logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 5 Aku Lagi Puasa, Tuan

"Makan yang banyak, Sayang. Ya, sudah aku pergi dulu." Edric bangkit dari hadapan Inayah. Dia hendak melangkah keluar kamar, membawa nampan kotor di tangannya. Sebelum sampai ke ambang pintu, Edric pun berbalik. Mengacungkan telunjuknya, menghadap loteng.
"Ingat, Sayang. Jangan kerja apapun juga. Mungkin, pembantu baru akan masuk besok," ucap Edric, menggoyangkan telunjuknya.
"Ya, Tuan."
"Good girl."
"Tuan, boleh saya meminta satu hal?" tanya Inayah, sambil membenarkan lilitan handuk di dadanya.
"Apa itu? Banyak pun boleh." Edric masih menahan langkahnya. Tidak beranjak dari ambang pintu.
"Tuan, saya mohon. Setelah ada teman yang menggantikan tugas saya. Saya harap Tuan tidak memanggil saya dengan sebutan 'Sayang' lagi. Saya malu." Inayah menunduk dalam-dalam.
Edric tertawa renyah,"hehehehe. Kenapa harus malu. Itu panggilan spesial untukmu. Karena kamu memang spesial di hatiku."
Inayah hanya terdiam sambil terus menunduk. Sampai-sampai dia tidak tahu kalau sang majikan sudah beranjak. Ketika Inayah mengangkat kepalanya, Edric sudah tidak ada di pintu lagi. Inayah pun menghela napas perlahan.
Tatapannya tertuju pada ponselnya yang tergeletak di kasur. Rasa bosan mulai menyelinap ke rongga dadanya. Hari-hari yang akan dia lalui akan semakin berat. Walaupun, mungkin Inayah tak perlu repot-repot lagi menguras tenaga, untuk mengurus rumah besar yang sepi itu.
Setiap pagi menjelang petang, hanya ada Inayah dan Bang Dirman–tukang kebun. Di luar ada pak satpam yang selalu standby 24 jam. Namun, apabila malam menjelang, tinggallah Inayah, pak satpam dan majikannya. Nyonya besar rumah itu, Anne adalah wanita karir yang super sibuk. Dia lebih memilih tetap berkarir di kota asalnya, Inggris.
Wanita berambut pirang itu, selalu pulang sesuka hatinya saja. Sebelum Inayah menginjakkan kaki di rumah besar itu. Hanya ada kobaran api pertengkaran antara Anne dan Edric.
Edric tidak menginginkan Anne menjadi artis. Namun, Anne adalah wanita yang keras kepala. Dalam hidupnya tak ada kata dikekang. Hingga pada akhirnya, Edric memilih untuk mengalah. Membuang rasa cintanya pada Anne.
Kehadiran Inayah, menjadi angin segar yang menyejukkan hati Edric. Wajah polos khas orang Indonesia, dengan kulit kuning langsat yang selalu membuat Edric rindu. Edric selalu ingin cepat-cepat pulang. Menghabiskan waktunya mencuri pandang pada Inayah. Sehingga, keinginan itu untuk memiliki membuat Edric menjadi seorang laki-laki yang brengsek.
Sebenarnya, Edric bukan tipe laki-laki yang merendahkan kaum wanita. Semua terbukti dengan jelas. Edric tidak suka bermain-main dengan wanita di luar sana. Hanya untuk menyalurkan kebutuhan sesaat. Dia ingin memiliki wanita yang bisa dia genggam seutuhnya, menuruti keinginannya, polos seperti Inayah. Pada akhirnya, Edric menemukan tambatan hatinya.
"Maafkan aku. Aku menyukaimu sejak lama," ucap Edric, memeluk tubuh Inayah yang terguncang karena isak tangisnya. Malam yang teramat disesali Edric kala itu. Hingga Inayah hanya diam saja ketika Edric mendekatinya.
"Aku tak mungkin pulang kampung," bisik Inayah lirih. Tangannya menggapai perutnya yang masih rata itu.
Pesan dari sang ibu membuatnya sedikit senang. Namun, Inayah kembali sedih. Dia bukan Inayah yang dulu lagi. Di dalam perutnya sudah ada benih laki-laki lain. Mana mungkin dia bisa menikah? Pikiran Inayah kembali kacau. Dia tak yakin akan ada laki-laki yang mau menikahinya kelak.
Inayah :"Maaf, Nay tak bisa pulang, Bu. Semoga puasa tahun ini ibu dan adik-adik bisa nikmati dengan bahagia."
Inayah mengirimkan balasan pesan itu dengan hati gundah. Jika lebaran tahun ini dia tak jua pulang. Itu artinya, dia sudah tiga tahun tidak berkumpul dengan keluarga di kampung.
Ibu :"Terserah kamu, Nay. Sebelum lebaran boleh ibu minta dikirim uang? Untuk menyambut lebaran, membeli kue dan baju baru untuk adik-adik."
Inayah menghembuskan napas dengan kasar. Perjuangannya menguras keringat setiap hari hanya untuk membahagiakan ibu dan adik-adiknya. Selama kerja, dia jarang menikmati gajinya. Paling, bonus atau hadiah dari sang majikan yang bisa Inayah nikmati. Itu pun mungkin, karena Inayah sudah menjadi gundik sang majikan.
"Tahun ini aku harus puasa." Inayah membatin.
Dia berharap, bulan suci ramadhan tahun ini bisa membawanya pergi, dari lembah kehidupan yang gelap pekat.
***
"Inayah … Inayah …." Suara bariton Edric terdengar di luar. Inayah yang sedang di dapur bergegas ke depan. Walaupun rumah itu besar, tetapi jika orang memanggil masih terdengar ke arah dapur.
"Ya, Tuan. Maaf, saya tadi lagi di dapur," ucap Inayah menyunggingkan senyumnya. Dia sengaja memasak untuk buka puasa pertamanya nanti.
"Oh, ya. Nggak apa-apa. Ayo, masuk! Aku belikan sesuatu untukmu, Sayang." Edric masuk lebih dulu, diikuti oleh Inayah di belakang.
"Sebentar. Apa katamu tadi? Lagi di dapur?" Edric meletakkan barang belanjaannya. Kemudian, menatap Inayah tajam. Tatapan itu membuat Inayah langsung ciut dan menunduk.
"Sudah aku bilang. Kamu jangan kerja apa-apa, Ay. Kamu mau calon bayi di perutmu kenapa-napa?" Edric maju, genggamannya hinggap di kedua pundak Inayah.
"Maafkan saya, Tuan. Saya cuma memasak sedikit, kok." Inayah masih menunduk.
"Ok! Lain kali jangan melanggar aturan lagi." Edric merengkuh kepala Inayah ke dadanya. Tinggi Inayah yang hanya sebatas dada Edric, hanya bisa pasrah. Dia tidak juga membalas dekapan sang majikan.
Edric mengusap rambut Inayah yang dikuncir satu. "Besok pembantu baru akan datang. Soo, kamu tidak perlu repot-repot lagi. Yaudah, sekarang kamu makan dulu."
Edric melepas pelukannya, lalu melangkah ke meja tamu. Mencari tentengan yang berisi makanan yang sudah dipesan.
"Saya puasa, Tuan. Saya tidak bisa makan sekarang," ucap Inayah takut-takut.
"Puasa?" Edric mengernyitkan dahinya.
"Iya, Tuan."
"Nggak apa-apa. Makan sedikit saja."
"Tidak bisa, Tuan. Puasa dalam keyakinan saya bukan puas seperti di keyakinan Tuan."
Edric semakin bingung, karena yang dia tahu puasa dalam keyakinan dianutnya, yakni mengurangi porsi makanan, atau tidak memakan daging sama sekali.
"Lalu, kapan kamu akan makan semua ini?"
"Nanti, Tuan. Tunggu azan magrib dulu."
"Kenapa kamu puasa? Kamu, kan, lagi hamil, Ay." Edric masih belum puas atas jawaban yang dia dapatkan.
"Iya, saya coba dulu. Nanti, mungkin bisa saya konsultasi ke bidan atau dokter."
"Ok … ok …."
8"Tapi, saya tidak mau konsul ke klinik atau rumah sakit lagi, Tuan."
"Tidak masalah, Ay. Saya akan datangkan bidan atau dokter ke rumah ini."
Inayah pun tersenyum, dia merasa lega sang majikan mau menuruti keinginannya.
Menjelang adzan Magrib berkumandang, Inayah sudah siap-siap di ruang makan. Di sana dia hanya seorang diri, karena sang majikan harus menyelesaikan urusan kantornya.
Netra Inayah menatap haru sedikit makanan, untuk menyambut buka puasa pertamanya. Berbuka dengan keluarganya di kampung tentu lebih indah. Inayah hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Jika terlalu dipikirkan hanya akan membuat hatinya bersedih.
"Allahu akbar … Allahu akbar!" Akhirnya adzan Maghrib yang ditunggu pun sudah berkumandang. Inayah menikmati berbuka puasa pertamanya dengan perasaan campur aduk.
***
Inayah terpesona menatap wanita cantik, yang ada di hadapannya. Wanita itu tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya.
"Hai, kenalin aku Luvia. Pembantu baru di rumah ini." Wanita yang bernama Luvia itu pun tersenyum, sambil mengulurkan tangannya.
"Saya Inayah, Kak. Panggil Nay, atau apa yang Kakak suka." Inayah menyambut uluran tangan Luvia.
Edric yang baru saja muncul di ruang tamu, tersenyum melihat perkenalan Inayah dan Luvia.
"Selamat datang, ya, Luvia. Tadi, sekretaris saya sudah memberitahu kamu akan datang pagi ini." Edric menjatuhkan bokongnya, di sofa. Tepatnya di sofa di mana Inayah duduk.
Perasaan Inayah menjadi tidak enak, karena khawatir Luvia akan berpikiran yang macam-macam.
Luvia menatap tangan Edric yang merangkul pundak Inayah. Jiwa keponya pun langsung meronta-ronta. Selain itu, ada perasaan iri yang mulai bersarang di dadanya.
"Oh, iya. Untuk pekerjaan kamu sudah dikasih tahu, kan? Nanti, Inayah juga akan memberitahukan apa saja yang akan kamu kerjakan. Ya, sudah saya tinggal dulu." Edric segera meninggalkan Inayah dan Luvia.
Sebenarnya Luvia ingin menanyakan langsung pada Inayah, tentang sikap Edric pada Inayah. Namun, Luvia merasa waktu itu belum tepat. Sehingga dia memilih untuk mengunci lidahnya.
"Umur kamu berapa, Nay?" tanya Luvia, melanjutkan perkenalannya.
"19 tahun, Kak. Kalau Kakak?"
"Aku 23 tahun, Nay. Tuan Edric tampan, ya, Nay," celetuk Luvia.
Inayah hanya mengangguk sambil tetap tersenyum. Perasaannya menjadi tidak enak. Entah kenapa dia menjadi cemburu, karena sang majikan mencari pembantu baru yang jauh lebih cantik darinya.
"Aku harus bisa mengambil hati Tuan Edric," ucap Luvia dalam hati.
***
Apakah Inayah mulai cemburu? Apakah Luvia akan menjadi teman Inayah, atau justru menjadi musuh Inayah? Jangan lupa baca kelanjutannya, ya, Kak.

Bình Luận Sách (142)

  • avatar
    MujiatunSiti

    saya mau diamond

    19d

      0
  • avatar
    SinaIbnu

    san

    04/08

      0
  • avatar
    Ahmad

    Suka ceritanya

    01/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất