logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

There's a world in the well

There's a world in the well

Chocomatcha


01. Cerita dari Kakek

Hari ini hari festival diadakan, banyak warga yang ikut memeriahkan acara ini bahkan sang raja juga ikut datang untuk melihat-lihat. Dilain sisi ada gadis yang sedih tidak bisa ikut ke festival karena sakit demam, dia terbaring lemah dengan pipi memerah dan juga kain didahinya.
Suara meracau tidak jelas keluar dari mulut sang gadis, memanggil ibu dan ayahnya yang tidak ada dalam rumah, anak gadis itu sendirian disana. Orang tua dan adik perempuannya pergi ke festival menikmati berbagai makanan dan jajanan sementara si gadis malang ini harus menahan rasa panas dan dingin ditubuhnya.
"Ayah, ibu aku mau air..." Gumamnya. Tidak berguna dia menggumam seperti itu, keluarganya pergi dan dia sendirian disana, tidak akan ada yang mengambilkannya air.
Matanya menatap langit-langit rumah sayu, dia mencoba bangkit dan turun perlahan dari kasurnya. Ini malam yang menyedihkan, dia harus demam dan ditinggal sendirian. Keluarganya memang hanya memperdulikan sang adik jelita, calon kembang desa juga calon penyihir hebat disana.
Dengan tertatih-tatih dia berjalan, bertumpu pada dinding kayu rumahnya untuk menyeimbangkan tubuhnya, "Mereka ini benar-benar kejam..." Ujar sang anak. Alisnya mengernyit, "Aku harap mereka mendapat balasan... Terutama Alisha." Ujarnya.
Suara seraknya seakan menjadi kutukan, dia menyimpan dendam pada keluarganya sendiri. Dikucilkan, disiksa, dijadikan pelayan bahkan dijadikan pekerja diusianya yang masih sepuluh tahun. Pikiran anak itu kalut dengan rasa benci pada keluarga terutama adiknya.
Iri, benci, marah, sedih menjadi satu dalam hatinya, hati anak yang masih murni itu sudah terkontaminasi oleh perasaan buruk manusia. Ini diskriminasi terhadap anak, Ashida nama anak itu tidak memiliki sihir seperti saudari kembarnya dan itu kerap menjadi bahan ejekan orang-orang.
"Mati, mati, mati, mati." Racaunya.
DUG! Dia terjatuh dilantai, tubuhnya lemah bahkan mengeluarkan darah dari salah satu lubang hidungnya, dia kehilangan kesadaran dilantai. Air matanya mulai keluar perlahan, dia berharap ada seorang penculik yang menculiknya jauh dari sini.
Ashida, kamu menyedihkan, begitu pikirnya saat ini. Anak yang harus bertindak dewasa diumurnya yang ke sepuluh tahun ini tidak kuat menahan beban dunia yang menjadikan sihir sebagai tingkatan kasta. Dari kasta kerajaan sampai kasta manusia rendahan.
Dia manusia rendahan itu.
"Berikan aku kekuatan apa saja, ya tuhan." Kalimat terakhirnya sebelum berakhir kehilangan kesadaran.
Bertepatan diwaktu itu langit tampak mendung, sangat gelap bahkan menutupi sinar bulan yang terang. Angin bertiup kencang membuat warga memberhentikan festival sebentar karena pihak kerajaan harus memasang pelindung dari sihir mereka agar festival bisa terus berjalan sampai besok pagi.
Alisha menarik pakaian ibunya, "Ibu, apa tidak apa-apa meninggalkan si sampah itu sendiri?" Tanyanya. Ah, si sampah yang dimaksud adalah saudarinya sendiri. Mereka punya julukan, Alisha adalah si emas dan Ashida adalah si sampah.
"Tidak apa-apa, biarkan saja dia beristirahat. Lagi pula disini tidak cocok untuk manusia rendahan sepertinya." Kata ibunya. Sang ayah melanjutkan, "Kita hanya menginginkan kamu didunia ini bukan saudarimu, Alisha."
Alisha mengangguk sambil tersenyum, senang bisa mendapat atensi kedua orangtuanya, walaupun dia merasa khawatir dengan saudarinya tapi tidak dipungkiri dia juga ingin saudarinya diperlakukan seperti itu.
"Baiklah ayah ibu! Ayo pergi ke tempat lain!" Kata Alisha sambil menarik tangan orangtuanya.
Mereka bertiga akan menikmati malam ini tanpa kehadiran putri sulung keluarga penyihir, Ashida. Sistem keluarga yang kejam dimana yang tidak memiliki sihir sedikitpun akan dibuang mentah-mentah atau dijadikan pelayan keluarga tersebut.
"Bersyukurlah kita tidak tinggal didunia itu ya, kakek." Pernyataan itu diangguki kakek tua yang tengah duduk dikursi goyang miliknya.
Dunia ini tidak ada sihir, cerita yang tadi ditulis hanyalah dongeng dari mulut seorang kakek, cucu nya yang tengah merajut sambil mendengar dongeng hanya fokus pada rajutannya. Sesaat fokusnya pindah ke tangan yang menyentuhnya, "Assyifa, bertemanlah tanpa melihat status seseorang. Kakek melihat di zaman ini sudah banyak orang yang tergila-gila dengan harta. Dan jangan pernah membedakan saudarimu." Ujar sang kakek.
Assyifa namanya, cucu dari kakek tua yang duduk dikursi goyangnya. Dia mengangguk mengiyakan, "Aku gak pernah melihat status seseorang, bagiku semua orang sama saja yang membedakan hanya sifatnya." Kata Assyifa.
Kakeknya tersenyum lalu menutup matanya, "Pulanglah, dan petik buah mangga yang ada dihalaman untuk saudari kembarmu."
"Baiklah kakek, aku pulang dulu." Assyifa bangkit dari kursinya, menaruh syal yang belum jadi diatas meja dan pamit pada kakek nya. Perempuan dengan senyum sayu dan mata tajam itu pergi keluar, mengambil galah untuk mangganya.
"Ah aku lupa gak bisa pakai galah... Aku akan memanjat keatas." Katanya. Dengan segala kekuatannya dia berusaha memanjat walaupun hasilnya nihil, dia terjatuh berkali-kali karena dahannya yang licin.
Dug! "Aduh pantatku kena batu! Sakit, ini sih pasti membiru!" Gerutu Assyifa, dia menatap mangga besar yang ada dipohon, mengambil batu dan melemparnya sekuat tenaga.
Lemparan pertama tidak kena, lemparan kedua tidak kena, lemparan ketiga kena! Kena kepala orang yang lewat. Assyifa menganga, dia buru-buru bersembunyi dibalik pohon. Orang yang kena batu tadi kebingungan, dia celingak-celinguk mencari siapa yang melempar, "HEI SIAPA YANG MELEMPAR BATU?!" Tanyanya kesal.
Oh itu Marcel! Tetangga kakeknya yang sering pergi keluar untuk jajan cakwe dipertigaan jalan. Lihat ditangannya ada cakwe dan juga es kresek seribuan, "Aduh kepalaku sakit." Ringis Marcel.
Assyifa keluar dari balik pohon dengan wajah tersenyum lebar, "Maaf kak Marcel! Aku yang lempar hehe!" Katanya sambil menghampiri Marcel, "kakak gak apa? Apa sampai berdarah?" Tanyanya.
Marcel berdehem, bajunya dia rapihkan dan jangan lupa rambutnya pula dia sisir dengan jari, "Oh iya santai aja, Assyifa. Ini gak sakit kok, tapi lain kali hati-hati ya." Katanya, bohong padahal Marcel baru saja meringis kesakitan.
"Iya kak! Waduh.. aku gak melihat kakak tadi jalan, asal lempar aja. Untung gak apa-apa!" Kata Assyifa lega, takut Marcel kena geger otak karena dia yang asal lempar saja.
Mereka berdua sudah kenal beberapa bulan lalu sejak Assyifa pindah ke kota tempat tinggal kakeknya ini bersama keluarganya yang lain, memang tidak begitu dekat tapi Assyifa memiliki sifat yang humble dan suka tersenyum membuat orang-orang merasa nyaman melihatnya.
Berbeda dengan saudarinya yang cenderung terlihat murung dan pendiam, beberapa orang bahkan tidak menyadari eksistensinya karena terlalu pendiam.
"Oh iya kamu habis ngapain dari rumah kakek Yudistira?" Marcel bertanya. Assyifa berkacak pinggang, sedikit kesal dengan pertanyaannya, "Apa kamu lupa aku sudah sering bolak-balik ke rumah kakek? Sudah berapa kali kita bertemu dijalan seperti ini, tapi kamu masih menanyakan hal itu!"
Marcel gelagapan mendengar itu karena terlalu gugup dia asal bertanya saja, "Aku lupa haha, kalau gitu mau aku antarkan pulang?", Assyifa mengangguk sebagai jawaban, "Tapi apa kamu bisa ambilkan mangga itu? Aku ingin memberinya pada Hikari!" Pintanya.
"Baiklah akan aku ambilkan." Marcel mengambil ancang-ancang untuk memanjat, dia berdoa dalam hatinya semoga tidak ada hewan berbahaya yang ditemukan diatas pohon.
Assyifa menyemangati dari bawah, "Hati-hati ada ulat bulu disana!" Ujarnya menakut-nakuti Marcel, dia tau laki-laki yang lebih tua tiga tahun itu takut dengan ulat dan serangga lainnya.
"Diam! Nanti aku jatuh!" Katanya.
Assyifa cekikikan dibawah, dia suka melihat seseorang yang tengah panik. Untung Marcel jago dalam memanjat pohon, dia berhasil mendapatkan buah mangga nya dan mengambil kembali es kresek dan cakwenya dari tangan Assyifa.
"Ini buahnya." Kata Marcel.
"Terima kasih, kak! Ayo sekarang kita pulang!" Assyifa tersenyum lebar, dia memegang buahnya sangat erat.
Marcel gemas, dia tersenyum kecil mendengar ajakan Assyifa, bahkan dia tidak menyadari kalau celananya ada ulat bulu yang menempel disana. Entah sampai kapan ulat bulu itu diam dicelananya, berdoa saja agak tidak masuk kedalam pakaian Marcel.

Bình Luận Sách (27)

  • avatar
    AdharaRevani

    bagus sekali aplikasi ini sangat menguntungkan

    29/05

      0
  • avatar
    IrwansyahSalsabila

    cerita bagus dan menarik

    19/03

      0
  • avatar
    Cikal baihaqiGalih

    bagus

    13/03

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất