logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 6 Lelaki Tak Kasat Mata

Evyta menatapku nanar sesaat setelah terbelalak di depan layar kameranya.
"Siapa memangnya?" tanggapku, merasa aneh dengan ekspresi wajah anak itu. Mungkin Ia kesal lagi-lagi objek foto single yang Ia tangkap bocor karena anak lain berada terlalu dekat dengan objeknya.
"Ini aneh," lirihnya. Ia nampak berusaha mengundang simpati yang lain, tetapi kami sama-sama lelah dan enggan beranjak dari tempat kami duduk.
"Aneh kenapa memangnya?" Sharon turut angkat suara.
"Ada objek lain yang bukan kita," jawab Evyta dengan menatap layar sekali lagi.
Sontak aku beranjak dari tempat duduk meski tidak yakin pada ucapannya, bisa jadi anak itu hanya ingin mengajak kami bercanda. Lalu pada akhirnya aku terkejut bukan kepalang ketika membuktikan ucapannya tidak main-main. Ada gambar lelaki yang berada di frame-ku, tepat di sampingku.
"Ini --ini siapa?" lirihku tergagap.
"Aku juga tidak tahu, siapa yang memfotomu tadi? Kau sendiri juga tidak merasa ada yang berdiri di sampingmu?" Evyta balik bertanya.
"Tidak ada siapapun di sini selain kita," pekikku.
Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Anak-anak yang lain pun mulai mendekat ke kamera yang masih dipegang Evyta, Bernard mengambil alih dari tangannya. Charly yang lebih tinggi di antara yang lain juga ikut melongok ke layar.
"Evyta, Kau tidak mengeditnya, 'kan?" Bernard berujar dengan setengah menuduh.
"Tentu saja tidak!" Anak itu tidak terima.
Aku menengoknya sekali lagi. Lelaki di frame-ku masih muda, mengenakan kaos hijau tua, wajahnya tersenyum. Ia sangat manis meski cetakan wajahnya cukup berwibawa. Rahang dan hidungnya nampak tegas. Oh, matanya hitam selaras dengan rambutnya yang juga hitam pekat. Kulit wajahnya nampak pucat tetapi justru menambah kesan tampannya. Bulu kudukku terasa berdiri, Ia makhluk tak kasat mata yang berparas menawan.
"Lihatlah, ternyata Ia juga muncul saat Alisha naik kuda," seru Evyta menggeser hasil jepretan dengan cepat ketika aku diam-diam mengagumi sosoknya.
Semuanya sontak kembali mengerubungi kamera di tangan Evyta, aku baru ingat June lah yang menjepretku saat itu.
"June, apa Kau tidak melihatnya saat mengambil gambarku? Bukankah Kau seharusnya merasa ganjil, Ia tidak ada di sekitarku sama sekali," ujarku, suaraku sedikit bergetar. Aku tidak perlu mengatakan pada siapapun bahwa aku sedang ketakutan.
June menggeleng, "Aku hanya menangkap gambarmu waktu itu, aku tidak melihatnya, bahkan setelah aku mengecek jepretanku sekali lagi."
Kami saling berpandangan.
"Tapi menurutku lelaki ini cukup tampan," gumam Evyta.
"Tampan ataupun tidak, Kau tidak seharusnya tertarik pada makhluk tak kasat mata ini!" Giand menyahut dengan sorot mata kebencian, napasnya tak beraturan dan menyebabkan kedua bahunya naik turun.
Aku merasa kejadian ini cukup memengaruhi jiwa kami --atau mungkin pikiran kami saja. Evyta terlalu bersemangat dan sangat tertarik pada sosok itu, Bernard menjadi temperamental apalagi saat Evyta secara terang-terangan mengaguminya, Sharon menjadi tampak linglung dan berwajah pucat. Juga June yang mendadak bersikap seperti orang amnesia.
Aku sendiri tiba-tiba merasa lebih baik dengan alasan yang tidak kumengerti. Entah mengapa, aku menjadi lebih tenang setelah mengetahui dalam foto-fotoku terdapat sosok lelaki asing dan misterius. Ia tak kasat mata tetapi kemunculannya di hasil jepretan, membuatku seolah terobati dari rasa sakit yang sedang menderaku.
"Kita akan turun dan pulang," ucap Bernard dengan nada tidak ingin dibantah.
"Tapi kita belum sampai puncak," protes Evyta.
"Tidak perlu," Bernard menyahut dengan kasar.
Anak-anak yang lain hanya terdiam tanpa suara.
"Kraaaok."
Kami terkesiap saat tiba-tiba terdengar suara burung yang serak dan menyeramkan. Menurut mitos, ini pertanda buruk.
"Itu hanya burung. Bernard, ayolah. Kita lanjut naik, lagi pula Kau sudah menjanjikan bahwa pemandangan di sana bagus," ucap Evyta. Kameranya kini sudah berpindah ke tanganku dan aku mengamati sosok itu yang muncul di frame fotoku yang lain.
Ia tampak mengendarai kuda bersisihan denganku, kuda putihnya sedikit terhalangi oleh kuda kekar yang kutunggangi. Sorot wajahnya seolah tersenyum padaku dan Ia tampak lihai mengendarai kuda, kontras dengan aku yang tampak sekali canggung di atas kuda. Aku yakin itu pasti terjadi saat Paman penjaga kuda diam-diam melepasku.
"Evyta, Kau jangan egois. Please, kita sudah mendapat peristiwa ganjil dan kita tidak perlu melanjutkan perjalanan ini," June mendukung Bernard.
Wussss
"Kroaaak."
Baru saja Bernard bicara dengan nada tinggi kepada gadis fotografer itu, angin berembus kencang dan menggoyangkan dedaunan di atas kami. Burung pun kembali bersuara, aku melihat sayapnya yang hitam mengepak lebar saat Ia menyelinap di antara dahan-dahan pohon.
"Bernard, ini masih siang. Kita tidak harus terburu-buru untuk turun. Tapi alangkah baiknya jika Kau menelpon pemandu apakah angin kencang dan lolongan burung biasa terjadi di sini," ujar June.
"Evyta, please berhenti merekam untuk sementara. Apa yang kita lakukan di sini bisa mengundang energi mereka," bisik Sharon.
"Tak ada alasan untuk takut jika kita tidak bersalah. Tetapi aku rasa kita belum 'permisi' untuk mendaki bukit ini. Bisa jadi kita dianggap tidak sopan," ujarku mendukung pendapat Bernard secara tidak langsung.
"Memangnya kita melakukan hal apa hingga dianggap tidak sopan?" ketus Giand.
Aku tidak berniat debat dengan Giand, terkadang anak itu merasa selalu benar. Di situasi seperti ini, hampir setiap sifat asli kami keluar terutama yang negatif. June menengahi agar Bernard tidak mengambil keputusan secara sepihak dan buru-buru. Sharon bicara panjang lebar agar Evyta tidak terlalu berambisi memburu objek fotografinya.
Aku mengintip sekali lagi ke layar kamera saat Evyta memenuhi apa yang Sharon ucapkan merekam video dengan handphone-nya. Perasaanku diliputi minat untuk terus memandang sosok yang muncul di setiap foto-foto single-ku. Ia seolah memberitahu bahwa Ia tertarik padaku. Bernard tiba-tiba saja merebut kamera yang sedang kupegang.
"Jangan hiraukan Ia, nanti Ia akan semakin mudah mengikuti kita," Bernard menekan kata 'Ia' yang merujuk pada sosok itu.
"Anggap saja Evyta mengeditnya, kita turun saja. Kesempatan pelesir tidak hanya sekarang, kita juga masih bisa ke tempat lain," ucap Charly.
"Aku tidak percaya mitos," ketus Evyta.
Akhirnya kami berputar balik dengan perasaan yang berkecamuk. Evyta menunjukkan wajah kecewanya karena tidak bisa memotret lautan dari atas bukit. Matahari bersinar terik, cahayanya sesekali menyelinap melalui celah-celah rimbunnya dedaunan hingga suasana hutan tidak terasa gelap.
Seharusnya ini adalah acara perjalanan terbaik kami, cuaca cukup cerah dan sesuai dugaan Bernard tidak ada binatang buas di hutan ini. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa aku tiba-tiba percaya mitologi akan makhluk-makhluk tak kasat mata. Aku yakin Evyta tidak mengedit foto-foto di kameranya.
Perjalanan pulang tidak diwarnai canda dan tawa seperti saat kami berangkat, kami seakan berkutat pada pikiran masing-masing. Perasaanku masih sama, aku merasa seperti dicari oleh sosok itu. Kemunculannya mengundangku untuk mencaritahu tentangnya. Ini mustahil, tapi alam bawah sadarku terus berbisik untuk terus melihatnya.
Masih jelas dalam bayanganku akan warna bola matanya yang hitam pekat, rambutnya yang cepak, kulitnya yang pucat, Ia sangat jelas sadar kamera. Tidak ada siapapun yang melihatnya saat mengambil gambar itu, bahkan yang menjepret sekalipun. June yang kutahu tidak pernah berbohong juga tidak menyadarinya, Evyta pun tidak mungkin mengeditnya secepat kilat.
***

Bình Luận Sách (30)

  • avatar
    Nurshahirah Kay

    good,😘

    19/07

      0
  • avatar
    izwanFarshanda

    bole lh

    13/07

      0
  • avatar
    SulistyawatiWahyu

    bagus buat dijadiin buku ╥﹏╥♡

    28/11

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất