logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Tespek

"Tuan, saya tidak mau pergi cek ke klinik atau ke tempat umum lagi," ucap Inayah dengan suara yang lirih. Bubur ayam yang masih utuh dia aduk-aduk pelan. Selera makannya menjadi hilang, karena pikirannya masih kacau. Sedangkan, perhatian sang majikan semakin besar dia dapatkan. Akan tetapi, tak mengubah kegundahan hati Inayah.
Pulang dari klinik, Edric memesankan Inayah bubur ayam. Bukan bubur ayam yang pakai gerobak, tetapi bubur ayam yang ada di restoran terkenal di kota Jakarta. Kasih sayang Edric semakin tercurah pada Inayah.
"Kenapa? Apakah mereka menyakitimu, Sayang? Jika iya, aku bisa menutup klinik tersebut." Edric meraih sendok dari tangan Inayah, lalu menyuapi Inayah. "Buka mulutnya, kamu belum sarapan pagi ini."
Walaupun terpaksa, Inayah tetap membuka mulutnya. Dia tidak mau membuat sang majikan marah.
"Good, Girl. I love you. Setelah ini, kamu banyakin minum, biar bisa cepat-cepat pipis," ucap Edric, sambil menyodorkan suapan kedua.
"Saya malu, Tuan. Data di KTP saya masih lajang. Jadi, saya tidak mau pergi cek kehamilan lagi." Besar harapan Inayah, agar sang majikan mau memenuhi permintaannya kali ini.
"Oke. Aku paham. Sekarang, habiskan dulu sarapanmu. Setelah ini banyaklah minum. Aku sudah tidak sabar kamu gunakan alat ini." Edric meletakkan tespek yang masih terbungkus rapi di atas meja.
"Baik, Tuan." Hanya dua kata itu yang keluar dari bibir Inayah. Hatinya benar-benar nelangsa kali ini. Kesalahan yang dia lakukan selama ini, akan benar-benar menyengsarakannya. Inayah menenggelamkan wajahnya di telapak tangan. Dia mencoba untuk tetap berpikiran positif. Ya, dia berusaha untuk tidak lose control soal pikirannya.
Usai sarapan, Inayah meminta izin berlalu dari ruang tengah. Di mana sang majikan masih betah menemaninya. Biasanya, Edric menghabiskan waktu liburnya untuk olahraga. Jadi, wajar jika dia memiliki bentuk tubuh yang bagus. Namun, kali ini dia lebih memilih tetap bersantai di rumah, sambil menatap ponsel di tangannya.
Anne: "Hari ini aku tak pulang. Ada jadwal syuting film baruku. Mungkin, aku akan pulang ke indo sebulan lagi. Jaga dirimu baik-baik."
Mata elang bermanik biru milik Edric menyipit. Dia segera menekan tombol on off di ponselnya. Baginya, kehadiran Anne tak berarti apa-apa lagi. Wanita bertubuh tinggi semampai dan langsing itu, sudah sangat jauh terlempar dari hati Edric. Dulu, memang Edric sering terluka, karena selalu diabaikan oleh Anne. Semenjak kehadiran Inayah, ada warna baru yang tercipta di hati Edric. Seiring berjalannya waktu, kenyamanan itu mulai tumbuh dan terus berkembang.
Edric memejamkan matanya perlahan. Dia kembali mengingat peristiwa, di mana Inayah menatapnya penuh ketakutan. Edric menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia menyesal sudah memulainya dengan cara seperti itu.
Edric menyesal sudah memaksa Inayah memberikan tubuh dan kesuciannya. "
I'm sorry, my dear. I promise to treat you sweetly." Edric berkata lirih, menyesali perbuatannya waktu itu.
***
Rona langit yang mulai berubah, membuat Inayah heran. Dia sudah minum banyak, tetapi rasa ingin buang air kecil itu tak kunjung tiba. Inayah tetap melanjutkan pekerjaannya, membersihkan air kolam ikan yang ada di belakang.
Ketika sedang asyik mengayunkan galah panjang, tiba-tiba Inayah terkejut merasakan pinggangnya dipeluk seseorang. Spontan Inayah menoleh, ternyata yang memeluknya adalah sang majikan. Inayah takut saja, jika yang melakukan itu adalah tukang kebun di rumah besar itu.
"Why? Kenapa kamu kaget, Sayang?" tanya Edric. Tangannya yang kekar masih betah berada di perut Inayah.
"Tuan, maaf. Pekerjaan saya belum selesai." Inayah menjadi tak enak. Dia takut ada yang melihat semua itu.
"Oh, oke. Setelah ini, temui saya di kamar. Sekalian bawakan jus mangga," ucap Edric, dia memilih untuk mengalah. Sebelum pergi, Edric mengecup pelan pipi Inayah. Hal itu membuat perasaan Inayah semakin tak karuan.
"Sampai kapan aku seperti ini?" Inayah membatin. Tanpa terasa, sesak di dadanya tiba-tiba saja muncul. Dia baru ingat, tiga hari lagi bulan suci ramadhan segera tiba. Sedangkan, dirinya masih berenang di lembah doa. Inayah menjadi ragu untuk ikut melaksanakan puasa tahun ini.
Usai membersihkan kolam. Inayah langsung melakukan perintah sang majikan berikutnya. Membuatkan jus, lalu mengantarnya ke lantai dua. Inayah berjalan sangat hati-hati. Setibanya di depan kamar sang majikan, Inayah mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Masuk, Sayang."
Mendengar suara Edric dari dalam, barulah Inayah berani menarik gagang pintu. "Permisi, Tuan."
"Ya, masuklah, Sayang. Aku sudah rindu," ucap Edric. Senyumnya mengembang. Sudah hampir setengah jam dia menunggu kedatangan Inayah.
Melihat penampilan sang majikan yang sudah bertelanjang dada. Membuat perasaan Inayah menjadi tak enak.
"Hari ini aku tak sempat olahraga. Jadi, aku mau olahraga bersamamu saja." Edric langsung menghampiri Inayah yang masih mematung di dekat pintu. Jus yang ada di nampan dia teguk habis. Kemudian menuntun Inayah menuju ranjang, dan tidak lupa dia mengunci pintu.
"Tuan, saya … saya belum mandi. Masih bau keringat," ucap Inayah meremas jari tangannya.
"Tidak ada masalah. Di mataku kamu tetap cantik, Sayang." Edric memulai aksinya, tangannya terulur melepaskan ikatan rambut Inayah. Penampilan Inayah pun semakin menarik di mata Edric, dengan rambut yang terurai membingkai wajah polosnya.
Senja menjelang malam, Inayah kembali melayani hasrat sang majikan. Tak ada lagi air mata yang tercurah. Di bawah selimut hangat, Inayah kembali meratapi nasibnya yang nahas.
"I love you, Honey." Kecupan lembut mendarat di pucuk kepala Inayah. Tangan kekar Edric masih betah memeluk tubuh Inayah, yang masih lengket oleh keringat persetubuhan mereka.
Inayah hanya diam membisu. Pikirannya membara ke kampung halaman sana. Dia tidak bisa membayangkan, apa yang akan dikatakan oleh ibunya, jika masa depannya sudah rusak begitu. Namun, sungguh malang nasib Inayah. Bagi ibunya–Linda, yang penting Inayah mengirimkan uang setiap bulannya, untuk biaya sekolah adik-adiknya yang berjumlah empat orang.
***
Tubuh Inayah seakan melayang dari pijakannya. Lantai keramik yang dia injak, seakan ambruk, bersamaan dengan luruhnya tubuh Inayah ke lantai kamar mandi. Pandangannya menjadi gelap seketika, akhirnya Inayah pingsan di kamar mandi, setelah melihat garis dua di tespek.
Ponsel Inayah berdering. Nama kontak di layar ponselnya tertulis, "Tuan Edric." Panggilan yang tak kunjung dijawab, membawa langkah Edric keluar dari kamarnya. Padahal, dia ingin agar Inayah mengantarkan makan malam ke kamarnya. Namun, Edric tidak tahu Inayah sedang tidak sadarkan diri.
Edric hanya mengenakan celana pendek, dan kaos tipis. Dia melangkah cepat menuruni anak tangga. Tentu saja langsung menuju ke belakang. Matanya liar mencari keberadaan Inayah, sambil tetap menghubungi ponsel Inayah.
Edric menemukan ponsel Inayah di atas lemari. Namun, tidak menemukan sang pemiliknya. Kemudian, Edric langsung menuju ke dapur. Dia melihat pintu kamar mandi terbuka lebar. Edric pun melangkah ke sana.
Alangkah terkejutnya Edric, melihat Inayah terkulai di lantai keramik yang dingin. Segera mungkin Edric mengangkat tubuh Inayah, sehingga tespek yang dipegang Inayah terjatuh ke lantai. Melihat itu, Edric sekalian memungut benda kecil itu. Mata Edric berbinar menatap garis dua yang ada di sana.
"Thank you God. I'm finally going to be a father." Kebahagiaan kian membuncah di hati Edric. Dia segera membopong tubuh Inayah menuju ke kamar. Dia baringkan Inayah secara hati-hati. Sepanjang Inayah belum juga bangun dari pingsannya, Edric tetap setia di sisi ranjang.
Mata Inayah terbuka, bersamaan dengan berderingnya ponsel miliknya. Inayah tak berkomentar atas kehadiran Edric di kamarnya, dia lebih dulu mengangkat panggilan dari sang ibu.
"Ya, hallo, Bu."
"Nay, tiga hari lagi puasa. Kirimkan Ibu uang ya, kemarin Ibu sudah berhutang biaya sekolah adik-adikmu." Suara sang ibu di ujung panggilan membuat hati Inayah terluka. Setiap menelepon, sang ibu tidak pernah menanyakan keadaan Inayah.
"Ya, Bu. Akan Inayah usahakan," ucap Inayah.
Setelah panggilan berakhir, wajah Inayah langsung berubah sendu. Dia belum gajian, simpanannya pun sudah tak ada.
"Ibumu meminta uang lagi, Sayang?"
Suara bariton Edric membuat Inayah sadar, bahwa ada sang majikan di kamarnya. "Ya, Tuan. Bulan ini saya belum gajian, saya jadi bingung."
"Jangan banyak pikiran. Besok kirimkan saja ibumu uang. Anggap saja, demi anak yang kamu kandung. Aku tidak mau pikiranmu terbebani dan mempengaruhi janin yang ada di kandungmu." Edric tersenyum, kembali tangannya hinggap di perut Inayah.
Inayah baru sadar, bahwa kini dia benar-benar sudah hamil. Bayangan garis dua itu kembali menari-nari di ingatannya.
"Ya, Allah. Ini terlalu berat. Haruskah aku melakukan dosa lagi?" Inayah merintih dalam hatinya.
—------------
Akankah Inayah menggugurkan kandungannya? Nantikan cerita selanjutnya. Jangan lupa vote love dan komen ya, kak.

Bình Luận Sách (142)

  • avatar
    MujiatunSiti

    saya mau diamond

    19d

      0
  • avatar
    SinaIbnu

    san

    04/08

      0
  • avatar
    Ahmad

    Suka ceritanya

    01/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất