logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

7. Tidak Peka

Setelah membawa Zian pulang ke rumah, Fabian segera meminta putranya untuk beristirahat di kamar. Sementara itu, ia akan keluar sebentar untuk membeli makan siang sekaligus makan malam yang nantinya akan dihangatkan di microwave.
Fabian membelikan bubur ayam untuk Zian, sementara untuk dirinya sendiri, ia memilih soto daging—yang sengaja ia pesan dua porsi. Takutnya, Zian cerewet tidak mau makan bubur, makanya ia membelinya lebih. Setelah memindahkan bubur serta soto ke dalam mangkuk, Fabian langsung membawanya ke kamar. Terlihat Zian tengah memainkan ponselnya, membuat Fabian menghela napas panjang.
"Jangan main ponsel dulu, Zi." Ia meletakkan nampan berisi semangkuk soto dan bubur ayam ke atas meja belajar Zian. "Mending kamu istirahat, gih."
Zian menatap papanya, kemudian menggeleng pelan. "Nanti aja," jawabnya. "Zi laper, mau makan."
Mendengarnya, Fabian lantas menyunggingkan senyumnya. Tumben sekali, putranya itu tidak perlu dipaksa untuk makan seperti ini. "Makan bubur ya, Zi?" Fabian meraih mangkuk berisi bubur, milik Zian.
"Tapi Zi pengin mi instan," jawab Zian membuat papanya itu menghela napas panjang.
"Nanti aja makan mi-nya. Kan besok-besok di sekolah bisa. Hari ini, makan bubur dulu, habis itu minum obat."
Zian mendengkus pelan, sembari menatap papanya dengan wajah masam, "Bilang aja Papa males bikin mi," ujar Zian, membuat papanya itu terkekeh.
"Kamu kan tahu, Zi. Papa nggak bisa masak mi," ucap Fabian tanpa dosa, sembari menyerahkan mangkuk bubur kepada Zian.
"Papa nggak asik." Zian menerima uluran mangkuk dari papanya, masih dengan wajah masam. "Masa Papa kalah sama Vita, sih?"
Fabian sempat mengernyitkan dahinya bingung. "Vita ... siapa?" tanyanya. "Pacar kamu?"
Zian kali ini menghela napas panjang. Tak habis pikir, mengapa papanya jadi seperti ini, sih? "Vita, Papa. Masa Papa lupa, sih? Adiknya Devta, yang masih kelas 5 SD itu lho, Pa!"
"Adiknya Devta, ya?" Fabian menggaruk-garuk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. "Oh iya, Papa lupa. Memangnya kenapa dia? Kok, papa bisa kalah, sih?"
"Vita udah bisa bikin mi instan sendiri, Pa. Kalah banget Papa, sama anak SD."
Fabian mencibir pelan, "Memangnya kamu bisa bikin mi instan sendiri?" Lelaki itu menaik-turunkan alisnya, membuat Zian cemberut sebab merasa kalah. "Nanti deh, papa belajar masak mi. Sekarang, kamu makan dulu itu buburnya. Habiskan."
"Perasaan Papa ngomong begitu terus, tapi sampe sekarang nggak pernah bisa tuh, bikin mi instan."
Fabian jadi pusing lama-lama. Ini kenapa Zian menjadi semakin pintar begini, sih? "Udah ah. Dimakan buburnya, cepat. Habis itu minum obat. Papa sentil nih kamu ya, kalau ngomong lagi."
Beruntung setelahnya, Zian mau menurut dengan mulai menyuap bubur ke dalam mulutnya. Kalau tidak, sudah dipastikan jika Fabian tidak akan bisa makan dengan tenang, hari ini.
*****
"Zi, papa mau tanya sama kamu, boleh?"
Zian yang baru saja selesai meminum obatnya, dibuat mendongak menatap papa. "Tanya apa, Pa?"
Fabian duduk di pinggir ranjang putranya, sembari menepuk lutut Zian perlahan. "Kamu ... kamu serius dengan guru kamu itu? Siapa namanya tadi?"
"Bu Felly," sahut Zian.
"Nah, iya. Kamu benar serius sama Bu Felly itu, Zi?"
Zian yang masih merasa pusing karena baru saja minum obat, terlihat kebingungan dengan pertanyaan sang papa. Namun, ia memilih mengangguk saja karena dia memang benar-benar serius dengan Bu Felly. "Serius kok, Pa. Zian nggak bercanda," ujarnya. "Lagian, Bu Felly itu orangnya baik banget. Zian yakin, kalo Bu Felly adalah pilihan yang terbaik buat Zian."
Fabian kontan meneguk salivanya susah payah. Seingatnya, Zian masih berusia 14 tahun. Ia bahkan masih sangat-sangat kecil bagi Fabian. Akan tetapi, kenapa putranya itu harus memikirkan hal yang tidak seharusnya dipikirkan oleh anak seusianya, sih? Apa ia salah mendidik Zian, ya?
"Sebelumnya, Zian nggak pernah ngerasa seyakin ini, Pa." Zian kembali bersuara setelah beberapa saat diam. Matanya terlihat menerawang ke depan, membuat Fabian merasa pusing seketika.
Ini anakku lagi bayangin masa depan sama gurunya itu, atau gimana sih? Fabian membatin. Ia tidak mengerti lagi, apa yang dipikirkan oleh Zian? Mengapa putranya itu berpikiran terlalu jauh dan apa alasannya? Sungguh, kalau benar Zian menyimpan perasaan dan berniat serius kepada gurunya itu ... astaga. Fabian tidak mau melanjutkannya. Pemikirannya itu terlalu gila.
"Bu Felly itu nggak cuma baik, tapi Bu Felly juga orangnya keibuan banget. Senyumnya manis, suaranya lembut, pokoknya bikin tenang aja kalo denger suara Bu Felly tuh, Pa."
Fabian menepuk bahu Zian pelan. "Papa tanya sekali lagi sama kamu, kamu serius sama gurumu itu, Zi?"
"Iya, Pa. Zi serius," ucap Zian gemas. "Papa kok nggak percayaan sih, sama Zi? Ini Zi beneran lho, Pa. Nggak main-main, nggak bercanda."
"Zian." Fabian menatap mata putranya dalam-dalam. "Kamu masih kecil, Nak. Jalanmu masih panjang."
Zian diam. Ia tak mengerti apa yang papa maksud, sebab kepalanya benar-benar terasa berat. Tubuhnya juga lelah dan butuh istirahat.
"Mending kamu fokus belajar dulu. Jangan mikirin apa-apa. Terlepas dari kamu yang serius apa enggak, kamu harus mikirin semuanya matang-matang, Nak."
"Pa," panggil Zian membuat papa yang awalnya ingin kembali melanjutkan nasihatnya untuk Zian, berhenti sejenak. "Kalau nggak sekarang, kapan lagi, Pa? Justru karena Zian masih kecil, jadinya sekarang adalah waktu yang tepat."
Astagfirullah. Fabian semakin pening dibuatnya. Mengapa Zian begitu kukuh mempertahankan keinginan yang aneh itu? Ayolah, Zian masih sangat kecil. Tidak seharusnya ia memikirkan hal-hal berat semacam itu. Fabian tak habis pikir, dari mana Zian mempelajari semuanya secepat ini? Apa ... anak-anak zaman sekarang memang seperti ini, ya?
"Berhubung Zi masih kecil, artinya Zi bisa menikmati semuanya lebih lama dong, Pa."
Menikmati, ya? Astaga, entah mengapa Fabian seketika merinding dibuatnya. Menikmati dengan maksud yang seperti apa, nih? Fabian pusing.
"Papa nggak perlu khawatir. Pilihan Zian, pasti nggak salah, kok. Papa yakin aja sama Zian. Zian nggak mungkin asal pilih kok, Pa. Serius."
"Zi, kamu ... papa nggak ngerti, kamu kenapa bisa sedewasa ini, sih?" tanya Fabian, setengah frustrasi.
"Memangnya kenapa, Pa?" tanya Zian bingung.
"Pikiranmu itu, lho. Belajar dari mana kamu?"
"Dari Bu Felly, Pa," jawab Zian santai, tetapi berhasil membuat Fabian kaget. Sudah sejauh apa Zian dan gurunya itu menjalin hubungan? Sumpah demi apa pun, Fabian ingin pingsan rasanya.
"Kamu belajar semuanya dari gurumu itu?" tanya Fabian yang langsung dihadiahi anggukan oleh Zian.
"Iya, Pa. Bu Felly baik banget kan, Pa?"
"Iya," sahut Fabian tak ikhlas. Wajahnya mendadak sendu, sementara keringat mulai membasahi wajahnya. Salah apa aku, sampai punya anak yang tumbuh dewasa sebelum waktunya begini, ya Allah? batin Fabian frustrasi.
Berbeda dengan Fabian yang sudah berkeringat, Zian malah semakin melebarkan senyumnya. "Zian jadi makin nggak sabar deh, Pa." Cowok itu menatap papanya, dengan tatapan berbinar. "Apalagi waktu Zi lihat Papa sama Bu Felly tadi. Cocok banget tahu, Pa. Kita udah kayak keluarga bahagia ya, Pa? Ada Papa, mama terus Zian. Lengkap, deh."
Eh, tunggu sebentar. Fabian mengerjap beberapa kali, "Mak-maksud kamu ... maksud kamu apa, Zi?" tanyanya gugup.
"Zian nggak sabar lihat Papa sama Bu Felly jadi lebih dekat. Terus, Zi bisa punya mama, deh."
Astagfirullah. Fabian mendesah lega seketika. Jadi, dari tadi Zian ngomongin gurunya itu karena ....
"Papa kenapa?" tanya Zian bingung, kala melihat papanya yang berkeringat.
Fabian menggeleng lemah. Ia baru saja meneriaki dirinya yang sangat-sangat bodoh itu, dalam hati. "Nggak apa-apa, Zi. Papa cuma lagi mikir-mikir aja."
"Mikir-mikir kapan mau lamar Bu Felly ya, Pa?" tanya Zian antusias. "Buruan Pa. Zian nggak sabar tunggu Papa lamar Bu Felly. Zian nggak sabar punya mama baru, Pa!"
Ternyata, aku se-nggak peka itu, Tuhan, batin Fabian.
"Pa, besok aja ya, Pa?" tanya Zian.
"Apanya yang besok?"
"Lamar Bu Felly, Pa. Biar Zian cepet punya mama."
Seketika itu juga, Fabian merasa stres.
*****

Bình Luận Sách (67)

  • avatar
    Wayu Tedo

    saya suka

    6d

      0
  • avatar
    FebyFeby

    saya ingin dm

    8d

      0
  • avatar
    alialdi

    anu

    19d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất