denganmu, maka pilihkah dia." Stefi sepertinya tahu kalau Tania sedang bingung dengan perkataannya.
"Tante yakin mau punya mantu kayak saya?" Akhirnya hanya kalimat itu yang muncul dari mulut Tania. Bagaimana mungkin seorang yang kaya raya mau punya menantu seperti dia yang berasal dari desa. Tania pasti bakal jadi Cinderella di kehidupan nyata. Itupun kalau semua terjadi, kalau tidak ya biarkan Tania terus bermimpi saja.
"Memangnya apa yang salah denganmu?"
Stefi tidak masalah menantunya berasal dari mana pun juga yang penting dia baik, sopan, dan rajin beribadah. Untuk urusan cantik atau tidak dia tidak begitu mempermasalahkan, baginya nomor satu adalah attitude.
Sebenarnya dua anaknya yang sudah beranjak dewasa itu pernah membawa pacar mereka ke rumah namun kedua pacar anaknya ternyata hanya mengincar harta saja, entah apa alasannya akhirnya mereka putus. Stefi sendiri yakin kalau Tania bukanlah cewek matre seperti mantan-mantan anaknya. Semua itu bisa dia lihat dari cara berpakaiannya yang sangat sederhana. Terlepas dari asalnya yang dari desa, dia tahu kalau Dahlia dulunya adalah ratu kampus yang selalu bergaya modis. Mungkin karena terlalu lama hidup di desa jadinya semua sudah berubah. Hal itu jugalah yang dia ajarkan kepada anak semata wayangnya.
"Saya ini dari desa, katrok, terus saya juga tidak cantik lho Tante. Lagian mana mau anak Tante sama saya. Kesan pertama saja sudah tidak mengenakkan, sepertinya mereka j*j*k melihat saya, Tan," terang Tania tanpa rasa malu sedikit pun, dia hanya berusaha mengemukakan pendapatnya saja.
"Makanya itu Tante mau kamu mengakrabkan diri dulu sama mereka. Lagian tidak dalam waktu dekat kok Tante mau menikahkan kamu. Masalah penampilan kan bisa dirubah sedikit demi sedikit. Saya yakin orang tuamu mendidik kamu dengan baik karena saya sangat mengenal mereka berdua."
"Hmm, tapi …." Tania masih tampak ragu dengan keinginan Stefi yang terkesan nyeleneh dan tiba-tiba.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, anak Tante tidak ada yang tahu tentang masalah ini. Karena kamu dihadapkan dengan tiga cowok makanya Tante memberitahu kamu dulu. Fokuslah dengan kuliahmu dan kejarlah mimpimu, baru kamu bisa memikirkan masalah berumah tangga. Istirahatlah, Tante tinggal dulu."
"Iya Tante."
Stefi meninggalkan Tania sendirian di kamarnya degan banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya.
Tania merebahkan badannya di kasur karena merasa sangat kelelahan. Ditambah lagi dengan perkataan Stefi barusan, benar-benar menambah lelah pikirannya. 
"Gil*, baru juga datang sudah disuruh milih salah satu dari tiga anaknya. Aku akui mereka cakep-cakep sih, tapi sepertinya mereka tidak menyukaiku. Si Adit yang paling bungsu, lumayan ramah sih. Kalau si Mika, dia terang-terangan menunjukkan sikap tidak sukanya sama aku. Terus si sulung Wira, orangnya cuek banget, dingin kayak beruang kutub. Ya Tuhan, semoga aku bisa betah tinggal sama mereka semua."
Tania terus saja berbicara sendiri, dia tidak menyangka sambutan dari Stefi begitu membuat dirinya cukup syok. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuknya berfikir mengenai masa depan. Untuk saat ini dia hanya butuh tidur supaya pikirannya bisa jernih.
Lama kelamaan Tania tertidur dengan sangat pulas. Dia baru bangun saat jam di dinding menunjukkan angka tiga.
"Astaga, lama sekali aku tidurnya, sebaiknya aku cepat sholat dan keluar dari kamar."
Tania beranjak dari ranjangnya dan segera sholat. Setelah itu dia turun ke lantai satu dan menuju ke dapur. Dilihatnya seorang perempuan setengah baya sedang memasak di dapur.
"Masak apa, Bu?" tanya Tania.
"Eh, Eneng yang mulai hari ini tinggal di sini ya?" Perempuan itu menghampiri Tania, dia mengelap tangan dan mengulurkan ke arah Tania.
"Iya, nama saya Tania, Bu," ucap Tania memperkenalkan diri.
"Nama saya Yati, panggil saja Bik Yati."
"Oh ya Bik, ada yang bisa saya bantu?" tanya Tania sambil mendekat ke arah Bik Yati.
"Eh, tidak usah Neng. Biar saya saja, nanti saya dimarahi Nyonya kalau menyuruh Eneng kerja."
"Ish, tidak apa-apa Bik, saya sudah biasa kerja kok. Ini sayurnya di potong-potong ya Bik?" tanya Tania sambil mengambil sayuran.
"Tapi Neng …."
"Nanti kalau dimarahi Tante Stefi biar Tania yang jelaskan."
"Iya deh Neng, kalau begitu tolong kupas bawang saja."
"Siap Bik."
Tania membantu Bik Yati memasak sambil mengobrol. Pembawaan Tania yang ramah membuatnya bisa cepat akrab. Bahkan mereka berdua sesekali tertawa saat Tania menceritakan kisah lucunya.
"Tante Stefi ke mana Bik?"
"Tadi katanya pergi arisan gitu."
"Oh, kalau anak-anak Tante Stefi biasanya pulang jam berapa?"
"Tidak tentu sih Neng. Mas Adit hari ini ada ekskul jadi pulangnya sore. Kalau Mas Mika, kadang pulangnya malam banget, tau sendiri kan anak muda, paling nongkrong dulu sama teman-temannya. Terus mas Wira kalau pas tidak lembur, jam enam juga sudah pulang."
"Kalau Om?"
"Kalau Bapak jam lima sudah pulang, Neng."
"Oh, sepi juga ya Bik, rumah sebesar ini tapi pada sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri."
"Bik haus, minta minum."
Saat sedang asyik mengobrol, terlihat Adit datang dengan nafas ngos-ngosan. Bik Yati bergegas membuka kulkas dan mengambil minum untuk tuannya.
"Ini Mas," ucap Bik Yati sambil menyodorkan segelas minuman dingin.
"Terima kasih." Adit langsung menyambar gelas tersebut dan meminum isinya hingga tandas.
"Seger Dek?" tanya Tania sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Adit, dia berusaha mengakrabkan diri.
"Hmm, Mbak mau tinggal di sini?"
"Iya," jawab Tania, dia merasa kuatir kalau kehadirannya tidak di terima Adit.
"Oh, kenapa tidak ngekos saja sih? Bukankah lebih bebas kalau ngekos?"
"Maunya juga begitu, tapi Mamaku melarang. Katanya Jakarta keras, takut anak semata wayangnya terjerumus pergaulan bebas."
"Oh, Terus apa yang akan Mbak berikan untuk keluarga ini?"
"M--maksudnya?" Pertanyaan Adit berhasil membuatnya mengerutkan kening.
"Bukankah di dunia ini tidak ada yang gratis? Masak mau numpang cuma-cuma di sini sih? Jangan sampai Mbak cuma jadi benalu di rumah ini," ucap Adit sambil berlalu meninggalkan Tania yang masih berdiri mematung.
Busyet, bisa-bisanya dia ngomong gitu sama aku sih? Aku kira dia yang paling kalem, tapi ternyata lemes juga tuh bibir anak kecil.
"Neng, sudah jangan dipikirkan, Mas Adit sebenarnya orangnya baik kok. Dia kayak gitu karena belum kenal Eneng aja." Bik Yati tahu kegundahan teman barunya itu, dia sendiri juga merasa kaget saat mendengar Tuan kecilnya mengatakan hal yang menyakitkan hati orang yang baru saja dia kenal.
"Iya Bik, Aku tidak apa-apa kok," jawab Tania sambil tersenyum. Dia tidak mau terlihat lemah hanya karena omongan anak kecil.
Jam sudah menunjukkan pukul lima, masakan juga sudah tersaji di meja makan. Tania memutuskan ke kamar untuk membersihkan diri.
Setelah selesai mandi dan sholat maghrib, Tania keluar dari kamar dan berniat mau makan malam. Tania melepas kacamatanya dan menggerai rambut yang sebelumnya dia kepang dua. Rok panjang juga sudah dia tanggalkan diganti dengan celana pendek dibawah lutut.
Tania melewati sebuah kamar yang pintunya terbuka. Tania yang penasaran mengintip dari balik pintu. Bisa dia lihat Adit yang duduk di kursi belajar sambil sesekali mengacak rambutnya.
"Susah banget nih soal Matematika, mau nanya sama siapa nih, pusing dari tadi tidak selesai kerjaan rumahku." Adit terlihat mengeluh karena tidak bisa mengerjakan soal matematika.
Tania yang penasaran dengan Adit kemudian mengetuk pintu kamarnya.
"Siapa kamu?" tanya Adit yang merasa asing dengan sosok di depan pintu.
"Tania."
"Kok beda?" Adit kaget melihat Tania yang tidak berkaca mata dan rambut digerai.
"Ya bedalah, tadi belum mandi sekarang sudah mandi, hehehe." Tania berusaha melucu meskipun sangat garing.
"Ish, mau apa Mbak?"
"Boleh Mbak masuk? Sepertinya tadi kamu kesulitan mengerjakan  soal matematika," tutur Tania sembari bersedekap di depan pintu kamar Adit.
"Memangnya Mbak bisa mengerjakannya? Bukannya Mbak lulusan dari sekolah yang ada di desa? Paling Mbak tidak bisa mengerjakan soal sesulit ini, aku saja yang berasal dari sekolah bonafit di Jakarta tidak bisa mengerjakan ini kok." Adit berkata dengan tatapan mengejek.
Sombong bener nih anak kota. Memangnya kenapa kalau aku bersekolah di desa? otakku lumayan encer kok, harus aku beri pelajaran nih anak.
"Mbak kerjain dulu dong, baru kamu bisa komentar benar atau tidaknya jawaban Mbak," jawab Tania tenang.
"Yasudah, masuk saja dulu. Palingan juga tidak bisa mengerjakan." Adit masih saja meremehkan Tania.
Tania masuk ke dalam kamar, dia berdiri di samping kursi Adit dan melihat soal-soal yang sedang dikerjakan Adit. Tania tersenyum  saat melihat betapa mudahnya soal-soal itu.
"Wah, beneran, susah sekali soal ini." Tania berucap sambil melirik ke arah Adit.
"Beneran kan? Ini tuh susah banget Mbak, sudah sejam aku ngerjain tapi tidak bisa. Aku saja yang sekolah di sekolahan unggulan tidak bisa, apalagi Mbak yang sekolah di desa," ejek Adit.
"Coba sini."
"Mau ngapain?" 
"Mengerjakan soal yang sulit itu."
"Halah, sok-sokan kamu Mbak. Nih, kalau Mbak bisa ngerjain soal ini aku bakal ngelakuin apa saja yang Mbak perintahkan." Adit beranjak dari kursi, membiarkan Tania duduk di sana.
"Ok, siapa takut."
Tania mengambil buku dan  mengerjakan soal tersebut. Hanya butuh waktu lima menit untuknya menyelesaikan soal yang katanya sulit itu.
"Coba lihat ini, sudah benar belum?" tanya Tania sambil menyodorkan buku tersebut.
Adit melihat dengan seksama hasil kerja Tania. Matanya membola kala mendapati semua jawaban Tania benar.
"Hah? Kok bisa Mbak?"
"Jangan pernah meremehkan aku yang berasal dari desa. Bahkan otakku lebih encer dibandingkan dengan kamu yang bersekolah di sekolah unggulan," ucap Tania sembari meninggalkan Adit yang masih terbengong.
Satu singa sudah aku taklukan, tinggal dua lagi.

Bình Luận Sách (66)

  • avatar
    NgEme

    Saya sangat suka dengan ceritanya, seru

    16d

      0
  • avatar
    NiRa

    ceritanya sangat menarik

    19d

      0
  • avatar
    FahriFahri

    ceritanya sangat menarik

    22d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất