logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 7 Cinta Untuk Sang Majikan

Tenggorokan Luvia terasa tercekat. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Kesuciannya sudah hilang. Ya, dia memang tidak perawan lagi. Debaran jantungnya kini berubah menjadi kekhawatiran. Jika berkata jujur, dia takut sang majikan tak suka. Jika berbohong, dia lebih takut lagi akan ketahuan juga.
"Kenapa diam, Luvia?" tanya Edric. Dia berpindah tempat berdiri di belakang Luvia. Jari telunjuk Edric, mulai mengusap tangan Luvia, dari bawah sampai ke pundaknya. Pundak yang telanjang tanpa penutup itu, mulai bergetar merasakan sensasi yang Luvia idam-idamkan.
"Kamu masih virgin atau sudah tidak lagi, Luv?" Edric mengulangi pertanyaannya, karena wanita yang ada di depannya hanya diam mematung.
"Sa … saya sudah tidak perawan lagi, Tuan." Luvia membalikkan tubuhnya, lalu memeluk tubuh sang majikan.
Edric tersenyum. Apa yang dia pikirkan ternyata benar adanya. Gelagat Luvia memang seperti wanita nakal dan wanita penggoda. Edric berusaha menahan hasratnya. Dia tidak akan berbagi cinta kepada sembarangan wanita. Apalagi hanya didasari oleh pelampiasan nafsu belaka.
"Jangan diulang lagi. Bekerjalah dengan baik di rumah ini." Edric masih berusaha memperingatkan Luvia dengan kata-kata yang sopan.
Luvia mendongak menatap wajah sang majikan. Kemudian, dia mundur dan melepaskan pelukannya.
"Jadi, Tuan tidak tertarik pada saya?" tanya Luvia, menyembunyikan rasa malunya.
"Maaf, Luvia. Kamu bukan tipe wanita yang saya cari. Sudah malam, lebih baik kamu segera tidur." Edric segera membereskan peralatan kerjanya.
"Oh, iya, satu lagi. Berpakaianlah yang sopan seperti Inayah." Setelah menasehati Luvia. Edric pun segera berlalu.
Luvia terduduk, merasa malu dan merasa usahanya sia-sia. Dia tidak habis pikir, ternyata majikannya tipe laki-laki yang susah ditaklukkan. Selama ini, banyak laki-laki yang tergila-gila pada Luvia. Bahkan, belum ada yang mampu menolak apabila dirayu olehnya.
"Kenapa Tuan Edric bisa tahan atas godaan aku? Apakah obat itu tidak bekerja maksimal? Ih, kurang apa aku ini." Luvia membatin.
Wanita bertubuh indah itu benar-benar merasa malu, sekaligus merasa jengkel.
***
Pelukan hangat yang tiba-tiba Inayah rasakan, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Dia terkejut ketika wajah berahang tegas, yang dihiasi sedikit jambang itu tepat berada di hadapannya.
"Tu … Tuan?" Bibir Inayah bergerak perlahan, matanya melotot.
"Ssssstttt!" Edric menempelkan telunjuknya di bibir Inayah. Wanita belia yang tengah hamil muda itu, berusaha mengontrol tarikan nafasnya. Bayangan di balkon yang dia lihat beberapa waktu lalu, tiba-tiba muncul kembali.
Entah kenapa rasa cemburu itu perlahan tumbuh dalam dada Inayah. Melihat pembantu baru di rumah itu dekat dengan sang majikan. Hati Inayah merasa ada tantangan baru. Apalagi ketika dia melihat sendiri, gelagat Luvia mencoba mencuri perhatian sang majikan.
"Tuan ngapain di sini?" tanya Inayah. Dia tidak perlu heran, kenapa sang majikan bisa masuk ke kamarnya. Namun, yang membuatnya heran adalah, kenapa sang majikan nekat masuk ke kamarnya. Sementara itu, di sebelah ada orang baru di rumah itu. Bisa saja Luvia mengetahui semuanya, lalu melaporkan pada nyonya besar di rumah itu. Tentu saja akan timbul masalah baru.
"Aku rindu kamu, Sayang. Obat itu menghalangiku untuk tidur. Boleh malam ini, Sayang?" tanya Edric, berbisik.
"Maksud, Tuan?" Inayah masih belum juga paham.
Edric tak memberi jawaban apa-apa lagi. Pergerakan setiap anggota tubuhnya, yang memberikan jawaban langsung. Inayah menahan nafas, ketika sang majikan sudah mencium bibirnya. Inayah menjadi malu dan tak enak, karena belum sempat mencuci wajahnya. Bisa jadi air liurnya menempel di pinggir bibir. Akan tetapi, Edric tak mempermasalahkan itu.
Tak ada perasaan seperti biasanya. Inayah justru memejamkan matanya, mencoba menikmati setiap rasa yang tiba-tiba membuncah.
"Jaga bayi kita, Sayang." Edric kembali mengingatkan Inayah. Tatapannya penuh cinta dan kasih. Usai pergumulan itu, Edric masih betah memeluk Inayah. Bahkan, menatap wajahnya lama-lama.
"Saya lihat Tuan mulai akrab dengan Kak Luvia," ucap Inayah. Apa yang tadinya mengganjal, tak sungkan dia utarakan.
"Akrab? Tidak juga, Ay. Hmm, aku tidak suka wanita nakal seperti Luvia." Edric mengeratkan pelukannya di pinggang Inayah.
"Maaf, Tuan. Saya sudah lancang naik ke atas tadi. Di sana saya melihat Tuan duduk ditemani Kak Luvia. Makanya, saya memilih untuk segera tidur."
Edric tersenyum. Dia melihat ada tatapan kecemburuan yang terpancar dari mata Inayah.
"Kamu cemburu, Sayang?" tanya Edric. Dia mencoba menatap lebih jauh lagi. Mencari jawabannya sendiri. Dia akan sangat senang, apabila Inayah merasakan cemburu. Itu artinya, perasaannya tak akan bertepuk sebelah tangan lagi.
Inayah mencoba menghindar dari tatapan Edric. Namun, tangan Edric langsung mencegah wajah Inayah, untuk berpaling dari tatapannya. Inayah sendiri tidak begitu paham atas apa, yang dia rasakan beberapa hari belakangan ini. Apalagi semenjak sang majikan membawa pembantu baru. Masih muda, cantik, bertubuh indah, dan cekatan.
Inayah takut jika sang majikan mengabaikannya. Tak peduli lagi padanya, sedangkan dia mengandung benih dari sang majikan. Inayah ragu untuk menjawab, apakah perasaan itu cinta atau hanya perasaan kecemasan semata.
"Cemburu? Apakah saya pantas untuk cemburu, Tuan?"
"Kenapa tidak? Kamu pantas mencintai siapa saja. Termasuk aku. Sekarang katakan, Ay. Kamu merasakan cemburu?" Edric berharap bahwa Inayah benar sudah menaruh hati padanya. Apalagi setelah Inayah mengandung anaknya.
"Hmmm, itu mungkin hanya rasa ketakutan saya saja, Tuan."
"Rasa takut?" Edric mengernyitkan dahinya.
"Iya, saya takut Tuan mengabaikan saya."
"Itu tidak akan mungkin. Tapi, aku rasa kamu sedang sembunyikan perasaan itu. Aku dapat merasakannya sendiri, Ay. Permainan tadi terasa berbeda." Edric tersenyum. Dia sangat senang, karena Inayah sudah menganggapnya lebih dari seorang majikan. Melainkan juga tambatan hati yang selalu diinginkan. Edric berharap fillingnya tak salah.
Inayah hanya diam membisu. Dia pun hanya bisa membatin, "benarkah aku mulai menyukai Tuan Edric?"
Pertanyaan yang ditanyakan pada dirinya sendiri seakan menguap ke udara. Tak ada yang menjawab. Bahkan, Inayah sendiri belum begitu paham dengan apa yang dinamakan cinta, kekasih, tambatan hati, dan belahan jiwa. Umurnya memang sudah menginjak angka 19 tahun. Namun, selama ini Inayah belum pernah dekat dengan laki-laki. Mungkinkah sang majikan akan menjadi cinta pertamanya?
***
Jalanan petang ini sangat macet. Entah sudah beberapa kali Edric memukul stir mobilnya. Kesal, itulah yang dia rasakan. Hatinya sudah dipenuhi oleh amarah, ketika menerima pesan dari Anne.
Pesan Anne memberikan kabar, bahwa Edric harus meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu tiga hari. Keluarga besar Anne mengadakan sebuah acara, penyambutan anggota baru di keluarganya. Kakak sulung Anne beberapa hari yang lalu, melahirkan anak keduanya.
Jika bukan karena memandang martabat keluarga besarnya, Edric sangat enggan mengikuti acara itu. Alasannya hanya satu, karena dia tak kunjung menjadi seorang ayah.
Selain itu, tentu saja Edric harus meninggalkan Inayah. Waktu tiga hari, rasanya tiga bulan bagi Edric. Dia benar-benar tak ingin jauh dari calon ibu anaknya. Walaupun hubungan itu tak sah.
Edric bernapas lega. Jalanan mulai longgar, sehingga dia bisa melajukan mobilnya. Edric sampai di rumah tepat saat adzan Magrib berkumandang. Inayah sendiri sedang menikmati hidangan berbukanya, seorang diri.
Pintu kamar Luvia tertutup rapat. Sejak kejadian malam itu, Luvia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Tentu saja usai melaksanakan semua tugas-tugasnya.
"Ay, ikut aku." Baru masuk ke rumah, Edric langsung mencari keberadaan Inayah.
"Ada apa, Tuan?" tanya Inayah sedikit heran. Belum jadi tangannya menyentuh piring, tangan Edric sudah lebih dulu menariknya.
"Ayo, ikut, Ay. Ada hal penting yang harus kamu ketahui.
Inayah hanya bisa manut tangannya ditarik sang majikan, menuju lantai atas. Di balkon, Edric mengutarakan semua maksud dan tujuannya. Berat hati, hal itu harus dia sampaikan jua.
"Ay, aku akan pergi selama tiga hari. Kamu jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa kabari saya lewat pesan."
Entah kenapa kata 'pergi' dari sang majikan membuat hati Inayah menjadi gundah. Dia takut jika majikannya tak pulang-pulang lagi.
"Kapan Tuan pergi?" tanya Inayah dengan nada sendu.
"Besok pagi. Jadi, mungkin kehamilan kamu dicek setelah aku pulang saja, Ay. Kamu jaga baik-baik, ya."
Inayah mengangguk tanda mengerti. Kemudian, dia langsung melesat ke dalam pelukan sang majikan. Perasaan yang tak pernah dia rasakan itu, membuatnya berani melakukan semua itu.
Edric pun tersenyum melihat perubahan sikap Inayah. Hatinya merasa, bahwa Inayah benar-benar sudah memberikan hati dan jiwanya. Tangan kekar Edric langsung mengusap lembut kepala Inayah.
"Aku nggak akan lama, Ay. I love you, Dear." Kecupan Edric hinggap di pucuk kepala Inayah.
Setidaknya, kalimat dan pelukan itu memberikan sedikit ketenangan dalam hati Inayah. "Love you too, Tuan." Inayah membalas dalam hati.
****

Bình Luận Sách (142)

  • avatar
    MujiatunSiti

    saya mau diamond

    19d

      0
  • avatar
    SinaIbnu

    san

    04/08

      0
  • avatar
    Ahmad

    Suka ceritanya

    01/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất