logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Reuni Kecil

Kudengar teriakan kesal Bernard di lantai satu. Anak-anak lelaki sudah berkumpul. Aku membawa tas ransel ke bawah setelah berganti pakaian yang lebih nyaman. Mereka sedang memeriksa tenda yang dibawa Bernard.
"Padahal kukira Algha..."
"Ssst..." Sharon menyilangkan jarinya di bibir, menghentikan ucapan Evyta.
Aku tahu mereka membicarakan Algha ketika aku berkemas di lantai atas. Di antara mereka sudah tahu masalahku, mungkin sekarang semuanya juga sudah tahu. Gosip memang menyebar sangat cepat di antara kami, baik laki-laki maupun perempuan. Charly dan Giand yang datang bersama Bernard saling berpandangan.
"Hai," aku menyapa mereka sembari tersenyum. "Jika kalian membutuhkan air mineral lebih banyak lagi, aku masih punya beberapa botol," ucapku.
"Oh, sudah lebih dari cukup. Jangan lupakan jaketmu, Alisha," ujar Giand.
Kami berangkat menggunakan mobil Bernard karena mobil Evyta lebih berisiko untuk dipacu di jalanan yang penuh batu dan lumpur. Empat perempuan dan tiga lelaki berangkat dalam diam, sesekali kami membicarakan masa-masa sekolah kami. Sejak masuk kelas satu SMA, kami sudah akrab. Sayangnya Charly harus mengulang kelas hingga tertinggal dari kami, Ia mengulang dua kali. Sungguh menyedihkan menjalani SMA selama lima tahun.
"Tahun ini Kau harus lulus," ucap June menyemangati Charly. Lelaki itu hanya tersenyum getir.
Charly bukanlah anak yang bodoh, Ia hanya malas berurusan dengan guru yang kolot. Ia tidak suka membaca dan mencatat, tetapi kemampuan teknik mekanik dan hapalannya di atas rata-rata. Seharusnya anak itu lebih pintar dari kami yang sudah berada di tahun kedua pre-college. Tahun depan -yang akan tiba beberapa bulan lagi, kami akan memasuki kuliah.
Tetapi meskipun kami sudah tidak bersama lagi, kami masih rutin mengadakan reuni. Berkemah adalah salah satu cara kami mengenang dan mengabadikan kebersamaan kami. Kali ini, Evyta mengusulkan pantai yang berada di ujung hutan lindung karena udaranya sejuk dan bersih. Giand adalah orang yang pertama kali menyetujui usulan Evyta, kami pun ikut menyetujui setelah Bernard mencari informasi dan memastikan tempat itu aman dari binatang buas.
Benar saja, mobil mulai memasuki kawasan yang sangat sejuk, pepohonan menjulang tinggi dan rimbun di sepanjang tepi jalanan. Nyaris tak ada bangunan rumah ataupun pertokoan.
"Buka jendelanya," Evyta berseru senang.
Udara segar menembus dan memenuhi sisi dalam mobil. Aku merapatkan kancing jaketku, ikut tertawa dan berangkulan bersama yang lain, lalu melambaikan tangan saat kawanan kecil hewan primata yang bergelantungan di pohon. Tidak sia-sia aku mengikuti acara kemah ini yang sebenarnya tanpa persiapan apapun. Mereka semua hanya teman lamaku, tetapi pertemanan ini masih kami jaga meski hanya bertemu sekali dua kali dalam setahun.
Bernard menghentikan mobilnya di tempat parkir pengunjung, Ia menemui petugas dan bertanya lebih lanjut tentang prosedur jika kami akan berkemah di sini. Sesuai arahan petugas, Bernard melajukan mobilnya lagi menuju tempat parkir eksklusif yang lebih dekat dengan lokasi kemah. Tanpa tergesa-gesa kami menuruni mobil sembari menggendong tas masing-masing menuju pantai.
Deru ombak yang berada di ujung hutan terdengar dengan jelas. Kami berhenti dan meletakkan tas di bawah sebatang pohon besar, lalu menikmati udara siang di tepi pantai. Penglihatanku yang sebelumnya buram karena terlalu banyak menangis, kini mulai membaik. Dalam seminggu ini waktuku banyak tersita untuk merutuk diriku sendiri.
Mungkin aku terlalu percaya diri hanya karena sudah mengenal Algha selama lima belas tahun. Kupikir aku akan memilikinya, tapi ternyata aku salah besar. Aku tidak mengira bahwa akan ada wanita lain yang ada di hati Algha.
Algha, semoga aku lekas bisa merelakanmu. Terima kasih untuk lima belas tahun yang menyenangkan.
Sinar matahari mulai menguning saat Bernard mengajak kami menyudahi permainan kecil di tepi pantai. Bulir-bulir keringat membasahi pelipisku. Siang menjelang sore ini aku cukup terhibur dengan voli air dan kejar-kejaran. Kami layaknya anak sekolah yang sedang menikmati libur panjang. Tetapi di masa remaja menuju dewasa ini akupun merasa belum bisa melepaskan sifat dan kebiasaanku yang kekanak-kanakkan.
Mungkin sekarang waktunya aku belajar tentang kehidupan ini setelah satu badai besar menerjangku. Sikap Algha mungkin biasa saja bagi orang lain atau bahkan kisah yang kami jalani terkesan sebagai cinta anak remaja. Tetapi bagiku itu bagai bom nuklir yang menghancurkan dan tak disangka datangnya.
"Alisha, bisa bantu aku meniup pipanya?" suara June membangunkan lamunanku. Aku langsung melakukan apa yang Ia maksud, Sharon sudah seperti orang kehabisan napas sedangkan June nampak payah memegang papan untuk menghalau angin dari arah laut.
Kami bertiga berjuang habis-habisan menghidupkan api, rencananya nanti malam kami akan memanggang daging dan ubi-ubian serta menyeduh minuman hangat. Anak-anak lelaki juga sedang bekerja keras agar dua tenda kami berdiri kokoh. Evyta sibuk dengan kameranya sembari sesekali menata barang-barang bawaan kami.
"Lihatlah!" Aku berteriak kagum saat melihat matahari di ujung hamparan air laut menampakkan wajah aslinya. Ia bulat dan besar dengan warna oranye yang sempurna.
Evyta mengarahkan kameranya, kami menggunakan kesempatan emas ini untuk berpose di antara kamera dan sinar kekuningan di barat sana. Sesekali kami berteriak histeris saat menyadari matahari semakin tenggelam sedangkan gambar yang terpatri di dalam kamera belum juga memuaskan.
Lembayung kuning mewarnai hampir seluruh permukaan air laut. Suasana di sekitar kami pun perlahan mulai petang. Aku duduk di atas pasir sedikit menjauh dari teman-temanku yang masih belum usai berebut kesempatan mengabadikan momen langka ini. Aku lebih tertarik untuk terus mengamati bola api besar yang mulai sembunyi di dalam peraduannya, tentangnya membuatku kagum.
Matahari tanpa lelah membakar diri demi menerangi jagat raya. Keberangkatannya di ufuk timur menjadi penanda bahwa hari telah tiba, Ia menjadi penyemangat manusia untuk beraktivitas. Kilatan api kekuningannya menunjukkan bahwa Ia sungguh-sungguh mengabdikan diri untuk menjadi penerang jagat raya. Ia pun berbagi rasa dengan manusia di siang hari dengan menunjukkan teriknya. Lalu pamit dengan ucapan terima kasih yang mengagumkan di senja hari. Tak ada seorang manusia pun yang tidak mengagumi matahari tenggelam.
"Teman-teman, sekarang saatnya kita mengolah makanan," teriak Bernard.
Hampir bersamaan, kami menoleh ke arah Bernard yang mulai sibuk menuangkan air mendidih ke gelas-gelas. Sejujurnya aku sendiri nyaris lupa karena terlalu terpukau pada sang matahari terbenam. Aku melangkah dengan malas di atas pasir putih yang kini diterpa kegelapan langit malam. Untung saja aroma melati samar-samar mengundangku untuk segera menyesap teh hangatnya di dalam gelas keramik. Teman-temanku lebih menyukai kopi dibanding teh, sebenarnya aku tidak masalah dengan aroma dan rasa kopi yang sepertinya sangat nikmat, hanya saja aku alergi kopi apalagi yang kadar kafeinnya cukup tinggi.
Sharon membolak-balikkan daging dan ubi di atas pemanggang, aku membantunya mengipasi agar arang di bawahnya tetap membara. Temaram lampu minyak dan desir angin dari pantai membuat suasana terasa syahdu, Charly dengan senangnya memutar lagu-lagu rock dari kotak musiknya. Kami sudah sepakat tentang kemah yang kali ini menurutku cukup sederhana dan serba manual. Padahal jika mau, kami bisa saja menyewa menyewa villa di perbukitan dan mengadakan pesta barbeque di kebun. Tetapi Evyta dan Bernard bersikeras untuk mencoba peruntungannya dengan berpetualang bertahan hidup.
***

Bình Luận Sách (30)

  • avatar
    Nurshahirah Kay

    good,😘

    19/07

      0
  • avatar
    izwanFarshanda

    bole lh

    13/07

      0
  • avatar
    SulistyawatiWahyu

    bagus buat dijadiin buku ╥﹏╥♡

    28/11

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất