logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 13 Malam yang Tertunda

"Om."
Tania melenguh. Perlakuan Nero membuatnya merasa tak nyaman. Tubuhnya meronta karena belum bisa menerima sang suami. Saat ini semua terasa asing baginya.
"Sayang," bisik Nero. Dia memandang istrinya dengan mesra karena menginginkannya saat ini juga. Apa dia salah. Sudah sejak lama lelaki itu menahan. Rasanya sudah tak sanggup lagi jika harus terus menunda.
"Hiks!"
Suara itu lagi, rutuk Nero.
"Kok kamu nangis?"
Nero melepaskan rengkuhan, tidak tega juga kalau harus memaksa. Dia berbaring di samping Tania, lalu memandang wajah yang bersimbah air mata itu. 
"Om jahat. Nakal," isak Tania. Dia membalikkan tubuh dan memunggungi lelaki itu. 
Nero merengkuhnya dari belakang. "Belum di apa-apain, kok." Nero memeluknya lembut. Mengusap kepalanya. Sesekali mengecup pucuknya. 
"Itu, cium-cium aku sama tangannya--"
Tania melepaskan rengkuhan suaminya. Dia hendak bergeser menjauh, tapi sebelum itu terjadi, Nero dengan sigap menariknya kembali. Kali ini posisi mereka berhadapan.
Tania tertunduk, tak berani menatap wajah suaminya.
"Katanya mau ngasih papa cucu. Baru segitu aja udah nangis."
Nero tertawa geli. Sungguh ini di luar perkiraannya. Tania yang selama ini mencoba merayunya, kini berbalik menjadi ketakutan saat dia bersikap agresif.
"Tapi aku sakit kalau digituin," ucap Tania sembari memukul dada Nero. 
"Ya begitu dululah. Apa mau langsung aja?" jawab Nero santai.
Wajah Tania memerah, dia mengusap air mata untuk menghilangkan rasa malu. 
"Om ambil first kiss aku," katanya kesal. Tangannya memukul dada Nero, membuat lelaki itu semakin gemas. 
"Dari kecil dulu juga om sering begitu sama kamu."
"Tapi kan enggak romantis," rajuknya.
Nero menghela napas panjang. "Mau yang gimana? Candle light dinner dulu, baru kiss?"
Tania mengangguk. Nero membuang pandangan. Entah ini sudah yang ke berapa ratus kali setiap berhubungan dengan gadis ini.
Ingat, Nero. Dia masih remaja. Yang istrimu inginkan sesuatu yang spesial, manis, dan romantis. Tidak bisakah kamu menahan hasratmu dulu saat ini? Kamu bisa pelan-pelan menaklukannya.
"Ya sudah, nanti kita nge-date."
Nero berencana akan mem-booking sebuah restoran jika istrinya bersedia. Bahkan, dia akan menyiapkan makan malam ala selebritis jika perlu.
Tania menggeleng. "Aku enggak mau pergi sama om." Suaranya melemah dan tidak bersemangat. 
"Kenapa?" Nero mengangkat dagu Tania dan mendekatkan wajah mereka.
"Karena om udah tua? Malu jalan sama om-om walaupun udah suami sendiri?" 
Mereka bertatapan lama. Dua jantung berdetak kencang. Tania menolehkan wajahnya. Nero ... ditolak.
"Om."
"Apa?" bisik Nero. Suaranya serak menahan diri sedari tadi.
"Itu."
Tania menunjuk ke bawah. Sesuatu di diri Nero yang menekan perutnya dan membuatnya tak nyaman. 
"Tau gak itu apa?" Nero mulai menggoda. 
"Itu nanti yang akan bikin kamu berdarah terus kamu kesakitan." Nero berbisik.
Tania ketakutan dengan wajah yang pucat. Dia berbalik memunggungi sang suami. Pikirannya kacau saat ini.
Nero tergelak karena merasa puas telah mengerjai. Biar Tania tahu, betapa kesalnya dia sewaktu melihat mereka berpegangan tangan di bandara tadi. 
"Kamu suka ya sama Rizal?" lanjutnya. 
Tania mengangguk. Nero menelan ludah dan menerima kenyataan pahit bahwa istrinya belum bisa mencintainya. Sekalipun dia belum merasakan hal yang sama, tetap saja lelaki itu merasa tak nyaman dengan situasi seperti ini. 
"Dosa loh kalau udah nikah, terus naksir sama cowok lain. Mana suami belum dilayani pula."
"Tapi aku--" ucap Tania terbata. Dia tak dapat mengelak kali ini.
Nero bukanlah tipikal lelaki yang banyak bicara. Namun jika bersikap serius, itu berarti memang ada hal penting yang harus disampaikan.
"Kamu pengen first kiss sama Rizal? Pengen pacaran sama dia?" cecar Nero. Dia harus tahu apa yang menjadi keinginan sang istri.
Tania tersentak karena ternyata Nero bisa membaca pikiran. Dia mengangguk untuk mengiyakan. Dalam hati bergumam apakah perasaannya salah kepada Rizal.
"Kamu pikir kalau pacaran, si Rizal enggak bakal minta beginian?" Nero terus memojokkan.
"Rizal enggak begitu. Dia baik."
Tania membela sang pujaan hati. Selama mengenalnya, Rizal memang baik dan sopan dan tidak pernah berbuat macam-macam. Bahkan di sekolah, laki-laki itu termasuk murid yang sering mendapat pujian oleh guru karena memang sikapnya yang santun. 
"Mana kita tau. Dia laki-laki juga. Pasti punya keinginan." Hati Nero mulai panas sepertinya. 
"Itu om." Tania melotot. Tidak terima pujaan hatinya dibicarakan seperti itu. 
Nero terhenyak. Ada yang kembali berdenyut dalam hatinya. "Wajarlah. Sama istri sendiri. Udah halal. Inget dosa kalau gak ngasih!" Nero mulai menakuti. Biar saja sekalian kapok. 
"Udah. Aku engak mau ngomongin itu lagi." Kali ini Tania mulai merajuk.
"Terserah kamu!" Nada suara Nero mulai meninggi. Kenapa malah jadi bertengkar begini sih?
"Om pake baju sana. Enggak malu apa?" Tania melepaskan pelukannya. Dia bangkit dan hendak keluar kamar. 
"Enggak jadi mau kasih papa cucu, nih?" Nero menahan tangannya karena tak ingin istrinya pergi. Dia ingin ditemani malam ini. 
"Aku belum siap om. Aku takut," tolaknya halus. 
"Oke. Tapi malam ini kamu tidur di sini!" 
"Enggak mau. Nanti om ngapa-ngapain aku."
Nero tertawa geli. Tingkah Tania memang lucu. Tapi mau bagaimana lagi?
"Om janji, tapi temenin di sini."
Tania menatap suaminya curiga. Nero mengubah raut wajahnya menjadi lebih serius supaya terlihat meyakinkan.
"Tapi pake bajunya." Tania menunjuk suaminya yang masih shirtless sejak tadi. 
"Emang kenapa? Biasa tidur begini. Lebih nyaman."
"Aku malu."
Nero memungut kausnya yang tadi terlempar entah ke mana. 
Tania merebahkan diri, menarik selimut dan mulai memejamkan mata. Seharian ini membuatnya fisiknya lelah. Apalagi serangan mendadak dari Nero tadi membuatnya syok. Tak menyangka, ternyata lelaki itu malah menginginkannya. 
Dan bagi Tania, itu mengerikan.
Nero berbaring di sebelah, memeluk istrinya dari belakang. Tak lama dengkur halusnya terdengar. Tania berbalik memandang sang suami. Menelusuri wajah itu dengan jari.
Nero suami mu, Tania. S-U-A-M-I. Tapi dia jatuh cinta pada Rizal. Terus bagimana dengan papa? Tania merasa papanya terlihat aneh. Setiap pulang dari Singapura, terlihat seperti menahan kesakitan. Entahlah, dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Bingung, itu yang dirasakan. Nanti dia akan menghubungi tantenya. Ya, dia harus menceritakan semuanya dengan Ovi. Sharing dengan Clara jawabannya tetap sama. Malah membuat dia bingung harus memutuskan apa. Mungkin tantenya punya pandangan yang berbeda.
Dia terhenyak saat sebuah kecupan menghentikan lamunannya.
"Sudah tidur. Suamimu ini memang ganteng. Jangan diliatian terus." Nero mengedipkan mata.
Tania tersipu malu. Rasanya ingin melepaskan tangan Nero dari pinggangnya. Dia merasa risih, tapi Nero semakin erat memeluknya.
Matanya mulai terpejam. Rasanya dia seperti melihat ada sebuah pelangi. Terang bersinar mendekatinya. Kemudian hilang bersamaan dengan lelapnya dia tertidur. Bermimpilah yang indah malam ini. Hari esok menantimu.

Bình Luận Sách (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    17d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    20d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất