logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 4 Panggilan Yang Kurindukan

“Gordon … Gordon ….” Suaraku yang melirih, menyebut namanya. Exel yang tadinya mengamuk pun kini mematung dan masih di atasku. Aku dapat merasakan kedua tangannya yang mengekang kuat kedua tanganku kini melunak. Dan tangan itu berpindah pada wajahku. Ia menyibak rambut di wajahku, perlahan.
Ada perasaan aneh yang kurasakan ketika aku menyebut-nyebut nama panggilan kecilnya. Dia pun kini mendekatkan wajahnya ke telingaku dan menyebut nama yang selalu ia gunakan memanggilku dulu, “Dizzel … Dizzel … Dizzel.” Ia terus menyebut nama itu hingga akhirnya bibir kami bertemu dalam tautan lembut yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Aneh. Aku sama sekali tidak menolaknya, bahkan kini terasa ada kerinduan yang terbesit dalam hatiku. Kenangan masa kebil kami melintas begitu saja dalam pikiranku. Nama itu terus mengulang dari bibir kami berdua. Dan kini menjadi pengantar hubungan intim yang kami lakukan. Berulang kali dan berulang kali. Tanpa siksaan, tanpa jeritan kesakitan. Yang ada hanya kelembutan yang menguap antara desahan kami berdua. “Gordon ….” Lirihku “Dizzel ….”
****
Matahari terasa berbeda hari ini. Ketika kelopak mataku terbuka, seulas senyum mengembang lembut di bibirku. Aku bahagia, karena tidak ada lagi penyiksaan fisik yang kuterima. Aku seakan memejamkan mata dan menikmati terpaan bias cahaya matahari di wajahku. Exel terlihat berdiri dengan celana Trening panjangnya. Ia menikmati pemandangan taman melalui kaca jendela.
Kulihat kepulan asap dari rokoknya. Tempaknya dia sedang berpikir. Aku terbangun, mengaitkan kain sperai ke tubuhku sampai ke dada. Aku pun berjalan mendekatinya. Berdiri di sampingnya, sebaiknya itu yang kulakukan. “Ada apa sebenarnya denganmu, Exel?” aku mencoba membuka suara kepadanya. Aku tahu, melihat perubahan cara dia menumbuku semalam, meyakinkan hatiku jika jiwa abviousenya yang mengerikan itu, hanyalah sebuah kelainan. Hari ini aku bertekad akan menggali apa sebenarnya yang telah merubah lelaki lembut itu menjadi singa liar.
“Kenapa kau pergi, Liana? Kenapa kau pergi meninggalkanku, dulu? Kau tahu aku sangat membutuhkanmu saat itu.” Aku membatu ketika mendengar kalimat pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. Kalimat yang mempertanyakan kepergianku dulu. Pikiranku seketika mengalir, membawaku pada satu dugaan, jika kepergianku memberinya luka sedalam ini.
“Jadi, kau mempermasalahkan kepergianku, dulu? Exel, kupikir kau sudah merelakan kepergianku dulu. Paman Pabio sudah memutuskan pernikahanmu dengan kakakku Rhiana. Namun di saat yang bersamaan kakakku Rhiana mendapat beasiswa pendidikan di Universitas Seni, Boston. Dia memilih menerima perjaodohan itu dan memintaku untuk menggantikannya melanjutkan study ke Boston, aku ….”
Lelaki itu menoleh secepat kilat ke arahku. Aku terkesap, takut, menduga-duga jika kali ini dia benar-benar akan menyakitiku. Tangannya menempel di tengkukku dan menarik wajahku mendekat di depan matanya. Ya Tuhan, tatapannya kali ini berbeda, sangat tajam dan dalam. Aku bahkan tak bisa memahami arti tatapannya. Aku bahkan sangat jelas melihat manik-manik matanya.
“Apakah kau jujur dengan kalimatmu itu? Apa kau tahu bagaimana aku bisa hacur setelah itu, Liana. Kau begitu egois meninggalkanku dengan persaan yang tak jelas.” Suara Exel terdengar dalam dan bergetar. Seperti getaran hatiku saat ini kepadanya.
“Sungguh, Exel. Aku tidak tahu jika kau begitu mempermasalahkan kepergianku. Karena dari berita yang kudengar, kau bahkan sudah menyetujui keputusan keluargamu, karena itu aku langsung pergi tanpa pamit kepadamu. Jika itu menyakitmu, maafkan aku, Exel. Maafkan aku yang tak berpamitan kepadamu. Tapi apakah hanya karena itu kau menyakiti semua wanita, Exel?”
Exel menghempaskanku lagi, ia membuang pandangannya dan merobohkan tubuhnya di atas sofa. Wajahnya tertunduk. Membenamkan pandangannya di antara topangan kedua tanganya. Sebuah isakan terdengar dari mulut lelaki itu. “Aku hancur, Liana. Aku hancur,” lirihnya.
Untuk pertama aku melihat lelaki yang begitu beringasnya beberapa waktu lalu, kini lemah dan tak berdaya. Bisa dikatakan inilah sisi berbeda dirinya. Sisi yang seharusnya ia tampilkan saat mereka bertemu dulu dan beberapa hari lalu setelah pernikahan mereka. Aku beringsut duduk. Dan mendekatkan tubuhku di sudut kakinya.
Perlahan aku meraih kedua tangannya dan menatap intens kepadanya, “ Tak apa kau tidak menceritakannya kepadaku sekarang, Exel. Tapi setidaknya aku kini tahu, jika lelaki yang menyakitiku beberapa hari lalu, bukanlah Gordonku, bukanlah teman masa kecilku. Dan jika memang dengan menyakitiku kau merasakan kepuasan, maka aku bersedia,” ucapku dengan penuh kerelaan.
Aku menggeser sedikit lebih dekat kedua lututku. Mencoba mendekatkan diri dengan teman masa kecilku itu. “Dizzel, apa kau bersedia jika aku menggigit bibirmu?” benarlah, ia meminta izin kepadaku hanya untuk menjahiliku, inilah dia seharusnya. Aku semakin yakin, jika memang lelaki ini mengalami sesuatu hingga membuat dia seperti singa liar.
“Sesuai keinginanmu, Gordonku,” jawabku. Kalian pasti k=terkejut kenapa aku bersedia. Jawabannya sederhana, karena Gordonku tidak akan pernah bisa menyakitiku, sekecewa apapun dirinya.
Terbukti, Exel mencumbuku. Melumat liar bibirku dan menarik selimut yang menutupi tubuhku. Sakit? Tidak lagi. Malah ia sangat lembut dan penuh sensasi menggauliku. Tapi sayang, hanya sebentar. Setelah ia melepaskan semprotan spermanya , ia tak lagi menggauliku. Tidak seperti ketika ia mulai menggunakan kekerasan fisik, ia bahkan bisa berulang kali tanpa henti menggauliku. Dapat kumaklumi, itu karena ketidak sempurnaanya saat ini
Tapi setidaknya dengan mengenadalikan dirinya, berarti ia berhasil melawan kelainannya, hingga tidak menyakiti orang terdekatnya. Setidaknya label kekerasan seksual itu kini bisa berkurang. Dan aku berjanji akan menguranginya bahkan menghilangkannya.
“Exel, apakah aku boleh keluar kamar? Aku ingin menikmati udara di luar. Sejak kita menikah kau mengurungku di sini.”
“Hm, tentu saja boleh. Tapi jika kau tersesat, jangan salahkan aku. Oh, ya, ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu, kenakan pakaianmu, aku tunggu.”
Mataku membulat sempurna, sejenak aku meyakinkan diriku jika aku tidak salah dengar. Dia akan menunjukkanku sesuatu. Oh, jangan katakan kali ini lebih menyeramkan, atau mungkin dia akan membawaku kepada hal yang menyeramkan lagi. Opst, kenapa aku masih berperasangka buruk kepadanya? Bukankah dia Gordonku?
Aku segera mengenakan short Jeans ku dan Tang top menutupi sebagian tubuhku. Aku berlari kecil mengikuti langkah Exel yang sudah terlbih dahulu berjalan meninggalkan kamar, “Gordon, tunggu aku” teriakku. Sepanjang perjalanan menelusuri setiap sisi ruangan, aku semakin bertanya-tanya, kemana ia akan membawaku.
Namun pradugaku berkurang setelah melihat tubuh si tua Demmed berdiri dan membungkuk hormat kepada Exel. Di teras belakang, mataku tertuju pada tiga ekor macan betina. Yang satu sangat besar dan yang dua lagi terlihat kecil.
Exel berhenti pada seekor macan yang paling besar, untuk sesaat aku mengamati hewan buas itu. entah kenapa aku sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi sebuah perasaan familiar menyambangi alam sadarku. Perlahan aku mendekat dan setengah berjongkok di depan macam betina yang mengeluarkan lidahnya seakan sedang mengatakan sesuatu, “Rose?” lirihku, mengalihkan pandanganku ke Exel yang tersenyum, mengangguk ke arahku, “Oh ya Tuhan, ini kau, Rose?” Ya Tuhan, kau sudah dewasa!” pekikku. Seperti sebuah ikatan batin, hewan buas itu pun begitu melunak dalam dekapanku.
Ia menggesek-gesek kulit halusnya di leherku, hingga memberi rasa geli pada kulitku. Demmed tercengang melihat keakrabanku dengan hewan yang sangat ia segani itu.
“Dia bahkan memiliki dua putri, Salsa dan Kneith.” Ungkap Exel menunjuk kepada dua ekor anak macan betina yang berkeliling mengintariku. Dengan rasa suka cita aku meraih kedua anak macan betina dalam pelukanku. Aku teringat jelas, hanya ini yang aku tingalkan untuk Exel ketika aku pergi dulu. Pantas saja, lelaki itu merasa sangat kecewa setelah kepergianku. Kehadiran Rose dan anakknya pasti membuat dia sering teringat kepadaku. Ya, Rose. Macan betina yang pernah kami temukan dan kami rawat bersama-sama, semasa kami kecil dulu. Aku masih ingat, saat itu ukuran badan Rose masih kecil seperti kedua anaknya.
“Terima kasih, Exel. Kau masih bersedia menjaga Rose. Rose, maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf karena meninggalkan kalian,” ucapku. Exel menggandeng tangannku, menuntun aku dan tiga ekor macan itu bersantai di kursi sofa teras belakang Villa. Aku merebahkan tubuhku di atas dada bidang Exel, sementara Rose dan anakknya bermanja di atas tubuhku. Sesekali aku menciumi bibir Exel. Ciuman yang singkat sebagai ungkapan terima kasih dan bahagiaku karena dia telah menjaga kenangan kami.
Tangan Exel tak berpindah dari kepalaku. Terasa hangat sentuhannya, membuatku merasakan perasaan akrab seperti dulu lagi. Tentunya dengan status baru kami sebagai suami istri. “Dizzel, apa kau menyukai kejutanku ini?” tanyanya ketika kami menikmati momen kenangan kami.
“Hm, sangat suka. Terima kasih, Gordonku.”

Bình Luận Sách (389)

  • avatar
    Nadiraumairaa

    ceritanya bagus banget thor😍😍 di lanjut dong season 2 nya, beneran ga sabar nih nunggu nyaaa

    22/06/2022

      1
  • avatar
    rahmandaniMeta

    kisahnya bagus bermanfaat.bagus di baca buat kakain buruan bacaaa sekranggggg

    25/01/2022

      0
  • avatar
    AndreanoFarhan

    200

    29d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất