logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

2. Zian Suka Bu Felly?

Dari dulu, Fabian selalu saja gagal dalam menjalani sebuah hubungan. Semua yang ia bangun, pasti tidak akan pernah berlangsung lama.
Fabian memang bukanlah seorang playboy yang senang sekali bergonta-ganti perempuan. Bukan juga lelaki yang sering memainkan hati perempuan, seperti julukan yang sekarang tengah ramai dibicarakan, fakboi. Bukan, Fabian bukan orang yang seperti itu. Hanya saja, nasibnya memang selalu buruk, jika berurusan dengan yang namanya perempuan.
Mencoba melupakan bagaimana buruknya kehidupan percintaannya di masa lalu, lelaki itu menghela napas panjang. Gara-gara permintaan Zian beberapa hari yang lalu, dirinya malah jadi tidak fokus bekerja seperti ini.
Pekerjaan di hadapannya, benar-benar sudah menumpuk dan sepertinya ia harus mengambil lembur atau membawa pekerjaannya ke rumah. Kepalanya terlalu pusing. Terbagi untuk pekerjaan, juga permintaan yang Zian lontarkan. Astaga, kepalanya terasa ingin meledak saat itu juga.
"Masih pusing?" tanya Fajar, yang datang sembari membawa dua cangkir kopi. Lelaki itu baru saja kembali dari pantry yang memang tersedia di divisi keuangan ini. "Ngopi dulu, nih."
"Makasih, Mas." Fabian menerima uluran cangkir berisi kopi dari Fajar. Padahal, ia tidak memintanya, tetapi Fajar dengan baik hati membuatkan satu untuknya.
"Jangan terlalu dipikirinlah," ujar Fajar. Lelaki itu bergerak menuju tempatnya, sembari menyesap kopi dengan nikmat. "Nanti malah makin pusing kalo dipikirin terus."
Fabian mengangguk perlahan, membenarkan apa yang Fajar katakan. Walaupun tidak bisa sepenuhnya dilupakan, tetapi tetap saja ia tidak perlu memikirkannya sekeras ini.
"Fab." Salah satu dari teman satu direksinya, terdengar memanggil. Membuat Fabian menoleh ke arah kiri, di mana kubikel temannya itu berada.
"Kenapa, Mas?" tanya Fabian, kepada rekannya itu. Setiaji Budiman namanya atau biasa disapa Aji.
Aji tampak berdiri dari duduknya, lantas bergerak menghampiri Fabian. Sebentar lagi memasuki jam istirahat makan siang, alhasil, para karyawan bisa sedikit lebih santai. Sekadar meregangkan otot-otot yang terasa kaku. "Ini ...." Aji menunjukkan ponselnya ke arah Fabian, membuat lelaki itu mengernyit. Pun dengan Fajar, yang ikut-ikutan kepo, turut melihat ke arah layar ponsel milik Aji. "Cantik nggak, Fab?"
"Astagfirullah, Mas." Fabian sontak beristigfar. "Ingat istri di rumah, Mas. Jangan selingkuh. Nggak baik, dosa."
Aji sukses melayangkan tatapan datar, pun juga kala Fajar ikut-ikutan menasihatinya. "Kamu ini, Ji. Mentang-mentang lagi nggak dipantau istri, suka seenak hati. Ingat lho, istrimu lagi hamil anakmu di rumah. Jangan macam-macam."
Lelaki 37 tahun itu, mengembuskan napas lelah. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran kedua teman satu direksinya yang kelewat pendek. "Aku tanya," ujarnya. "Tanyanya sama Fabian, bukan sama kamu." Ia melirik Fajar, dengan tatapan datar.
"Iya," sahut Fajar. "Tapi tetap saja, kamu nggak boleh begitu. Kasihan istrimu di—"
"Aku nggak mau selingkuh, woi!" seru Aji, tak terima. Lelaki itu menggaruk kepalanya frustrasi. "Niatku iki, baik lho. Aku pengin ngenalin kamu, sama temennya adekku," ujar Aji, kepada Fabian. Membuat lelaki itu, semakin bertambah bingung. "Makanya aku tanya, cantik apa enggak, gitu lho."
Fajar tertawa geli, saat ia berhasil menangkap maksud dari Aji. Syukurlah kalau lelaki itu tidak berniat berselingkuh atau bagaimana. Pasalnya, istrinya Aji yang memang asal Bandung itu, tengah hamil tua. Kasihan, kan, kalau suaminya bertingkah di saat seperti ini?
"Gimana menurutmu?" tanya Aji lagi.
Fabian menatap foto yang Aji tunjukkan sekali lagi, kemudian tersenyum tipis. "Cantik, sih," ujarnya.
"Nah kalau gitu, langsung aja ini, kukasih nomor W—"
"Tapi aku nggak tertarik, Mas. Maaf, masih mau sendiri dulu aja," imbuh Fabian kemudian.
Seketika, Fajar terbahak. Sementara Aji, ingin memakan orang. "Curiga aku sama kamu, Fab," katanya, lantas kembali ke tempatnya.
"Curiga kenapa, Mas?" tanya Fabian. Ia rasa, tidak ada yang salah dan patut dicurigai dari dirinya, deh. Lalu, kenapa Aji bisa berkata demikian? Apa karena dirinya baru saja menolak perempuan yang berusaha dikenalkan oleh Aji atau bagaimana? Sungguh, Fabian tidak paham akan ini.
"Mbohlah. Nggak ngerti lagi aku, karo kowe." Aji mengembuskan napas panjang. Padahal, niatnya baik, bukan? Ingin mengenalkan perempuan kepada temannya yang jomlo itu, tetapi dasar Fabiannya saja yang aneh. Aji jadi tidak habis pikir, jangan-jangan, apa yang ada di pikirannya selama ini tentang Fabian, benar adanya.
*****
Di sekolah, Zian memiliki seorang idola yang selalu saja ia kagumi. Apa pun yang dilakukan oleh idolanya itu, Zian pasti akan selalu menatapnya dengan tatapan memuja. Kadang, kalau dirinya sedang gabut, Zian juga sering membuntuti idolanya itu ke mana pun. Menawarkan bantuan, bertanya hal random seperti; sudah makan atau belum, pulang jam berapa, bersama siapa dan masih banyak hal lainnya yang Zian lakukan.
Kalau dikira Zian sedang jatuh cinta, jawabannya adalah 'iya'. Namun, konteksnya berbeda, hingga Zian sendiri pun bahkan tidak tahu harus menjelaskannya seperti apa. Intinya, kala memandang idolanya itu, semua terasa lebih tenang dan dunianya menjadi begitu menyenangkan. Astaga ... Zian tidak tahu lagi harus bagaimana ia mendeskripsikan perasaannya sekarang.
"Bu Felly hari ini cantik, deh. Makannya apa sih, Bu? Kok setiap hari makin cantik, sih?"
Zian itu masih kecil. Usianya bahkan baru saja 14 tahun, tetapi dia sudah banyak belajar tentang bagaimana caranya menggoda perempuan. Akan tetapi, sepertinya apa yang Zian lakukan kali ini, terlalu berlebihan. Masalahnya, yang tengah ia goda saat ini adalah Bu Felly. Wali kelas 9B yang jelas-jelas merupakan kelasnya sendiri.
"Kamu ini, bisa saja." Bu Felly, guru cantik itu mengacak pucuk kepala Zian dengan gemas. Ia bahkan tak habis pikir, kenapa dirinya sampai memiliki murid seperti Zian begini. Masalahnya, kasihan jika nantinya anak itu akan menjadi korban bullying dari teman-temannya yang tidak menyukai tingkah Zian. Lagi pula, Zian termasuk anak introver, sehingga tidak banyak memiliki teman.
"Zian nggak bohong kok, Bu," ujar Zian lagi. Cowok itu memasang senyum terbaiknya yang terlihat begitu manis di mata Bu Felly. Sayang sekali, Zian ini masih kecil. Coba saja kalau sudah seusianya, dapat dipastikan jika Bu Felly akan naksir kepadanya. "Zian suka deh, dekat-dekat sama Bu Felly," kata cowok itu lagi.
"Terus?"
"Zian ikutin Ibu terus, nggak apa-apa ya?" tanya Zian, meminta persetujuan. Ia ingin selalu dekat dengan ibu guru cantik itu. Tidak mau jauh-jauh rasanya. Kalau boleh, Zian ingin tinggal bersama Bu Felly saja, deh.
"Memangnya nggak capek?" tanya bu Felly basa-basi. Kali ini, keduanya tengah berjalan berdampingan di koridor, beberapa menit setelah bel istirahat berbunyi.
Zian dengan tegas menggeleng, "Enggak, kok," jawabnya. "Zian suka dekat-dekat sama Bu Felly. Bu Felly juga baik banget sama Zian, jadinya sayang deh." Ucapan cowok itu, berakhir dengan tawa pelan dari Bu Felly.
"Terserah kamu, deh," ujar guru cantik itu. "Asalkan, janji sama Ibu kalau nilaimu, harus lebih baik dari yang sekarang, gimana?"
Cowok itu meringis, sembari menggaruk dahinya yang tertutupi poni ala-ala boyband dari Negeri Gingseng. "Memangnya, nilai 6 itu ... kurang ya, Bu?"
Bu Felly tertawa mendengar pertanyaan bernada polos yang keluar dari mulut Zian. Perempuan 25 tahun itu, mencubit pipi Zian dengan gemas. Refleks, karena dia memang menyukai anak-anak—dalam artian, penyayang anak-anak. Walaupun Zian sudah masuk ke dalam kategori remaja ABG, tetapi tetap saja deh. Di matanya, Zian seperti anak kecil yang menggemaskan. "Nilai 6 itu, tandanya harus belajar lebih giat lagi."
Melihat interaksi antara Zian dan bu Felly, beberapa siswa dan siswi, mulai mempergunjingkan Zian. Mereka saling berbisik, menuduh Zian yang hitungannya 'masih anak-anak' itu, naksir alias memiliki rasa yang spesial kepada salah satu guru di sekolah ini.
"Padahal, masih banyak yang cantik-cantik di sekolah kita. Tapi kenapa Zian malah sukanya sama Bu Felly, sih? Aneh banget," cetus salah seorang siswi dengan rambut dikuncir kuda.
"Nggak tahu, ah, aneh." Satu dari yang lain, ikutan menyambar. "Kayaknya Zian suka sama tante-tante kayak Bu Felly, deh. Bayangin aja, Zian baru 14 tahun, sementara bu Felly udah 25, kan?"
Teman-teman mereka mengangguk membenarkan. "Biarin ajalah. Nanti kalau dia udah kelewatan, baru deh, kita aduin ke BK."
Sementara itu, tanpa para siswi—yang saling bergunjing—sadari, ada seorang siswa yang menguping pembicaraan mereka dengan wajah datar.
******

Bình Luận Sách (67)

  • avatar
    Wayu Tedo

    saya suka

    6d

      0
  • avatar
    FebyFeby

    saya ingin dm

    8d

      0
  • avatar
    alialdi

    anu

    19d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất