logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 6. Proses Pemandian Jenazah

“Astaghfirullah!”
Wajah Ibu yang terlihat, membuat para pelayat yang menyaksikan beristigfar. Salah satu bapak yang menggotong jenazah Ibu, segera menutup kembali penutup wajahnya. Dengan terburu-buru, mereka membawa ke tempat pemandian.
Aku yang sempat melihat kejadian itu, mengelus dada. Sempat terpikir, mungkin nanti Ibu akan menjadi gunjingan warga kampung yang melihat kondisi beliau tadi. Terlihat beberapa dari mereka mulai saling berbisik.
Jenazah Ibu sudah ada di tempat pemandian. Di sana, Mak Ijah dan dua rekannya yang akan membantu proses pemandian Ibu, bersiap. Aku, Bang Bayu, dan kedua adiknya pun begitu.
Mak Ijah memulai proses pemandian. Pertama, dia membuka penutup wajah ibu mertuaku.
Namun, lagi-lagi terjadi hal yang mengejutkan. Setelah terbuka, kembali mata Ibu melotot tajam. Penempel untuk menutup mata Ibu ternyata lepas. Aku bergidik ngeri melihat mata itu. Santi dan Nanda menangis kembali, saat melihat kondisi ibunya.
Dengan membaca ayat suci, Mak Ijah mencoba untuk menutup mata Ibu. Namun, tetap tak berhasil walau dicoba berulang-ulang kali.
Entah kenapa, ada inisiatif tebersit di hati untuk membisikkan sebuah kalimat. Perlahan, walau agak ragu, aku mendekati bibir ke telinga Ibu.
"Bu, tidurlah dengan tenang. Jangan lagi memikirkan dunia ini," bisikku.
Setelah itu, Mak Ijah mencoba lagi untuk menutup mata Ibu. Alhamdulillah, mata itu sudah tidak melotot lagi, walau tertutupnya tidak sempurna.
Proses pemandian pun dilakukan. Dimulai dengan mengguyur bagian kepala, sampai kaki. Bang Bayu dan kedua adiknya mulai menggosok-gosokkan bagian tubuh Ibu dengan sabun, begitu pun denganku.
Namun, kejadian aneh berulang dan terus berulang. Mulut Ibu perlahan mengeluarkan cairan berbuih. Cairan itu terus keluar, meleleh di sudut bibirnya.
"Mak, bibir Ibu keluar busa," ucapku pada Mak Ijah.
Mak Ijah pun mengambil handuk kecil untuk mengusap buih yang keluar dari mulut Ibu. Namun, tetap keluar. Mak Ijah menekan-nekan lembut dada sampai tenggorokan Ibu, supaya buihnya cepat habis keluar.
Akan tetapi, buih itu justru semakin banyak. Maka, dimiringkanlah tubuh Ibu agar buih segera habis. Bukan cuma itu saja, saat Santi dan Nanda membersihkan dubur dan bagian sensitif lainnya, kotor-kotoran banyak keluar dari daerah tersebut.
Baru kali ini, mengikuti proses pemandian jenazah yang mengalami keganjilan. Aku semakin penasaran sebab-akibat, kenapa Ibu Mertua bisa seperti ini.
Proses pemandian berlangsung lama karena kejanggalan terus terjadi. Tubuh jenazah harus benar-benar bersih dan itu sangat memerlukan air yang banyak serta waktu yang cukup lama.
Kejadian aneh lainnya terjadi lagi. Air untuk memandikan jenazah, tiba-tiba kosong. Padahal, jenazah Ibu belum benar-benar bersih.
"Bay, cepat minta kepada bapak-bapak yang ada di luar untuk mengalirkan air ke sini. Kita masih perlu banyak untuk membersihkan tubuh ibumu," pinta Mak Ijah.
“Iya, Mak,” sahut Bang Bayu.
Suamiku segera keluar dari tempat pemandian jenazah. Sedangkan aku hanya bengong, karena bingung dengan semua kejadian ganjil ini. Kuintip Bang Bayu yang ada di luar dari balik tirai.
“Pak, tolong alirkan air ke tempat pemandian. Tiba-tiba di sana airnya enggak mengalir dan di tempat penampungan airnya kosong," pinta Bang Bayu kepada salah satu bapak yang berdiri di sana.
"Oh, iya, Nak Bayu. Akan segera kami alirkan airnya," kata Bapak itu.
Kemudian, kulihat tiga orang bapak-bapak segera berlalu mencari air untuk dialirkan ke tempat pemandian jenazah.
Hari sudah petang, proses pemandian Ibu belum juga selesai. Air yang diminta tadi belum juga mengalir. Kenapa selalu ada kejadian ganjil yang kami alami?
Aku sudah mulai gelisah, mengingat hari sudah menjelang maghrib.
"Mak, gimana ini? Airnya belum juga keluar dari tadi," tanyaku dengan nada gelisah. Begitu pun dengan Santi, Nanda, dan juga dua orang yang membantu kami memandikan jenazah Ibu.
"Sebentar, ya. Mak akan menemui suami dulu."
Mak Ijah pun berlalu dan menghampiri suaminya yang ada di halaman samping bersama para pelayat lain.
Tak kudengar apa yang mereka bicarakan, karena Mak Ijah terlihat membisikkan sesuatu pada Pak Rohmat dan berlalu keluar dari halaman rumah ini.
Aku semakin gelisah dengan suasana ini. Ada rasa takut dan ngeri. Tanpa sadar, terlihat olehku tangan Ibu bergerak.
"Ya Allah ... apa Ibu masih hidup?" gumamku lirih.
"Ada apa, Kak?" tanya Santi.
Aku menoleh ke arahnya. "Enggak, San, ini hari sudah mau adzan Maghrib, tapi jenazah Ibu belum selesai di mandikan," ucapku.
Ada raut kesedihan di wajah mereka. Merasa tak enak hati, kucoba meralat perkataan.
"Yang sabar, ya. Ini adalah ujian bagi kita. Aku janji, kami tidak akan meninggalkan kalian berdua. Lagi pula, kalian kan juga tanggung jawabku," ucapku mencoba menghibur mereka.
"Janji ya, Kak. Aku takut ...," ucap Nanda lagi.
"Iya, adik-adikku sayang ...."
Kupeluk kedua adik ipar. Saat kami sedang berpelukan, terdengar suara gemercik air yang keluar dari selang.
"Alhamdulillah .... " Kami mengucapkan hamdalah berbarengan.
Air yang mengalir sangat deras dan lancar. Kami segera mengisi baskom-baskom yang kosong. Hanya dalam sekejap, air penuh.
"Aku akan memanggil Mak Ijah dan Bang Bayu dulu. Kalian mengisi baskom yang kosong, ya," ucapku pada mereka.
"Iya, Kak."
Berjalan keluar dari tempat pemandian, mencari Bang Bayu.
"Yang, airnya sudah keluar. Panggil Mak Ijah, biar cepat selesai proses pemandiannya. Sebentar lagi adzan Maghrib, lho," ucapku padanya.
"Iya, Yang, bentar. Sekalian Pak Rohmat. Tadi aku lihat mereka keluar halaman," sahut Bang Bayu.
"Cepat, gih, sana."
Bang Bayu berlari kecil menuju luar halaman untuk mencari Mak Ijah dan Pak Rohmat. Sedangkan aku kembali ke bilik tempat pemandian jenazah.
Belum sampai memasuki bilik pemandian, adzan Maghrib terdengar. Terlihat beberapa bapak-bapak pelayat berlalu, mungkin menuju surau untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.
"Nak, kami ke surau dulu, ya. Mau sholat!"
Seorang bapak berteriak, minta izin. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Kini, halaman rumah sudah sepi dari para pelayat. Hanya terlihat segelintir orang yang masih menunggu di sana. Suasana jadi terasa sangat mencekam.
Aku masuk ke bilik pemandian jenazah. Kulihat, Santi dan Nanda saling berpelukan. Begitu pun dengan dua orang yang membantu kami memandikan jenazah. Terdengar suara lirih tangis mereka.
"Hei ... ada apa?" tanyaku.
Tangan Nanda menunjuk ke arah jasad Ibu. Aku pun mengikuti arahnya.
"Astaghfirullah ... Ibu!" Aku terpekik.

Bình Luận Sách (370)

  • avatar
    baihaqyBrian

    sangat bagus

    8d

      0
  • avatar
    Ezrah Mgzk

    good

    10d

      0
  • avatar
    dahjubai

    500 poi

    13d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất