logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

PERJANJIAN

“Udah dijemput, lo?”
“Belum tahu. Om Arez belum telepon,” Rania menjawab sambil terus merapikan buku-bukunya lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Lo yakin mau tinggal bareng cowok itu?” Sully mengambil ponsel Rania dan mulai mengotak-atiknya.
“Ngapain lo?”
“Ganti status lo di sosmed. Galau mulu. Percuma curhat di sosmed. Bukannya dapat solusi tapi bikin masalah baru.”
“Sekalian lo cek ada pesan nggak dari om-om itu,” perintah Rania. “Nomornya yang baru gue lupa.”
Sully menuruti perintah Rania, matanya hampir juling karena dari tadi membaca pesan yang belum dibuka dari nomor tidak dikenal yang jumlahnya berjibun.
“Gue nyerah deh. Fans lo banyak banget. Gue nggak tau yang mana nomor om Arez,” Sully meletakkan kembali ponsel Rania lalu menatap gadis itu lekat. “Lo yakin dengan keputusan lo?”
“Apa gue punya pilihan?”
Sully bersidekap dan menyandarkan dirinya di sandaran kursi. Ia mengamati hidung Rania yang kemerahan.
“Lo habis nangis? Karena gue, ya?”
Mendengar pertanyaan Sully, Rania memutar tubuhnya, “Nggak. Gue yang minta solusi dari lo. Gue nggak akan pernah nyalahin lo.”
“Sorry.”
“Gue hanya belum siap aja, Sull. Lo nggak perlu minta maaf,” Rania menepuk Pundak Sully.
Ia tidak pernah menyalahkan Sully. Rania hanya masih belum percaya dengan keputusannya kali ini. Siang ini ia harus pindah ke apartemen seorang pria asing? Pria yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya? Bukan saudara, bukan pula suami, kecuali hanya hubungan simbiosis mutualisme antara penjual dengan pembeli.
Jantung Rania berdegup kencang tatkala mengingat ia telah menjual dirinya. Ia menggigit bibir tipisnya merasakan sesak tiba-tiba menyeruak dari dadanya. Dia benci dengan dirinya sendiri dan tidak mengerti kenapa dia menjadi gelisah seperti ini.
Ini pertama kali bagi dirinya dan ia merasa takut. Entahlah, semua rasa tidak nyaman seakan bercokol semakin dalam di hatinya.
“Ra, lo baik-baik saja?”
Rania tersentak dari lamunan saat Sully mengusap tangannya. Gadis itu menghela napas pelan lalu beralih menatap netra kelabu Sully dengan sendu, “Gue baik-baik, saja.”
“Gue mengerti. Tapi ini sudah waktunya pulang, Ra.”
“Gue belum ingin pulang, Sull.”
Sully mengulas senyum manis memamerkan gigi kelincinya yang putih. Ia menggenggam tangan Rania lalu mengusapnya lembut.
“Ini kenapa gue menyesal sudah menunjukkan jalan ini. Harusnya gue menolak ketika lo meminta tolong kemarin, meski lo yang memaksa.”
“Gue udah katakan berkali-kali. Ini bukan salah lo, Sull. Gue yang meminta tolong sama lo. Gue bahkan terima kasih banget akhirnya gue bisa ikut UAS minggu depan.”
“Tetap saja gue merasa bersalah udah menjerumuskan lo, Ra.”
Hati Rania menghangat. Sully sangat baik dan lembut padanya layaknya seorang kakak. Perlahan, ia menautkan erat jemarinya pada jemari Sully, netra sayunya menatap Sully dengan mata berkaca-kaca. Kristal bening bahkan sudah menggantung di kedua sudut matanya, “Gue nggak bisa menjual kehormatan gue, Sull. Bagaimana dengan bapak dan mama? Gue tidak bisa mengkhianati kepercayaan mereka. Gue akan bilang pada Om Arez, gue akan bekerja apa saja, asal tidak menjual kehormatan gue. Gue bisa jadi pembantunya atau apa pun untuk bisa mengembalikan semua uangnya yang udah gue pakai, Sull,” Rania terisak. “Menurutmu, a-apakah Om Arez akan setuju?”
“Meski gue sering mengabaikan Tuhan, gue percaya Tuhan akan selalu sayang dan melindungi kita, Ra,” Sully tersenyum penuh haru. Sepasang netra kelabunya berair, “Gue kagum dengan keteguhan hati lo. Harusnya gue dulu seperti lo, Ra. Apakah belum terlambat untuk gue berubah?”
Rania mengangguk antusias, “Tentu, Sull. Kita bisa saling menguatkan bersama.” Rania memeluk Sully dengan erat. Tubuhnya yang semula lemas kini seperti mendapat asupan energi, mendadak sangat semangat.
“Gue akan segera menemui Om Arez, Sull.”
“Iya. Cepat. Pergilah!” Sully tersenyum manis sambil berurai air mata, menatap teduhnya wajah Rania. “Selesaikan masalah lo dan jaga diri lo baik-baik. Telepon gue jika Om Arez macam-macam dengan lo. Gue akan menendang aset berharganya dengan sekali tendangan maut.”
Sully mengacungkan kedua jempolnya, sementara Rania terkekeh pelan sembari mengusap air matanya. Setelah berpamitan dengan Sully, ia segera bergegas menuju ke lobby kampus. Gadis itu menanti mobil yang akan menjemputnya sambil menyibukkan diri dengan ponselnya.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering, dan nomor tidak dikenal tertera di layarnya.
“Saya sudah berada di depan,” suara seseorang terdengar berat. Meski baru beberapa kali mendengar, Rania sudah hafal suara pria itu.
Rania menatap ke arah jalan depan lobby, sebuah mobil sport hitam metalik berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri dan membunyikan klakson berkali-kali.
Ia sempat terpana ketika melihat Arez menurunkan kaca mobilnya yang gelap. Sambil menahan degup jantungnya yang kian menggila, dengan cepat Rania menghampiri mobil itu lalu duduk di kursi depan.
“Kenapa harus Om yang jemput. Bukannya supir?” tanya Rania dengan tubuh kaku.
“Kebetulan lewat.”
Arez mengkode Rania untuk segera memasang seat belt-nya. Pria itu memutar kemudi dan berkendara dengan kecepatan sedang membelah jalanan mengarah ke arah Kemang, Jakarta Selatan.
Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam mendengarkan musik kesukaan Arez yang ternyata juga favorit Rania.
Pria itu tampak semakin tampan dengan kemeja kerja yang dilengkapi jas mahal yang melekat pas di tubuhnya. Rania sedikit mengaguminya sambil melirik pria itu diam-diam.
Terdengar suara Arez lirih tanpa sadar mengikuti lagu perfect-nya Ed Sharon. Ternyata suaranya enak didengar meski hanya mengiringi lagu tersebut. Degup jantung Rania mendadak kembali tak mau berhenti dengan detakan aneh.
“Kamu sudah makan?” tanya Arez sambil memutar kemudi memasuki parkir sebuah rumah makan yang tampak elit terbukti dari megahnya bangunan dan mobil-mobil mahal yang berjajar di tempat parkirnya.
“Be-belum,” suara Rania berubah menciut.
Astaga….
Jantung kampreet, runtuk Rania kesal sambil menekan dadanya.
Kenapa deg-degan terus sih dari tadi?
Apalagi saat Arez dengan gentle-nya memutari mobil dan membukakan pintu mobil untuknya. Jantung Rania sontak melompat-lompat seolah ingin keluar dari tempatnya.
Ck… Memalukan.
Rania keluar dari mobil dengan wajah bersemu, semburat merah menjalar di kedua pipinya yang putih. Ia mengikuti Arez dalam diam masuk ke sebuah Western Resto yang sama sekali belum pernah ia kunjungi.
Seorang waiters menghampiri dan mencatat pesanan keduanya lalu segera berlalu.
Rania yang kembali berduaan dengan Arez merasa awkward. Jantungnya seakan kebat-kebit tiap Arez menatapnya dengan intens.
“Rania.”
“Om.”
Panggil mereka bersamaan. Arez tersenyum kecut, “Kamu dulu.”
“Nggak, om Arez dulu.”
“Rania, jangan panggil saya om! Saya tidak pernah menikahi bibimu.”
“Ma—maaf. Kakak.”
“Kamu bukan adikku!”
“Ayah?”
“Ya Tuhan Rania! Saya bukan ayahmu!”
“Lalu? Bibi Arez?”
Arez mendelik, “Rania, please!”
“Ya, tapi saya tidak bisa memanggil Anda dengan nama saja, kan? Itu sangat tidak sopan.”
“Daripada memanggil nama, mending panggil mas,” ralat Arez sambil tersenyum.
“Geli. Seperti orang pacaran.”
“Bukankah kemarin kita sudah sepakat untuk pacaran?”
Rania terkejut mendengar perkataan Arez. Ia juga, bukankah waktu pertama kali bertemu dia dibayar untuk itu.
“Tapi—”
“Saya akan menuruti semua permintaan kamu. Tapi saya maunya kita menikah.”
Jantung Rania seperti mau copot. “Me-menikah?”
“Jangan salah paham. Ini hanya sementara. Hanya sampai kamu lulus kuliah.”
“Ehh, tapi kenapa begitu?”
“Saya takut terjadi sesuatu, Rania. Kalau pun terjadi, setidaknya status kita sudah sah di mata agama.”
“Hah?! Maksudnya? Sesuatu itu apa?”
“Kamu tahu apa yang saya maksudkan, Rania.”
Dahi Rania mengerut cemas. Pikirannya bekerja keras, “Tapi syarat dari saya masih berlaku, Om.”
“Saya tidak peduli. Saya akan menuruti semua permintaan kamu.”
Rania terdiam sejenak. Menimbang-nimbang untung dan rugi. Tidak mungkin lelaki itu akan menyentuhnya jika denda untuk menyentuhnya saja sebesar itu. Mungkin ini hanya untuk sekadar status. Tidak lebih.
“Oke.”
“Kalau begitu kamu tanda tangani ini.”
Rania meraih bilpoin dari tangan Arez lalu membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Ia justru sudah lupa dengan tujuannya semula. Rania bahkan tidak akan pernah menyangka, perlahan tapi pasti apa yang baru saja dilakukannya saat ini, suatu saat akan mengubah hidupnya sedemikian rupa.
*****

Bình Luận Sách (1014)

  • avatar
    PatimahSiti

    oke

    12/08

      0
  • avatar
    SetyaY tri sunu

    bagus

    06/07

      0
  • avatar
    Seind Rz

    bagus

    23/06

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất